Minggu, 13 Desember 2009

Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.
Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.
Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
Ujian Nasional Dan Kondisi Psikis Siswa
Ujian Nasional, sepertinya masalah ini sudah basi atau tidak pentingkah? Karena saat ini tengah diperdebatkan oleh praktisi pendidikan dalam ranah hokum, untuk melihat dimana kejanggalan UN yang hangat diperdebatkan ini. UN yang di dewakan oleh pemerintah untuk mengukur/mengetahui/mengefaluasi mutu pendidikan ini tidak sedikit membawa dampak negative terhadap siswa. Setiap tahunya banyak siswa yang putus asa bahkan bunuh diri dikarenakan tidak puas dengan hasil yang diperolehnya selama tiga hari dalam UN dibanding dengan upayanya selama tiga tahun (singkatnya tiga tahun hanya ditentukan tiga hari melalui UN)
Kritik tajam datang dari berbagai pihak mulai dari siswa yang menjadi korban, orangtua siswa yang dirugikan, praktisi pendidikan, bahkan semua elemen masyarakat yang merasa prihatin dengan kondisi pendidikan saat ini.
Dalam hal ini yaitu mengenai kondisi psikis anak ketika menghadapi Ujian, apakah kita sebagai orangtua atau guru membantu mereka mengelola emosi, agar bisa bersikap tenang dalam menghadapi pertempuran atau kekalutan bernama Ujian Nasional ini. Adakah kita para orangtua maupun guru menciptakan suasana yang kondusif agar mereka siswa tersebut bisa menyikapi atau mempersiapkan mental dengan baik agar semangat menghadapinya(UN)? Tanyalah pada diri kita sendiri sebagai orangtua atau guru. Jangan-jangan malah kita menciptakan suasana yang tegang, sehingga belum saja menjalani UN, siswanya sudah nervous, tertekan, khawatir, takut tidak lulus dan banyak ketakutan-ketakutan lainnya.
Otak dan pikiran mereka kita jejali dengan latihan-latihan soal, dalam pandangan mereka kita gambarkan bahwa meraih NEM atau nilai berdasarkan standart nasional berapa, (tanya saja pada mereka yang berkompeten), tertinggi adalah harga mati. Atau tinggal pilih mau lulus atau tidak, terserah yang penting kita bisa menjejali mereka bahasan-bahasan soal yang memusingkan kepala. Lagi-lagi siswa selalu jadi korban, mau protes apa ada yang menyikapi. Garis bawahi, jika siswa sudah duduk di kelas III, maka mereka akan dilatih untuk menjawab a,b,c dan d. Latihan soal ini dan soal itu, terkadang kurang di jam pelajaran, ditambah lagi dengan les, bahkan ada yang ikut bimbel. Waktu diisi hanya berpacu dengan soal dan soal, materi nomor kesekian, ilmu yang didapat siswa itu urusan nantilah. Jika siswa ada yang gagal maka mereka yang disalahkan, tapi kalau mereka dapat nilai bagus maka semua berbangga hati.
Bukan berarti UN itu tidak penting, namun disini yang harus diperhatikan adalah kesiapan kondisi psikis anak atau siswa itu harus diperhatikan. Tidaklah harus main-main menghadapi UN tersebut. Kita sebagai orangtua atau guru haruslah mengkondisikan mental anak dengan baik., dampingi mereka. Karena mempersiapkan mental yang baik dalam menghadapi ujian itu penting. Kita tidak mesti menuntut anak secara berlebihan agar mereka jadi juara dengan tekanan-tekanan secara lisan. Harus dapat NEM tinggi atau harus dapat rangking terbaik atau harus-harus yang lainnya lagi. Persiapan untuk belajar saja anak atau siswa tersebut sudah capek lahir batin, apalagi dengan tuntutan-tuntutan kita yang terlalu over. Seolah-olah NEM tinggi itu adalah segala-galanya. Cukuplah sudah kita membebani mereka dengan jadwal-jadwal padat dalam menghadapi ujian. Belum lagi ditambah peraturan-peraturan yang sudah terpusat dalam mengatur tentang UN ini. Jangan ditambah lagi dengan hal remeh temeh yang dapat berakibat fatal, hingga siswa benar-benar gagal menempuh UN, hanya karena kondisi mental yang jatuh.
Saya yakin kita, anda para orangtua dan pendidik yang berhubungan langsung dengan anak atau siswa dapat bersikap arif dan bijak menyikapi hal ini. Dan sebagai anak atau siswa, haruslah menghadapi ujian ini dengan penuh tanggungjawab, kesatria dan jujur. Marilah kita ciptakan suasana yang kondusif agar siswa dapat menghadapi dan menjalani ujian nasional ini dengan hati yang tenang dan senang. Mereka bahagia dan semangat menghadapi dan menjalaninya tanpa ada beban, dibarengi dengan doa dan usaha mereka yang maksimal, maka yakinlah kita akan melihat keberhasilan mereka. Tapi ingat ilmu atau materi itu penting ditransfer kepada siswa, tidak hanya mengutamakan latihan-latihan soal yang sifatnya temporal atau instan. Kasihan jika kita mencetak lulusan yang tak berilmu pengetahuan. Coba bayangkan “Andai Ujian Nasional, Seperti Sebuah Pesta,” maka siswa akan menyonsongnya dengan penuh kegembiraan, bahkan dengan semangat dan keriangan diwajah yang terus terpancar.
Sebagai penutup “evaluasi pendidikan perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pendidikan kita, tapi bukan dengan Ujian Nasional”. Pemerintah cobalah untuk melihat bagaimana kondisi pendidikan yang berada di pinggiran, kondisi sekolah mereka tidak layak, satu sekolah hanya 2-3 guru, perpustakaan tidak terpenuhi. Perhatikanlah hal-hal seperti ini baru anda (pemerintah) pertimbangkan cara terbaik untuk mengevaluasi pendidikan kita.

