Selasa, 16 Juni 2009

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu tujuan pokok Negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini artinya sejak awal berdirinya Negara, kebodohan dan tingkat ilmu pengetahuan masyarakat yang rendah merupakan persoalan riil yang harus ditangani melalui sistem pendidikan nasional yang menyeluruh dan terpadu. Perlu pembenahan, pembaharuan, peningkatan, dan intensifikasi yang terus - menerus agar tujuan pokok pendidikan dapat tercapai.
Namun tekad untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sering mengalami hambatan, oleh karena itu, pada tahun 1999 diundangkanya UU No.22 yang kemudian di ganti dengan Undang – undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pada hakikatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
Terma desentralisasi mengemuka pertama kali pada tahun 1974 bersamaan dengan disusunnya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan Daerah, dan menjadi wacana publik dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 mengenai kewenangan pemerintah Daerah. Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 ayat 7 menyebutkan, “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah [pusat] kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik IndonesiaI”. Beberapa aturan mengenai Otonomi Daerah ini diungkap dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (sebelumnya UU No. 22 tahun !999), UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (sebelumnya UU Nomor 25 tahun 1999), dan PP nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangkan Provinsi sebagai daerah otonom.
Ketentuan otonomi daerah yang dilandasi oleh Undang-undang nomor 23 dan nomor 33 tahun 2004 sebagaimana yang telah diuraikan diatas, telah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk penyelengggaraan pendidikan. Bila sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat, dengan berlakunya undang-undang tersebut, kewenangan tersebut dialihkan ke pemerintah kota dan kabupaten. Sehubungan dengan itu Sidi (2000) dalam Mulyasa (2007) mengemukakan empat isu kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang perlu direkonstruksi dalam rangka otonomi daerah, berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan pendidikan, serta relevansi pendidikan dan pemerataan pelayanan pendidikan sebagai berikut:
1. Upaya peningkatan mutu pendidikan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan, yaitu melalui konsensus nasional antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat
2. Peningkatan efisiensi pengelolaaan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, dengan memberi kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia bagi tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan
3. Peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat. Peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat pada level kebijakan (pengambilan keputusan) dan level operasional melalui komite (dewan) sekolah. Komite ini terdiri atas kepala sekolah, guru senior, wakil orang tua, tokoh masyarakat, dan perwakilan siswa. Peran komite meliputi perencanaan, implementasi, monitoring, serta evaluasi program kerja sekolah
4. Pemerataan pelayanan pendidikan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan. Hal ini berkenaan dengan penerapan formula pembiayaan pendidikan yang adil dan transparan, upaya pemerataan mutu pendidikan dengan adanya standar kompetensi minimal, serta pemerataan pelayanan pendidikan bagi siswa pada semua lapisan masyarakat.
Bagi setiap institusi, peningkatan kualitas adalah agenda utama dan yang paling penting. Namun demikian berbagai indikataor kualitas pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagian sekolah terutama di kota-kota menunjukkan peningkatan kualitas yang cukup menggembirakan, namun masih banyak sebagian lainnya yang masih memprihatinkan.
Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha yang dilakukan pemerintah antara lain melalui pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyedian dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, serta peningkatan kualitas manajemen sekolah. Kabupaten Dompu merupakan daerah yang melaksanakan otonomi, dalam pelaksanaannya Kabupaten Dompu banyak mengalami kemajuan dan peningkatan. Akan tetapi pada setiap tahunya mengalami pasang surut sehingga Kabupaten Dompu dinilai masih rendah dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata yaitu antara lain :
1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional cenderung menggunakan pendekatan “educationnal production function” yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Melalui pendekatan ini lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang hanya menghasilkan output yang telah ditentukan tanpa memperhatikan proses. Padahal proses sangat menentukan output.
2. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, dimana keseluruhan proses perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasinya tergantung pada keputusan pemerintah pusat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya (sekolah) termasuk peningkatan kualitas pendidikan disamping pengembangan dan pembangunan dibidang lainnya.
3. Kurangnya peran serta[partisipasi] masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan. Partisipasi masyarakat pada umumya selama ini lebih banyak bersifat dukungan berupa dana saja, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas)
Berdasarkan hal tersebut diatas, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya sekarang yang sedang dikembangkan adalah re-orientasi penyelenggaraan pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah (School Based Management) sebagai implementasi dari desentralisasi pendidikan. Disamping pembaharuan terhadap kurikulum dan keseriusan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negara ini.
Memaknai konsep otonomi daerah dalam konteks otonomi pendidikan dalam memberikan kekuasaan dan tanggung jawab penuh kepada sekolah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Otonomi pendidikan menyarankan sekolah untuk mengurus sistem pendidikannya secara mandiri yang lepas dari ketergantungan kepada pemerintah dan kewenangan pusat, menuju ke masyarakat lokal sekolah.
Reposisi otonomi pendidikan diorientasikan kepada peningkatan kualitas pendidikan, dengan melakukan lompatan dengan pembelajaran kelas ke tingkat organisasi sekolah dan mereformasi sistem struktur serta bentuk manajemen sekolah. Corak reformasi-reposisi ini disebut dengan Manajemen Berbasis Sekolah/MBS (School Based Management). MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam melakukan program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai dengan otonomi yang luas ditingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan pendidikan nasional.
MBS sebagai realisasi dari desentralisasi pendidikan, menurut D.A. Rondinelli dan G.S. Cheema (1983) sebagaimana dikutip Ibtisam Abu-Duhou (2002), sedikitnya ada empat bentuk yang perlu diidentifikasi antara lain :
Pertama, Dekonsentrasi yaitu pelimpahan sebagian kewenangan atau tanggung jawab administratif ketingkat yang lebih rendah dibawah departemen dan pemerintah pusat, dan pengalihan beban kerja dari pejabat pusat ke staf atau kantor diluar ibu kota atau pemerintah pusat.
Kedua, Delegasi, yaitu pelimpahan atau pemindahan tanggung jawab manajerial dan fungsional ke organisasi diluar struktur birokrasi, yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Kelemahan desentralisasi model ini adalah otoritas kedaulatan masih dikendali pusat, sementara daerah hanya pelaksana operasional.
Ketiga, Devolusi penguasaan dan penciptaan unit pemerintah di daerah, baik secara legal maupun secara finansial, dimana aktifitasnya secara substansil berada diluar pengawasan langsung pemerintah pusat. Di sini unit pemerintah daerah berada terpisah dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya mempunyai kewenangan untuk memberikan pengawasan secara tidak langsung.
Keempat, Privatisasi atau swastanisasi, yaitu pemberian wewenang secara penuh kepada swasta untuk merencanakan dan mengevaluasi seluruh sistem yang dikonstruksi.
Tuntutan reformasi terhadap pembangunan nasional mendorong dilakukannya reformasi arah kebijakan di bidang pendidikan nasional yang lebih demokratis dan terbuka, sehingga perlu peningkatan dan pemberdayaaan peran serta masyarakat serta peningkatan profesionalisme. Paradigma baru yang memberi ciri pada reformasi pendidikan antaralain,: Pertama, sentralisasi berubah kearah desentralisasi pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang semula terpusat menjadi tidak terpusat, yaitu menyerahkan sebagian kewenangannya ke pemerintah daerah, bahkan sampai pada tingkat sekolah (school based Managemant ). Kedua, konsep scholing akan berubah ke konsep learning, sehingga proses pendidikan lebih interaktif. Ketiga, Classs Orentation berubah ke individual orentation, sehingga peserta didik lebih mendapat perhatian untuk mengembangkan potensinya (competence based curriculum).
Perbaikan di dunia pendidikan itu ialah hal yang sangat mendesak untuk dilakukan mengingat pendidikan adalah investasi masa depan bangsa dimana anak bangsa di didik agar bisa meneruskan gerak langkah kehidupan bangsa, menjadi bangsa yang maju dan berpendidikan serta bermoral. Dengan kata lain masa depan suatu bangsa sangat tergantung pada kondisi pendidikan.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Peran Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimana peran Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dalam meningkatkan kualitas pendidikan
Apa saja yang menjadi faktor - faktor pendukung dalam peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Dompu.
Faktor – faktor apa saja yang menghambat dalam peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Dompu
1.3 Tujuan Penelitian
Berangkat dari beberapa permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan :
Ingin mengetahui bagaimana peran Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dalam meningkatkan kualitas pendidikan
Ingin mengetahui faktor – faktor yang mendukung Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dalam meningkatka kualitas pendidikan
Ingin mengetahui faktor apa saja yang menghambat peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Dompu
1.4 Manfaat Penelitian
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi seluruh masyarakat, terutama bagi para pembuat keputusan untuk membantu memecahkan masalah pendidikan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Dompu.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya perbendaharaan pengetahuan dan teori di bidang pendidikan, yang nantinya akan sangat berguna dalam menambah wacana dan diskursus ilmiah di dunia pendidikan.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pendidikan
Dalam Undang – undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan disini menegaskan bahwa dalam pendidikan hendaknya tercipta sebuah wadah dimana peserta didik bisa secara aktif mempertajam dan memperlihatkan potensi – potensinya sehingga memilki kemampuan secara alamiah, berasumsi bahwa manusia memiliki peluang untuk bersifat mandiri, aktif, rasional, sosial, dan spiritual.