Sekian terima kasih…..desember 2009. (ngahi rawi pahu)

Sabtu, 12 Desember 2009

DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, menyimpulkan bahawa pendidikan Indonesia berada pada urutan keduabelas setelah Vietnam. Sedangkan urutan pertama adalah korea selatan, dan Singapura berada pada urutan kedua. Hasil survei ini didasarkan pada kualitas tenaga kerja dengan argumentasi yang dikemukakan langkah bahwa langkah pertama untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas adalah pendidikan yang berkualitas.
Berdasarkan hasil survei tersebut ada beberapa hal yang menjadi Lesson learned, yaitu: pertama, peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu komitmen untuk melakukan investasi SDM untuk menumbuhkan dan menggembangkan daya kemampuan hidup mereka seoptimal mungkin. Kedua, pemerataan pendidikan perlu diikuti dengan mutu pendidikan. Ketiga, peningkatan mutu pendidikan perlu lebih meningkatkan bahasa Asing terutama bahasa Inggeris dan pengajaran tehnologi untuk meningkatkan kemampuan daya bersaingtenaga kerja Indonesia.
Peningkatan mutu pendidikan perlu dilakukan diversifikasi sesuai dengan kebutuhan riil peserta didik. Karena tidak semua peningkatan mutu pendidikan tidak semua beroreantasi akademik. Ada lapisan masyarakat yang tidak membutuhkan kompetensi akademik tetapi membutuhkan kompetensi untuk bekerja. Untuk itu diperlukan strategi peningkatan mutu pendidikan, yaitu peningkatan kualitas pendidikan yang beroreantasi keterampilan dan peningkatan kualitas pendidiakn yang berorentasi akademik.
Pendidikan berorentasi keterampilan bisa dilihat dari data Kohort dan jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi menunjukkan bahwa tidak lebih dari 20% peserta didik pada jenjang pendidikan dasar yang melanjutkan sampai pada jenjang perguruan tinggi. Pemberian pendidikan Life Skill ini harus beroreantasi kepada kebutuhan lokal, seperti pertanian, perikanan, dan kerajinan.
Sedangkan pendidikan beroreantasi akademis ini bisa dipahami dari hasil studi the Third Internasional Mathematics and Science Study-repeat 1999 yang dilaksanakan pada 38 Negara dari lima benua, bahwa siswa SMP Indonesia menempati urutan ke-32 dari 34 dari tes IPA dan MATEMATIKA, Singapura menduduki urutan pertama untuk skor tes MATEMATIKA dan kedua untuk IPA. Sedangkan siswa SMP Malaisya berada pada urutan ke-16 untuk skor tes MATEMATIKA dan 22 untuk skor tes IPA.
Rendahnya mutu pendidikan berorentasi akademik tidak terlepas dari rendahnya alokasi pendidikan. Sejak tahun 1995/1996 sampai dengan 1999/2000 proporsi anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional tidak pernah melebihi angka 8% dari APBN. Sehingga membawa dampak langsung terhadap ketersediaan sarana dan prasarana pendidkan di tingkat sekolah dan kesejahteraan tenaga kependidikan diberbagai jenis, jenjang dan jalur. Akibatnya proses belajar mengajar tidak dapat mendukung peningkatan prestasi akademik peserta didik.
Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan beroreantasi akademik bisa ditempuh melalui : (1) Quality Asurance, kepada semua lembaga pendidikan sehingga dapat mempersiapkan peserta didik untuk dapat tersaring pada saat dilakukan quliti control pada saat ujian nasional; (2) menjamin kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga mereka dapat hidup layak dan dapat memusatkan perhatiannya pada mengajar; dan (3) mendorong daerah dan lembaga untuk dapat memobilisasi berbagai sumber dana dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan.

Departemen pendidikan nasional, sebagai penanggung jawab sistim pendidkan secara nasional, mengimbau agar pendidikan mendapat perhatian yang serius. Kerjasama antara pemerintah daerah, DPRD, dan Depdiknas dapat diperkuat dengan saling membantu, saling berkonsultasi, dan saling mengoreksi agar kita dapat menghasilkan SDM yang berkualitas dan handal di era otomi daerah.