Pendidikan secara lebih operasional dikembangkan oleh Philip H. Phenix dalam hal ini pendidikan umum, sebagai suatu proses pemunculan makna – makna yang esensial. Berbeda dengan H.A.R. Tilar yang mendefinisikan pendidikan sebagai suatu proses menumbuhkembangkan peserta didik yang memasyarakat, berbudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional, dan global. Sehingga dari devinisi ini dapat dijelaskan komponen – komponen sebagai berikut :
pendidikan merupakan sebuah proses kesinambungan. Suatu proses yang terjadi secara tidak instan pada diri peserta didik. Peserta didik dianggap sebagai manusia yang memiliki kemampuan- kemampuan yang immanen sebagai mahluk hidup di dalam suatu masyarakat. Kemampuan tersebut berupa dorongan-dorongan keinginan, elan vital yang ada pada manusia. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa proses pendidikan juga berarti proses penyelamatan kehidupan sosial dan penyelamatan lingkungan yang memberikan jaminan hidup yang berkesinambungan, yakni pendidikan tidak berhenti ketika peserta didik menjadi dewasa, tetapi akan terus- menerus berkembang selama terdapat interaksi antara manusia dengan manusia dan lingkungan alamnya.
proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia. Eksistensi manusia tidak pernah selesai dan terus menerus terjadi sepanjang hayatnya. Dorongan, keinginan dan elan elan vital hanyalah komponen-komponen didalam menumbuhkembangkan eksistensi manusia.
eksistensi manusia yang memasyarakat. Proses pendidikan adalah proses mewujudkan eksistensi manusia yang memasyarakat. Proses itu sendiri tidak terjadi dalam vacuum atau ruang hampa tetapi sekurang-kuramgnya terdapat unsur –unsur ibu, orang tua, keluarga, masyarakat, pendidikan formal, pendidikan nonformal sebagai pendorong.
proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya. Masyarakat bukan hanya memiliki budaya tetapi membudaya, artinya selain nilai-nilai yang ada dilestarikan juga akan muncul nilai-nilai baru. Cepat atau lambat kebudayaan akan bergerak dan maju selama masyarakat itu hidup, selama itu pula budayanya akan terus berkembang. Budaya disini dianggap sebagai nilai-nilai dan membudaya diartikan sebagai proses menghayati, melestarikan, mengembangkan, dan melaksanakan nilai-nilai yang berlaku. Pendidikan merupakan pranata sosial dimana kebudayaan itu berkembang. Sehingga antara kebudayaan dan pendidikan tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya.
proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi-dimensi waktu dan ruang. Dengan duimensi waktu, proses tersebut mempunyai aspek-aspek historisitas, kekinian, dan visi masa depan. Aspek historisitas berarti bahwa suatu masyarakat telah berkembang didalam suatu proses waktu, yang menyejarah berarti kekuatan-kekuatan historik telah menumpuk dan berasimilasi di dalam suatu proses kebudayaan. Aspek kekinian berarti bahwa budaya yang ada sekarang adalah budaya masa lalu yang masih dilestarikan dan budaya baru yang telah terseleksi menjadi budaya yang hidup atau sedang mengalami proses.
Dalam era globalisasi, masyarakat dunia semakin bergantung satu sama lain baik secara ekonomi, sosial politik, maupun ekologis, sehingga semakin dituntut saling pengertian dan kerjasama antar bangsa dan budaya. UNESCO (United Nations Scientific and Cultural Organization) sebagai lembaga internasional dalam bidang pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan menjadikan pendidikan global sebagai salah satu kepeduliannya. Kepedulian tersebut antara lain tertuang dalam rekomendasinya tentang ”pendidikan untuk saling pengertian secara internasional, kerjasama, perdamaian dan pendidikan berkenaan dengan hak asasi manusia”.
Era reformasi yang sedang kita jalani, ditandai dengan perubahan baik di bidang pemerintahan maupun di bidang pendidikan pada umunya. Perubahan tersebut ditandai oleh lahirnya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (Otoda), membawa konsekuensi terhadap bidang-bidang kewenangan daerah sehingga lebih otonom, termasuk di bidang pendidikan yang dilakukan melalui manajemen berbasis sekolah (School Based Management).