DESENTRALISASI PENDIDIKAN dan PENINGKATAN KUALITAS SDM

Terma desentaralisi mengemuka pertama kali pada tahun 1974 bersamaan dengan disusunya UU Nomor 5 Tahun 1974 dan menjadi wacana publik dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 (kini UU nomor 32 tahun 2004) mengenai pemerintah daerah. Bab I tentang ketentuan umum pasal I butir (c) menyebutkan, “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka NKRI”.
Beberapa aturan mengenai Otonomi Daerah ini diungkap dalam UU Nomor 22 tahun 1999 jo UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 25 tahun 1999 jo UU nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan PP nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangkan Provinsi sebagai daerah otonom.
Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pendidikan dan kebudayaan telah ditetapkan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/Kota, disamping kewenangan lain seperti pekerjaan umum, kesehatan, dan pertanian, perhubungan industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja. Tujuan dilimpahkannya pelaksanaan pendidikan kepada pemerintah daerah (Pemda) seperti yang tercantum dalam konsideran UU Nomor 22 tahun 1999, adalah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah tanpa mengabaikan persaingan dunia global (global village).
Melalui UU diatas, pendidikan diharapkan berorentasi kepada mutu, relevan dengan kndisi global dan kondisi daerah, dan merata pada masyarakat setempat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut kirannya perlu dideteksi berbagai potensi pendukung dan kendala yang dihadapi untuk kemudian dicari solusinnya dalam konteks pendidikan. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Treatment[Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Hambatan) adalah strategi awal bagi pemberdayaan dan pengembangan pendidikan di daerah.
Ada dua macam otoritas kewenangan dan tanggung jawab yang dibebankan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi. Pertama, desentralisasi politis. Desentaralisasi politis menyangkut segala kebijakan yang dibutuhkan untuk melaksanakan wewenang tersebut, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasinya. Kedua, Desentralisasi Administratif. Desentralisasi pendidikan menyangkut strategi pengolaan kewenangan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan.
Salah satu wujud desentralisasi daerah ini adalah desentralisasi dan otonomisasi penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan sebagai sarana yang paling efektif bagi aktualisasi masyarakat, milik dan untuk masyarakat, maka desentaralisasi dan otonomisasi adalah sesuatu yang urgen. Otonomi pendidikan yang mengacu kepada UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa jiwa dan semangat otonomi adalah kewenangan kesatuan masyarakat hukum di daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Memaknai konsep otonomi daerah dalam konteks otonomi pendidikan adalam memberikan kekuasaan dan tanggung jawab penuh kepada sekolah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Otonami pendidikan menyarankan sekolah untuk memanaj sistem pendidikannya secara mandiri yang lepas dari ketergantungan kepada pemerintah dan kewenangan pusat, menuju ke masyarakat lokal sekolah.
Reposisi otonomi pendidikan dioretasikan kepada peningkatan kualitas pendidikan, dengan melakukan lompatan dengan pembelajaran kelas ke tingkat organisasi sekolah dan mereformasi sistem struktur serta bentuk manajemen sekolah.
Corak reformasi-reposisi ini diseut dengan Manajemen Berbasis Sekolah/MBS (School Based Management). MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam melakukan program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai dengan otonomi yang luas ditingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan pendidikan nasionalnya.
MBS sebagai realisasi dari desentralisasi pendidikan, menurut D.A. Rondinelli dan G.S. Cheema (1983) sebagai mana dikutp Ibtisam Abu-Duhou (2002), sedikitnya ada empat bentuk yang perlu diidentifikasi. Pertama, dekonsentarasi yaitu pelimpahan sebagian kewenangan atau tanggung jawab administratif ketingkat yang lebih rendah dibawah departemen dan pemerintah pusat, dan pengalihan beban kerja dari pejabat pusat ke staf atau kantor diluar ibu kota atau pemerintah pusat. Kedua, delegasi, yaitu pelimpahan atau pemindahan tanggung jawab manajerial dan fungsional ke organisasi diluar struktur birokrasi, yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Kelemahan desentralisasi model ini adalah otoritas kedaulatan masih dikendali pusat, sementara daerah hanya pelaksana operasional.
Ketiga, devolusi penguasaan dan penciptaan unit pemerintah didaerah, baik secara legal maupun secara finansial, dimana aktifitasnya secara substansil berada diluar pengawasan langsung pemerintah pusat. Di sini unit pemerintah daerah berada terpisah dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya mempunyai kewenangan untuk memberikan pengawasan secara tidak langsung.
Keempat, prifatisasi atau swastanisasi, yaitu pemberian wewenang secara penuh kepada swasta untuk merencanakan, merencanakan dan mengevaluasi seluruh sistem yang dikonstruksi.
Tuntutan reformasi terhadap pembangunan nasional mendorong dilakukannya reformasi arah kebijakan di bidang pendidikan nasional yang lebih demokratis dan terbuka, sehingga perlu peningkatan dan pemberdayaaan peran serta masyarakat serta peningkatan profesionalisme. Paradigma baru yang memberi ciri pada reformasi pendidikan antaralain,: Pertama, sentralisasi berubah kearah desentralisasi pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang semula terpusat menjadi tidak terpusat, yaitu menyerahkan sebagian kewenangannya ke pemerintah daerah, bahkan sampai pada tingkat sekolah (school based Managemant ). Kedua, konsep scholing akan berubah ke konsep learning, sehingga proses pendidikan lebih interaktif. Ketiga, Classs Orentation berubah ke individual orentation, sehingga peserta didik lebih mendapat perhatian untuk mengembangkan potensinya (competence based curriculum).

Kamis, 10 Desember 2009

MBS ANTARA CITA DAN FAKTA

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebenarnya bukan lagi wacana baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Konsep ini telah disosialisasikan bersamaan dengan pewacanaan kurikulum 1994 pada tenaga pendidik dan kependidikan. Capaian untuk menjadi Sekolah Mandiri pada masa itu belum dapat terpenuhi karena pemerintah tidak memonitor pelaksanaan program tersebut di lapangan. Pengisian 186 butir Evaluasi Diri dari BAS (Badan Akreditasi Sekolah) yang disyaratkan dalam pemenuhan perolehan akreditasi sekolah menjadi kegiatan yang seremonial dan tak lebih dari pengumpulan dokumen foto copy yang siap diperiksa oleh asessor (Soetikno, 2007).
MBS kembali menjadi populer sejak tahun 1999, saat pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan UNESCO dan UNICEF, mengusung program MBS yang dalam proyek tersebut dikenal dengan nama CLCC (Creating Learning Communities for Children), yang diterjemahkan menjadi “Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak”. Proyek ini melibatkan sejumlah sekolah di berbagai propinsi sebagai objek kegiatannya.
Implementasi MBS pada tingkat satuan pendidikan bukan sekedar luapan semangat desentralisasi yang berlebihan. MBS seacar konsepsional lahir dari prinsip determination theory yakni prinsip dimana kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar yakni sekolah itu sendiri.
Sementara secara konstitusional, MBS dilaksanakan berlandaskan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah (kini UU nomor 32 tahun 2004) dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, tepatnya pasal 51 ayat 1 yang berbunyi ”Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”.
Sejalan dengan semangat desentralisasi pendidikan, sudah sepantasnya jika segala kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pendidikan bertumpu pada sekolah dan masyarakat. Dalam konsep MBS, sekolah diposisikan sebagai suatu lembaga yang berada di tengah-tengah masyarakat yang memiliki ciri khas tersendiri, sehingga sekolah harus memiliki unit perencana, unit pembuat keputusan, dan basis manajemen. Tidaklah mengherankan bila keberadaan Komite Sekolah, yang mencerminkan peran serta masyarakat dalam memajukan pendidikan, menjadi instrumen kunci dalam pelaksanaan MBS.
Jauh sebelum disahkannya PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang disusul dengan keluarnya Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan, sebagian besar sekolah di Indonesia telah memiliki Komite Sekolah sejak tahun 2002. Hal ini tidak terjadi bukan tanpa dasar hukum, karena keberadaan Komite Sekolah pada waktu itu telah berlandaskan Kepmendiknas No. 044/U/2002 yang mengatur tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Komite Sekolah yang juga merupakan perwujudan dari Peran Serta Masyarakat (PSM) ini sebenarnya sangat sejalan dengan konsep tri pusat yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Melalui konsep ini, pendidikan peserta didik diharapkan agar tidak hanya diurus oleh sekolah saja, tetapi peran serta keluarga dan masyarakat juga sangat dibutuhkan sehingga apa yang disebut dengan pembelajaran sepanjang hayat dapat tercapai.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, “Manajemen Berbasis Sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004).
MBS atau school-based management sendiri merupakan sebuah upaya adaptasi dari paradigma pendidikan baru yang berasaskan desentralisasi. MBS memberikan otoritas pada sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif untuk kepentingan sekolah.
Menurut Hasbullah, pada umumnya MBS dimaknai sebagai berikut:
1. dalam rangka MBS alokasi dana kepala sekolah menjadi lebih besar dan sumber dana tersebut dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan sekolah sendiri
2. sekolah lebih bertanggung jawab terhadap perawatan, kebersihan, dan penggunaan fasilitas sekolah, terrmasuk pengadaan buku dan bahan belajar
3. sekolah membuat perencanaan sendiri dan mengambil inisiatif sendiri untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan melibatkan masyarakat sekitar
4. MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi yang lebih terbuka.

2.2 Tujuan Implementasi MBS
Tujuan implementasi program MBS adalah jelas untuk mencapai peningkatan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan, sejalan dengan apa yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan diselenggarakan dengan prinsip pemberdayaan seluruh komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Diharapkan dengan menerapkan manajemen dengan pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal sebagaimana berikut: (1) menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut, (2) mengetahui sumber daya yang dimiliki dan input pendidikan yang akan dikembangkan, (3) mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya, (4) bertanggung jawab terhadap orang tua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah, (5) dan persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. Secara ringkas, yang paling utama dari penerapan MBS adalah tercapainya peningkatan mutu pendidikan dengan cara memberdayakan seluruh potensi sekolah dan stakeholdernya sesuai dengan kebijakan pemerintah dengan mengaplikasikan kaidah-kaidah manajemen sekolah profesional (Satori, 2006).

2.3 Karakteristik Konsep MBS
Karakteristik konsep MBS berikut ini dikutip dari http://www.mbs-sd.org sebagaimana berikut:
1. Upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah;
2. Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja;
3. Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas);
4. Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan;
5. Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat;
6. Meningkatkan profesionalisme personil sekolah;
7. Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang;
8. Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat,dll);
9. Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah;

2.4 Manajemen Komponen-Komponen Sekolah
Ada 7 komponen yang harus dikelola dengan baik dalam rangka mewujudkan MBS.
2.4.1 Manajemnen Kurikulum Dan Program Pengajaran
Manajemen kuriulum dan program pengajaran merupakan bagian dari MBS. Manajemen ini mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum pada dasarnya telah dilakukan pada tingkat departemen pendidikan nasional tingkat pusat. Karena itu level sekolah yang paling penting adalah bagaimana merealisasikan dan menyesuaikan kurikulum tersebut dengan kegiatan pembelajaran. Disamping itu sekolah juga bertugas dan berwenang untuk mengembangkan kurikulum muatan loka sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat.
Pengembangan kurikulum muatan lokal telah dilakukan sejak digunakannya kurikulum 1984, khususnya di sekolah dasar. Pada muatan tersebut disisipkan pada berbagai bidang studi yang sesuai. Muatan lokal tersebut diintensifkan lagi dalam kurikulum 1994. Muatan tersebut tidak lagi disisipkan dalam bidang studi, melainkan menggunakan pendekatan monolitik berupa bidang studi.
Manajer sekolah diharapkan mampu membimbing dan mengarahkan pengembangan kurikulum dan program pengajaran serta melakukan pengawasan dalam pelaksanaannya. Dalam proses pengembangan program sekolah, manajer hendaknya tidak membatasi pada pendidikan dalam arti sempit, ia harus menghubungkan program-program sekolah dengan seluruh kehidupan peserta didik dan kebutuhan lingkungan.