Sesuai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di bidang pendidikan, pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keinginan bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan pendidikan, beberapa perubahan dan penambahan aturan terhadap undang-undang diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu aturan yang memuat harapan tersebut adalah Undang –undang No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dinyatakan bahwa ada tiga tantangan besar dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu (1) mempertahankan hasil – hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai; (2) mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global; dan (3) sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memerhatikan keberagaman, memerhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Atas dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam Propenas, tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem pengelolaan pendidikan yaitu manajemen berbasis sekolah (MBS) terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, dimana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan orang tua murid serta masyarakat sebagai pemerhati pendidikan).
2.2 Pengertian peran/peranan
Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang yang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan (Soekanto 1984: 237).
Analisis terhadap perilaku peranan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: (1) ketentuan peranan, (2) gambaran peranan, dan (3) harapan peranan. Ketentuan peranan adalah pernyataan formal dan terbuka tentang perilaku yang harus ditampilkan oleh seseorang dalam membawa perannya. Gambaran peranan adalah suatu gambaran tentang perilaku yang sacara aktual ditampilkan seseorang dalam membawakan perannya, sedangkan harapan peranan adalah harapan orang-orang terhadap perilaku yang ditampilkan seseorang dalam membawakan perannya (Berlo 1961: 153). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan peranan adalah perilaku atau usaha yang dilakukan Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
2.3 Kualitas Pendidikan (Kualitas Lulusan)
Berbicara kualitas pendidikan, berarti yang pertama kali muncul dalam benak kita adalah kualitas lulusan karena tolok ukur pendidikan dikatakan berkualitas harus berdasar pada Outputnya. Perhatian terhadap pendidikan di negeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya. Ada banyak hal yang masih harus dibenahi dari kondisi pendidikan yang ada saat ini, mulai dari masalah birokrasi pendidikan yang masih tumpang tindih, simpang siur dan tidak terkoordinasi dengan baik, sampai dengan masalah internal pendidikan itu sendiri, yakni mengenai konsep pendidikan dan aplikasi praksis menciptakan pendidikan yang tepat dan akurat bagi kondisi bangsa. Akibatnya, pendidikan tidak mampu melahirkan manusia-manusia yang cerdas baik dari segi intelektualitas maupun kepribadiannya.
Apalagi kita melihat Output pendidikan itu sendiri yang faktanya menjadi sangat mengkhawatirkan. Banyak sekali anak didik yang mempunyai tingkat intelektualitas yang rendah dan juga kepribadian yang terbelah dan tidak lagi mampu melihat mana perilaku yang benar dan mana yang tidak. Banyak sekali anak didik yang melakukan tindakan kriminal seperti tawuran pelajar, terjerumus kedalam lingkaran narkoba, miras, dan perilaku tidak bermoral lainnya. Ini semua menunjukkan kualitas pendidikan (kualitas lulusan) belum memenuhi standar yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang menghendaki terbentuknya manusia yang bermoral dan berakhlak mulia serta berguna bagi bangsa dan negara. Namun perbaikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan bukan hal yang tidak mungkin.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, menyimpulkan bahwa pendidikan Indonesia berada pada urutan kedua belas setelah Vietnam. Sedangkan urutan pertama adalah Korea selatan, dan Singapura berada pada urutan kedua. Hasil survei ini didasarkan pada kualitas tenaga kerja dengan argumentasi yang dikemukakan bahwa langkah pertama untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas adalah pendidikan yang berkualitas.
Berdasarkan hasil survei tersebut ada beberapa hal yang menjadi Lesson learned, yaitu: pertama, peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu komitmen untuk melakukan investasi SDM untuk menumbuhkan dan mengembangkan daya kemampuan hidup mereka seoptimal mungkin. Kedua, pemerataan pendidikan perlu diikuti dengan mutu pendidikan. Ketiga, peningkatan mutu pendidikan perlu lebih meningkatkan bahasa Asing terutama bahasa Inggris dan pengajaran tekhnologi untuk meningkatkan kemampuan daya bersaing tenaga kerja Indonesia.
Peningkatan mutu pendidikan perlu dilakukan diversifikasi sesuai dengan kebutuhan riil peserta didik. Karena tidak semua peningkatan mutu pendidikan berorientasi akademik. Ada lapisan masyarakat yang tidak membutuhkan kompetensi akademik tetapi membutuhkan kompetensi untuk bekerja. Untuk itu diperlukan strategi peningkatan mutu pendidikan, yaitu peningkatan kualitas pendidikan yang berorientasi keterampilan dan peningkatan kualitas pendidiakn yang berorientasi akademik.
Pendidikan berorientasi keterampilan bisa dilihat dari data Kohort dan jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi menunjukkan bahwa tidak lebih dari 20% peserta didik pada jenjang pendidikan dasar yang melanjutkan sampai pada jenjang perguruan tinggi. Pemberian pendidikan Life Skill ini harus berorientasi kepada kebutuhan lokal, seperti pertanian, perikanan, dan kerajinan.