2.4.2 Manajemen Tenaga Kependidikan
Manajemen tenaga kependidikan atau manajemen personalia pendidikan bertujuan untuk mendayagunakan tenaga kependidikan secara efektif dan efesien untuk mencapai hasil yang optimal namun tetap dalam kondisi yang menyenangkan. Sehubungan dengan itu, fungsi yang harus dilakukan pimpinan adalah menarik, mengembangkan, menggaji, dan memotivasi personil guna mencapai tujuan sistem.
Manjemen tenaga kependidikan (guru dan personil) mencakup 1) perencanaan pegawai 2) pengadaan pegawai 3) pembinaan dan pengembangan pegawai 4) promosi dan mutasi 5) pemberhentian pegawai 6) kompensasi 7) penilaian pegawai.

2.4.3 Manajemen Kesiswaan
Manajemen kesiswaan adalah penataan dan pengaturan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan peserta didik, mulai masuk sampai dengan keluarnya peserta didik tersebut dari suatu sekolah. Manajemen ini bertujuan untuk mengatur berbagai kegiatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di sekolah dapat berjalan dengan lancar dan secara operasional dapat membantu upaya pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses pendidikan di sekolah.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, bidang manajemen kesiswaan memiliki tiga tugas utama yakni penerimaan murid baru, kegiatan kemajuan pembelajaran, serta bimbingan dan pembinaan disiplin. Sutisna (1985) menjabarkan tanggungjawab kepala sekolah dalam mengelola bidang kesiswaan berkaitan dengan hal-hal berikut:
- Kehadiran murid di sekolah dan masalah-masalah yang berhubungan dengan itu.
- Penerimaan, orientasi, klasifikasi dan penunjukan murid ke kelas dan program studi.
- Evaluasi dan pelaporan kemajuan belajar.
- Program supervisi bagi murid yang memiliki kelainan seperti pengajaran luar biasa.
- Pengendalian disiplin murid
- Program bimbingan dan penyuluhan
- Program kesehatan dan keamanan
- Penyesuaian pribadi sosial dan keamanan.

2.4.4 Manajemen Keuangan dan Pembiayaan
MBS memberikan kewenangan pada sekolah untuk mencari dan memanfaatkan berbagai sumber dana ssuai dengan keperluan masing-masing sekolah kerna pada umumnya duniapendidikan selalu dihadapkan pada masalah keterbatasan dana.
Sumber keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga sumber 10 pemerintah baik pusat maupun daerah 2) orang tua atau peserta didik 3) masyarakat baik mengikat maupun tidak mengikat.
Tugas manjemen keuangan dapat dibagi menjadi tiga fase yakni financial planning, implementation, dan evaluation. Jonnes menyatakan bahwa financial planning tau disebut juga busgeting merupakan kegiatan mengkoordinasi semua sumber daya yang tersedia untuk mencapai sasaran sasaran yang diinginkan secara sitematis tanpa menyebabkan efek samping yang merugikan. Sementara Implementation adalah kegiatan

2.4.5 Manajemen Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan adalah dan peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar seperti gedung, ruang kelas, meja kursi serta media pembelajaran lainnya. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran seperti halaman, kebun, taman sekolah jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara lamgsung untuk proses belajar mengajar seperti taman sekolah untuk pelajaran biologi, maka taman sekolah tersebut merupakan sarana pendidikan.
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Kegiatan pengelolaaan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan inventaris dan penghapusan serta penataan.
Manajemen sarana dan prasarana yang baik diharapkan dapat menciptakan sekolah yang bersih, rapi, indah sehingga menciptakan kondisi yang menyenangkan baik bagi guru maupun murid untuk berada di sekolah. Disamping itu juga diharapkan tersediannya alat-alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kualitatif, kuantitatif dan relevan dengan kebutuhan belajar.

2.4.6 Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dlam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Dalam hal ini sekolah sebagai sistem sosial merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat agar tercapai tujuan pendidikan secara efisien dan efektif. Sekolah harus menunjang pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya kebutuhan pendidikan, sementara untuk mencapai tujuannya, masyarakat harus berhubungan secara aktif melalui sekolah.
Hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan untuk 1) memajukan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan anak 2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat 3) menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah.

2.4.7 Manajemen Layanan Khusus
Manajemen layanan khussus meliputi manajemen perpustakaan, kesehatan dan keamanan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung begitu cepat pada masa sekarang menyebabkan guru tidak bisa lagi melayani kebbutuhan anak-anak akan informasi. Guru juga tidak bisa mengandalkan apa yang diperolehnya di bangku sekolah. Karena perpustakaan yang lengkap akan membantu guru dan peserta didik untuk mengembangkan dan mendalami pengetahuanyang diperolehnya di kelas melalui belajar mandiri. Pendidikan tidak hanya intelektual an sich tetapi juga bertugas menjaga kesehatan jasmani dan rohani peserta didik. Karena itu UKS juga perlu diberdayakan dengan baik.

2.5 MBS antara Cita dan Fakta
2.5.1 Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran
Dalam bidang manajemen kurikulum dan pengajaran, peran yang paling menonjol ada di tenaga pendidik sebagai eksekutor yang harus mampu mengembangkan kurikulum. Sebagus apapun kurikulum yang dirancang oleh diknas jika tidak mampu dipahami dan diaplikasikan oleh guru, maka akan isa-sia. Ketika KBK muncul sampai akhirnya digantikan dengn KTSP, banyak guru yang belum paham seperti apa wajah kurikulum tersebut. Karena itu kualitas guru dan kepala sekolah perlu ditingkatkan agar mampu menerjemahkan dalam bentuk kegiatan belajar sehingga tercapai tujuan pendidikan nasional.
Fenomena ganti penguasa ganti kurikulum ini perlu diwaspadai. Hancurnya mutu pendidikan di beberapa negara ini banyak disebabkan oleh gagalnya implementasi kebijakan yang disebabkan faktor politis sebagaimana yang ditulis oleh Bruce C. Vladeck dalam bukunya “The Causes of policy failure, at root, political”.
2.5.2 Manajemen Tenaga Kependidikan
Dalam manajemen tenga kependidikan, hal yang menjadi masalah paling menonjol adalah pengadaan tenaga kependidikan. Sebagai contoh, pengadaan CPNS yang terjadi selama ini jauh dari prinsip-prinsip egaliter dan transparan. Memilih calon guru seperti memiilih kucing dalam karung, karena kebanyakan yang diterima adalah mereka yang mempunyai ”gizi” lebih. Disisi lain, materi test yang tidak sesuai dengan standar tes. Di banyak daerah, untuk menjadi guru bahasa inggris tidak pernah ada tes khusus bahasa Inggris dan kemampuan pedagogik. Kalaupun memang yang dipakai adalah ijasah serta transkrip nilai maka sesungguhnya jika kita mau jujur, transkrip dan ijasah yang dimiliki masih belum menggambarkan seutuhnya tetntang kompetensi yang dimiliki mengingat selalu ada perguruan tinggi yang begitu mudah mengeluarkan ijasah dan transkrip tanpa menlalui pembelajaran yang memadai.
2.5.3 Manajemen Kesiswaan
Contoh kasus dalam manajemen kesiswaan adalah ketika penerimaan siswa baru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penerimaan siswa baru selalu diwarnai dengan praktik uang. Apalagi di sekolah bertaraf internasional, mereka yang menyertakan sumbangan yang paling banyak akan punya kesempatan yang besar untuk bisa diterima di sekolah tersebut. Kualitas dan input menjadi nomor dua, yang penting ada uang.
2.5.4 Manajemen Keuangan dan Pembiayaan
Yang menjadi pokok bahasan utama dalam kajian terhadap diskursus MBS dari perspektif legal basis adalah pelanggaran hierarki perundang-undangan yang telah dilakukan oleh eksekutor-eksekutor kebijakan (Tilaar, 2004). UUD 1945 sebagai dasar hukum yang paling superior seharusnya tidak boleh dilangkahi atau dianulir oleh produk perundang-undangan yang jauh lebih inferior dibawahnya, dalam hal ini yang dimaksud adalah UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan turunan-turunannya.
Dalam pembukaan UUD 1945 dicantumkan bahwa amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia telah dilimpahkan pada Pemerintah Negara Indonesia. Sejalan dengan pembukaannya, dalam UUD 1945 hasil amandemen ke-4, pada pasal 31 ayat 1 dan 2 jelas-jelas tercantum bahwa mendapatkan pendidikan adalah menjadi hak setiap warganegara dan pemerintah berkewajiban untuk membiayai pendanaan pendidikan dasar yang sifatnya mutlak. Ditambah lagi dengan ayat 4 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Anehnya, UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang seharusnya dibuat dengan mengacu pada UUD 1945 malah menganulir kewajiban pemerintah dalam pembiayaan penyelenggaran pendidikan, sehingga kewajiban tersebut juga dibebankan pada masyarakat. Hal tersebut dimuat dalam hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah, yaitu pada pasal 6 ayat 2 bahwa ‘setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”, dan pasal 9 “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Bahkan pada Bab V mengenai peserta didik, pasal 12 ayat 2 huruf b dinyatakan bahwa “peserta didik berkewajiban untuk menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan”.
Melalui pasal-pasal tersebut, pemerintah telah mengalihkan tanggung jawabnya secara perlahan terhadap pendanaan pendidikan, dan hal tersebut jelas-jelas dimuat secara eksplisit pada pasal 46 ayat 1 bahwa, “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”, yang lalu dijabarkan pada bagian penjelasan bahwa, “sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah.
Pembahasan masalah pendanaan pendidikan dimasukkan dalam kajian ini karena hal pendanaan pendidikan sangatlah erat kaitannya dengan MBS. Konsep MBS dengan perspektif ekonomi-nya telah mengkuantitatifkan segala target capaian atau mutu dengan standar performance yang terukur. Satuan pendidikan yang berhasil mengimplementasikan konsep ini akan dicap sebagai sekolah unggulan yang memenuhi unsur-unsur akreditasi untuk mendapatkan dana hibah atas kompetisi yang telah dilakukakannya. Padahal seharusnya dana pendidikan diberikan pada sekolah manapun yang memang benar-benar membutuhkan.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 49 ayat 3 dan 4 dicantumkan bahwa dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila dana pendidikan dikompetisikan seperti termaktub dalam pasal tersebut, maka sekolah yang unggul makin unggul dan sekolah yang belum unggul akan semakin terpuruk. Secara tidak langsung, hal tersebut memaksa sekolah yang masih dalam taraf “belum memenuhi akreditasi” untuk mencari sumber pendanaan lain.
Pemerintah pun memberikan jalan dengan membuka kesempatan seluas-luasnya pada sekolah untuk mendapatkan dana dari masyarakat dengan pasal-pasal yang mengatur tentang pendanaan pendidikan dan peran serta masyarakat yang termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Siapalagi yang menjadi korban kalau bukan komite sekolah? Dalam hal ini, komite sekolah akhirnya hanya berfungsi sebagai “tukang pungut sumbangan” seperti asosiasi yang terbangun saat mendengar sebuah wadah yang bernama “BP3”. Akhirnya fungsi-fungsi strategis komite sekolah yang tercantum dalam Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan benar-benar tidak disentuh.
2.5.5 Manajemen Sarana dan Prasarana
Tidak banyak sekolah yang mampu menerapkan manajemen sarana dan prasarana ini dengan efektif dan efisien mengingat ini terkait dengan pendanaan. Mereka yang mampu menerapkan ini rata-rata sekolah yang mahal. Bagi sekolah-sekolah ”pinggiran” yang tidak progressif dan inovatif, mereka lebih pasrah terhadap keadaan. Namun bagi mereka yang inovatif, akan mendayagunakan semua potensi di sekitar mereka.
2.5.6 Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Pada tataran hubungan sekolah dengan masyarakat masih kurang maksimal dan perlu diintensifkan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya lulusan sekolah yang menganggur. Namun di daerah-daerah tertentu seperti Bali, sekolah benar-benar bisa menjadi mitra masyarakat dalam menjembatani kebutuhan dan melestarikan kebutuhan masyarakat. Sekolah yang relatif mampu membangun hubungan yang baik dengan masyarakat atau dunia luar adalah vocational school yang memang sejak awal lulusannya dituntut langsung bisa terjun di dunia kerja.
2.5.7 Manajemen Layanan Khusus
Bisa dipastikan banyak sekolah yang belum mampu menjalankan manajemen layanan khusus. Bagaimana mungkin menjalankan manajemen khusus dengan baik, sementara kebutuhan primer pendidikan seperti sarana pembelajaran di kelas saja masih banyak yang kutrang. 1 sekolah hanya tiga guru. Bahkan banyak sekolah yang tidak memiliki tenaga administrasi dan perpustakaan.