Sedangkan pendidikan berorientasi akademis ini bisa dipahami dari hasil studi the Third Internasional Mathematics and Science Study-repeat 1999 yang dilaksanakan pada 38 Negara dari lima benua, bahwa siswa SMP Indonesia menempati urutan ke-32 dan 34 untuk skor tes IPA dan MATEMATIKA, Singapura menduduki urutan pertama untuk skor tes MATEMATIKA dan kedua untuk skor tes IPA. Sedangkan siswa SMP Malaysia berada pada urutan ke-16 untuk skor tes MATEMATIKA dan 22 untuk skor tes IPA.
Rendahnya mutu pendidikan berorientasi akademik tidak terlepas dari rendahnya alokasi pendidikan. Sejak tahun 1995/1996 sampai dengan 1999/2000 proporsi anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional tidak pernah melebihi angka 8% dari APBN. Sehingga membawa dampak langsung terhadap ketersediaan sarana dan prasarana pendidkan di tingkat sekolah dan kesejahteraan tenaga kependidikan diberbagai jenis, jenjang dan jalur. Akibatnya proses belajar mengajar tidak dapat mendukung peningkatan prestasi akademik peserta didik.
Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan berorientasi akademik bisa ditempuh melalui : (1) Quality Asurance, kepada semua lembaga pendidikan sehingga dapat mempersiapkan peserta didik untuk dapat tersaring pada saat dilakukan qualiti control pada saat ujian nasional; (2) menjamin kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga mereka dapat hidup layak dan dapat memusatkan perhatiannya pada mengajar; dan (3) mendorong daerah dan lembaga untuk dapat memobilisasi berbagai sumber dana dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan.
Meskipun tidak semua desentralisasi pengelolaan pendidikan dan implementasi manajemen berbasis sekolah senantiasa berkorelasi positif terhadap peningkatan kualitas lulusan lembaga pendidikan. Tekad dan komitmen ini diharapkan dapat mengurangi kelemahan reformasi pendidikan pada masa – masa sebelumnya yaitu :
1. hanya terfokus pada perubahan tingkat sistem daripada perbaikan instansi atau kelembagaan sekolah
2. lebih menekankan pada ketersediaan input dari sistem, seperti fasilitas dan ketersediaan buku-buku teks
3. perbaikan pendidikan kurang mengadaptasi kebutuhan masing-masing sekolah karena sekolah dianggap mempunyai karakter yang umum (De Grauwe dan Varghese dalam Lukman 2006)


2.4 Perkembangan Pendidikan Nasional
Saat ini kesadaran pemerintah untuk menyiapkan masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri serta mampu bersaing di tingkat internasional sangat tinggi. Sebagi negara berkembang, pengembangan pendidikan hendaklah dilihat sebagai sutu proses kelangsungan peradaban bangsa, oleh sebab itu maka faktor-faktor psiko-sosial dan budaya bangsa perlu diikutsertakan dalam merancang, menciptakan pendidika agar tercipta situasi yang kondusif sehingga keberhasilan belajar dapat tercapai.
Upaya pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia secara terencana dimulai tahun 1969 dalam program pembangunan lima tahun pertama (pelita 1), melalui proyek-proyek pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi. Jalur pendidikan formal (pendidkan melalui sekolah) secara kuantitatif sejak Indonesia merdeka sampai dengan berakhirnya orde lama (1966) terdapat perkembangan yang berarti. Sejak awal orde baru sampai dengan repelita VI tahun 1996/1997 perkembangan pendidikan di tanah air sangat spektakuler.
Dalam pembangunan nasional jangka panjang pertama, sektor pendidikan berada dalam taraf pementapan sistemnya terutama pada pendidikan dasar. Secara logis, setelah terget kuantitas ini tercapai langkah selanjutnya ialah meningkatkan kualitasnya. langkah ini menjadi teramat penting karena beberapa hal : (a) pendidikan dasar merupakan pendidikan yang dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat; (b) pendidikan dasar merupakan tuntutan konstitusi, karena dalam undang-undang 1945 mewajibkan kepada anegara untuk menyelenggarakan satu sistem dan pengajaran sehingga pendidikan itu menjadi hak bagi setiap warganegara; (c) dengan lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, maka landasan yuridis dan operasional telah tersedia sebagai langkah pertama secara mantap untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi ialah mewujudkan bangsa Indonesia yang cerdas.