BAB III
PENUTUP

Desentralasasi di bidang pendidikan merupakan sebuah upaya peningkatan mutu pendiikan itu sendiri, hal ini dikarenakan pemerintah daerah lebih memahami perkembangan dan kemajuan pendidikan di daerahnya.
Secara umum MBS bertujuan untuk menjadikan agar sekolah lebih mandiri atau menberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi), fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam mengelola sumber daya, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
MBS juga memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar kepada sekolah, disertai seperangkat tanggungjawab, sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya dengan kata lain sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.
Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua siswa)
Sayangnya, sampai saat ini banyak sekolah yang mengabaikan model ini. Mereka, pihak sekolah masih menikmati indahnya status quo dan tetap ingin menjadi “raja-raja kecil” yang menentukan arah pendidikan di sekolah. Sementara di sebagian yang lain, kewenangan baru yang diberikan pada sekolah melalui kepala sekolah tidak ubahnya seperti memindahkan dan menularkan penyakit KKN dari pemerintah (depdiknas) ke sekolah.


DAFTAR PUSTAKA

Fattah, Nanang. 2004.Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Hasbullah. 2007. Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggraan pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

http://www.mbs-sd.org/ diakses pada tanggal 26 Nopember 2009.

http://sukainternet.wordpress.com/2007/10/18/manajemen-kurikulum-atau-manajemen-sekolah/ pada tanggal 5 Januari 2008.

Mulyasa, E. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Rosda Karya.

Mulyono. 2008. Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Sumarsono, Puji. 3 Mei 2009. Reformasi Pendidikan Serba Ragu: Catatan Singkat Perjalanan Reformasi Pendidikan. Jawa Pos Radar Bojonegoro.

Tilaar, HAR. 2004. Standarisasi Nasional Pendidikan: Suatu Tinjauan Kritis. Bandung: Rineka Cipta.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.

MENINGKATKAN KAPASITAS SUMBER DAYA PEREMPUAN INDONESIA

Setiap peringatan Hari Kartini tanggal 21 April, isu tentang kesetaraan gender (gender equality) kembali mencuat. Perbincangan pada umumnya mengerucut pada konstruksi sosial yang tidak berpihak kepada pengarusutamaan gender, yang pada akhirnya membuat kaum perempuan Indonesia diposisikan secara subordinatif dalam aktivitas kehidupan sosial. Selain itu, perbincangan juga mengupas berbagai langkah alternatif untuk pembangunan kapasitas (capacity building), yang dapat memandu perempuan keluar dari kungkungan sistem sosial yang selama ini kurang berpihak kepada mereka.

Maraknya diskursus tentang kesetaraan gender adalah sesuatu yang wajar, mengingat kini —121 tahun sejak kelahiran RA Kartini— fakta-fakta terkait ketidaksetaraan gender masih jelas terpampang di depan mata. Diskriminasi, perlakuan tak adil, eksploitasi, pelecehan, penistaan, masih sering dialami perempuan di mana-mana. Kendati keadaannya sudah jauh lebih baik daripada era Kartini, akan tetapi berbagai kasus di atas setidaknya bisa dijadikan pranala bahwa perjuangan mencapai kesetaraan gender di Indonesia masih belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan.

Salah satu penyebabnya adalah karena masih adanya kekeliruan pemahaman, dimana kesetaraan gender dianggap sebagai pertarungan konfrontatif perempuan vis a vis laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai penakluk (conquerer) dan perempuan adalah pihak yang ditaklukkan (conquered), dimana perjuangan mencapai kesetaraan gender dipandang sebagai upaya pembalikan posisi di antara keduanya. Padahal inti dari kesetaraan gender bukan meneguhkan siapa yang mendominasi dan didominasi, melainkan menemukan koridor untuk saling berbagi secara adil dalam segala aktivitas kehidupan tanpa membedakan pelakunya laki-laki ataupun perempuan.

Sementara itu, perjuangan mencapai kesetaraan gender juga masih dilakukan secara parsial, sekadar upaya ‘melawan’ dominasi laki-laki atas perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan. Tingkat kesetaraan pada akhirnya cenderung diukur secara kuantitatif, dihitung dari jumlah representasi perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki. Tidak mengherankan jika pada masa lalu pernah ada kebijakan yang mengharuskan keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 30 persen. Hal itu merupakan imbas dari pemikiran kuantitatif, yang menganggap capaian angka-angka lebih penting daripada kualitas perseorangan.

Banyak orang membicarakan kesetaraan gender, akan tetapi yang dikemukakan kemudian adalah data-data tentang berapa jumlah perempuan yang menjadi presiden, menteri, jenderal, dirjen, kepala, direktur, anggota legislatif, dan sebagainya. Pola pikir semacam ini tidak salah, namun juga tidak bisa dikatakan seratus persen benar, karena sejatinya esensi kesetaraan gender jauh lebih dalam dari sekadar kuantitas perempuan yang berhasil memasuki ‘ranah’ laki-laki.

Eksistensi perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan hanyalah sebagian dari hasil perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender, sementara perjuangannya sendiri terletak pada upaya meningkatkan sumber daya perempuan

agar memiliki keunggulan komparatif sekaligus kompetitif, seperti yang telah dimiliki sebagian besar kaum laki-laki.

Harus disadari bahwa mayoritas sistem budaya di Indonesia berakar pada sistem patriarki, yang tidak kondusif bagi berkembangnya kesetaraan gender (gender equality). Di banyak sistem budaya suku-suku yang ada di Indonesia, pembagian tugas yang dianggap normal adalah jika laki-laki menangani kegiatan produktif, dan perempuan menangani kegiatan domestik seperti mengasuh anak dan mengurus rumahtangga. Keadaan ini tidak bisa dilawan secara frontal dengan mengubah pondasi budaya yang sudah berlangsung selama ratusan tahun, namun secara bijak dapat disiasati melalui peningkatan kapasitas sumberdaya intelektual perempuan.

Kendala terbesar kaum perempuan selama ini adalah mereka tidak memahami bahwa mereka berada dalam posisi tersubordinasi. Minimnya pengetahuan membuat banyak perempuan tidak menyadari bahwa mereka terdiskriminasi dan dieksploitasi, bahkan ironisnya banyak pula yang menganggap segala bentuk ketidakadilan yang mereka alami—yang sebagian ‘dilegalkan’ oleh sistem sosial—adalah sebuah kewajaran yang harus diterima dengan lapang dada. Kita dapat melihat secara kasat mata, terutama di wilayah-wilayah perdesaan yang tingkat pendidikannya rendah, diskriminasi struktural terhadap perempuan lazim terjadi tanpa disadari oleh para perempuan yang menjadi korbannya.

Jelas bahwa ketidaktahuan (baca: kebodohan) merupakan biang-keladi terjadinya ketidaksetaraan gender. Oleh karena itu, pendidikan sangat diperlukan bagi kaum perempuan untuk memperluas cakrawala berpikir serta memahami posisi mereka di tengah masyarakat. Seiring dengan peningkatan kapasitas intelektual dan kesadaran posisi perempuan, kemampuan meretas jalan untuk keluar dari subordinasi secara otomatis akan muncul. Di sisi lain, pendidikan juga akan menjadi kunci pembuka pintu gerbang korporasi, dimana dengan tingkat pendidikan yang tinggi perempuan bisa menempatkan dirinya untuk bersaing secara sehat dengan laki-laki di segala lini.

Jika kapasitas intelektual perempuan telah terbangun, perempuan tidak perlu lagi meminta kuota agar diberi hak istimewa (privilage) oleh sistem yang patriarkis untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu. Hal ini sesuai dengan kaidah kesetaraan gender, dimana kesetaraan sejatinya bukanlah sesuatu yang given atau dianugerahkan, melainkan harus diperjuangkan sendiri oleh kaum perempuan.

Penganugerahan posisi tertentu untuk perempuan justru menunjukkan bahwa perempuan memang tidak memiliki kemampuan dan kepercayaan diri untuk bersaing secara terbuka dengan laki-laki. Bangsa Indonesia bisa belajar dari negara-negara maju, dimana di sana sudah tidak ada lagi pembagian pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban sama dalam pekerjaan, asalkan memiliki kapasitas dan kapabilitas memadai di bidang tersebut.

Dan itu terjadi bukan karena pemberian hak istimewa kepada perempuan agar bisa terlibat dalam suatu pekerjaan tertentu, melainkan karena sistem meritokrasi diterapkan secara sungguh-sungguh dalam rekrutmen pegawai. Standar yang dipakai untuk penilaian adalah kualitas perseorangan, bukan jenis kelamin. Namun pembelajaran tersebut harus diimbangi dengan upaya mengubah cara pandang terhadap kesetaraan gender itu sendiri, yang dalam beberapa hal bisa jadi tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal yang telah mapan.

Ini tidak mudah, karena beberapa sistem budaya tidak bisa mentoleransi konsep kesetaraan gender dengan alasan yang sangat mendasar. Dalam hal ini, kearifan sangat diperlukan untuk memandang persoalan dalam kerangka yang lebih luas, dan meninjaunya dari sisi optimalisasi manfaatnya bagi hajat