Sejak akhrir repelita ke II dikenalka strategi dasar pembangunan pendidikan nasional yang kemudian diperkuat dengan pernyataan dalam garis – garis besar haluan negara tahun 1978 yang dirumuskan dalam empat butir, yaitu:
peningkatan kualitas pendidikan, upaya peningkatan kualitas pendidikan dilakukan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan, yaitu melalui konsensus nasional antara pemerintah dengan seluruh masyarakat
pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pemerataan pendidkan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan, tanpa adanya diskriminasi. Hal ini berkenaan dengan pembiayaan pendidikan yang adil dan transparan
relevansi pendidikan, peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat, peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat dalam pengambilan kebijakan bersama-sama dengan dewan atau komite sekolah
efisiensi pendidikan, mengarah pada pengelolaan pendidikan berbasis sekolah.
Dalam tahap pembangunan masyarakat Indonesia, pemerintah berencana meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui proses industrialisasi. salah satu program yang dapat menyiapkan dan melaksanakan arah perkembangan masyarakat Indonesia masa depan ialah pendidikan. malahan PPB mengaggap program pendidikan merupakan salah satu dinamisator dalam pengembangan manusia. Ini menunjukkan bahwa pendidikanlah yang mampu mengubah kehidupan manusia, bangsa dan negara.
2.6 Masalah Kurikulum
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat indonesia sangat herogen dengan berbagai macam keragamanya, seperti budaya, adat, suku sumber daya alam, dan bahkan sumber daya manusianya. Masing – masing daerah mempunyai kesiapan dan kemampuan yang berbeda dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objektif di daerahnya.
Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga pendidikan tidak sekedar daftar mata pelajaran yang dituntut dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pengertian yang lebih luas, kurikulum berisi kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran tertentu, juga berkenaan dengan proses yang terjadi dalam lembaga (proses pembelajaran), fasilitas yang tersedia yang menunjang terjadinya proses, dan akhirnya produk atau hasil dari proses tersebut.
Kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan kegiatan suatu lembaga pendidikan atau pelatihan untuk untuk mewujudkan visi dan misi lembaganya. Oleh karena itu, pelaksanaan kurikulum untuk menunjang keberhasilan sebuah lembaga pendidikan harus ditunjang hal-hal sebagai berikut :
tersedianya tenaga pengajar (guru) yang kompeten
tersedianya fasilitas fisik atau fasilitas belajar yang memadai dan menyenangkan
tersedianya fasilitas bantu untuk proses belajar mengajar
adanya tenaga penunjang pendidikan, seperti tenaga administrasi, pembimbing, pustakawan dan laboran
tersedianya dana yang memadai
manajemen yang efektif dan efisien
terpeliharanya budaya yang menunjang, seperti nilai-nilai religius, moral, kebangsaan, dan lain-lain
kepemimpinan pendidikan yang visioner, transparan dan akuntabel.
Kurikulum sekolah yang amat terstruktur dan sarat beban menyebabkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril terhadap keadaan dan perubahan lingkungan fisik serta sosial yang berkembang di masyarakat. Akibatnya, proses pendidikan menjadi rutin, tidak menarik dan kurang mampu memupuk kreativitas murid untuk belajar serta guru dan pengelola pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan pendekatan yang inovatif.
Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat, yaitu kelembagaan pendidikan yang bersandarkan pada komunitas masyarakat. Namun demikian, pada zaman reformasi dan keterbukaan seperti sekarang permasalahan yang timbul adalah bagaimana mengubah pola pikir yang dikembangkan secara sentralistik dan memasung kreativitas masyarakat, menjadi pola pikir kemitraan. Dampak langsung dari sekian lama sistem sentralistik yang dijalankan adalah terpolanya cara berpikir masyarakat, baik birokrasi, para pendidik, maupun masyarakat umumnya. Mereka terbiasa berpikir dan bekerja dengan juklak, juknis, serba aturan, sehingga sulit lahirnya kreativitas, improvisasi, inovasi. Kemitraan yang dimaksud adalah kemitraan antara masyarakat dal kelembagaan-kelembagaan pendidikanya.
Dalam kaitanya dengan manajemen kurikulum, peningkatan relevansi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat antara lain perlu dilakukan manajemen kurikulum yang berangkat dari suatu prediksi yang dapat memberikan gambaran dan keadaan masyarakat beberapa tahun mendatang. Hal ini penting, apalagi sekarang masyarakat cenderung lebih berpikir pragmatis, yakni suatu tuntutan kepada lembaga pendidikan untuk dapat melahirkan out-put yang mampu menjamin masa depannya terutama dalam sektor dunia kerja. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan harus tetap dijaga agar tetap selalu responsif dalam mengikuti perkembangan teknologi dan perkembangan zaman terutama di dunia pendidikan.
Selanjutnya yang menjadi pembahasan adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau biasa disebut KTSP, karena KTSP merupakan kurikulum yang sedang dipakai sebagai acuan dalam mengembangkan kegiatan belajar mengajar (KBM).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. KTSP memberikan kebebasan kepada para guru dan sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, sedangkan pemerintah hanya bertanggung jawab dalam masalah pembuatan standar-standar yang antara lain berupa standar isi dan standar kompetensi lulusan.
Kurikulum dikembangkan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk :
(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
(b) belajar untuk memahami dan menghayati,
(c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
(d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan
(e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Sedangkan komponen KTSP terdiri dari:
(a) Tujuan Pendidikan Sekolah
(b) Struktur dan Muatan Kurikulum
(c) Kalender Pendidikan
(d) Silabus
(e) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP .
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
Beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Relevan dengan kebutuhan kehidupan, pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
Menyeluruh dan berkesinambungan, substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
Belajar sepanjang hayat, kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah, kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).






















BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, sesuai dengan hakikat penelitian deskriptif kualitatif, maka penggunaan deskriptif kualitatif dalam penelitian pendidikan bertujuan untuk : (a) mendiskripsikan suatu proses kegiatan pendidikan berdasarkan apa yang terjadi di lapangan, (b) menganalisis dan menafsirkan suatu fakta, gejala dan peristiwa yang terjadi dilapangan sebagaimana adanya dalam konteks ruang, waktu serta situasi lingkungan pendidikan secara alami.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, karena ada beberapa pertimbangan. Pertama menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden.
3.2 Lokasi Penelitian
Yang dipilih sebagai lokasi penelitian ini adalah Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dengan alasan bahwa Kabupaten Dompu merupakan salah satu daerah yang masih belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan dengan baik khususnya di Nusa Tenggara Barat.
3.3 Jenis Data dan sumber Data
3.3.1 Data Primer
Adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber –sumber, pihak-pihak yang dituju antara lain data yang di dapat dari lapangan dengan tujuan untuk mengetahui segala hal yang berhungan dengan tema penelitian.
3.3.2 Data Sekunder
Adalah data yang diperoleh dari arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang ada di Dinas pendidikan Kabupaten Dompu terutama berkenaan dengan arsip-arsip berupa laporan, buku, majalah, internet dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Metode penggumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.4.1. Metode Observasi Langsung
Metode ini digunakan dalam penelitian sebab peneliti menganggap bahwa mustahil peneliti akan mendapatkan data yang valid untuk kemudian dianalisa dan digambarkan jika peneliti tidak mengadakan pengamatan langsung di lapangan.
3.4.2. Metode Wawancara
Untuk melengkapi hasil pengamatan yang didapat dari hasil observasi, maka wawancara dengan pihak-pihak terkait juga menjadi hal yang tidak kalah pentingnya. Wawancara ini dilakukan secara mendalam (Indept Interview) kepada informan kunci, teknik ini digunakan untuk mewawancarai kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu. Dalam wawancara ini informasi yang ingin digali yaitu bagaimana peran Dinas Pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Kabupaten Dompu.
3.4.3. Metode Dokumentasi
Menurut Zuriah (2007:191), Dokumentasi didefinisikan sebagai cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip, termasuk juga buku tentang teori, pendapat, dalil atau hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dalam penelitian kualitatif, metode ini merupakan alat pengumpul data yang utama karena pembuktian hipotesisnya yang diajukan secara logis dan rasional melalui pendapat, teori, atau hukum-hukum yang diterima, baik mendukung maupun yang menolong hipotesis tersebut. Dokumen yang ingin diperoleh adalah tujuan dan sasaran pembangunan Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu, hasil UAN pendidikan Kabupaten Dompu tahun 2007 – 2008 dan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Dompu khususnya tentang pendidikan.
3.5 Analisis Data
Analisis data, menurut Moleong (1998:103) adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga data ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data. Tujuan utama analisis data ialah mengorganisasikan data.
Data yang terkumpul dari berbagai sumber dan dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data. Langkah selanjutnya adalah mereduksi data, dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan membuat usaha rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif terhadap semua data yang ada, semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.
3.6 Keabsahan Data
Keabsahan data digunakan agar hasil penelitian menjadi terarah dan sesuai dengan data maupun fakta yang diperoleh dan dapat dipertanggungjawabkan.
Setiap penelitian memerlukan standar untuk melihat derajat kepercayaan atau kebenaran hasil penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif standar tersebut dinamakan keabsahan data. Moleong, mengemukakan bahwa untuk menentukan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan, secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
1. Melakukan Diskusi (Peerdebriefing)
Peerdebriefing merupakan hasil pembicaraan atau hasil diskusi dengan rekan sejawat atau orang lain yang tidak berkepentingan dan tidak turut terlibat dalam penelitian ini sehingga dapat bersikap jujur, objektif dan kritis, dengan tujuan dapat menjadi masukan yang berguna untuk mengadakan perubahan dan perbaikan
2. Melakukan Triagulasi (cek-ricek)
Untuk keperluan pengecekan terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara membandingkan apa yang dikemukakan oleh orang lain atau dari beberapa sumber dengan apa yang dikatakan secara pribadi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
3. Melakukan member cek terhadap temuan di lapangan
Dalam hal ini peneliti meminta pendapat kepada subjek penelitian dan orang-orang yang masih berkaitan dengan subjek untuk menilai kebenaran data, tafsiran, serta kesimpulan penelitian.
4. Perpanjangan Keikutsertaan
perpanjangan keikutsertaan berarti lama dan keintensifan pengumpulan data tidak ditetapkan secara kaku, melainkan secara luwes sehingga apabila diduga dengan menambah lama dan keintesifan pengumpulan data masih bisa memunculkan informasi baru, maka penambahan dilakukan dengan perpanjangan keikutsertaan, peneliti dapat mempelajari bagaimana menguji kebenaran dan mengurangi distorsi.
Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi (cek-ricek) yaitu data yang didapat dari responden, baik dari hasil wawancara maupun observasi dibandingkan dengan sumber lain diluar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang didapat. Hal ini dilakukan guna mengetahui keberadaan informasi yang diberikan berkaitan dengan permasalahn penelitian.
3.7 Tahap – tahap Penelitian
Berdasarkan kajian kepustakaan yang ada menurut Bodgan (Moleong 2004 : 85) tahap – tahap penelitian kualitatif terdiri dari :
Tahap Pra lapangan, terdiri dari menyusun rancangan penelitian, memilih lokasi penelitian, mengurus ijin penelitian, menjajaki dan menilai keadaan di lapangan, pemilihan informan, dan penyiapan perlengkapan penelitian.
Tahap pekerjaan lapangan, yaitu memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan serta melakukan pengumpilan data.
Tahap analisa data dan penyusunan laporan, terdiri dari konsep analisa data, menemukan tema dan menganalisa data yang diperoleh. Sebagai konsep yang berfungsi memberikan informasi maka tahap-tahap penelitian tersebut dapat dipergunakan dengan berbagai modifikasi sehingga menjadi beberapa tahap, yaitu :
Tahap Persipan
Pada tahap ini diawali dengan penyusunan rancangan penelitian, melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing, kemudian peneliti mengajukan surat ijin penelitian di TU FKIP Universitas Muhammadiyah Malang, selanjutnya peneliti mendatangi lokasi penelitian, meminta ijin atau memberikan surat ijin penelitian kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu. Adapun peralatan yang dipersiapkan meliputi alat tulis, daftar pertanyaan wawancara dan tape recorder.
Tahap Pelaksanaan
Setelah melakukan penjajakan dilapangan, pada tahap ini peneliti mulai mengumpulkan informasi atau data yang diperoleh dengan menggunakan beberapa metode. Selama pengumpulan data berlangsung, peneliti sudah dapat melakukan analisa data. Analisis data dilakukan untuk mengkaji fokus penelitian, menyusun temuan-temuan, mengembangkan pertanyaan-pertanyaan, serta menentukan sasaran pengumpulan data berikutnya.
Tahap Penyusunan Laporan
Penulisan laporan penelitian merupakan tahap akhir dari serangkaian langkah-langkah penelitian kualitatif. Pada tahap ini peneliti melakukan pengecekan kembali laporan hasil penelitian, mengecek kembali dari data-data yang terkumpul dengan pihak-pihak yang terkait, selanjutnya peneliti melakukan penyusunan laporan penelitian.














BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Abdullatif. 2007. Pendidikan berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung : Refika Aditama.
A. Malik Fadjar. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
H. Baharuddin dan Moh. Makin. 2007. Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan) Jogjakarta, Depok, Sleman, Maguwoharjo : AR –RUZZ MEDIA GROUP.
Hasbullah. 2007. Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinnya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
H.A.R. Tilaar. 2006. Manajemen Pendidikan Nasional (Kajian Pendidikan Masa Depan). Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi,dan Implementasi) Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nurul Zuriah. 2007. Metodelogi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Teori – Aplikasi). Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Undang – Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bandung : Citra Umbara.
http//www. Damandiri. com/pengertian peran/peranan.pdf.

Tidak ada komentar: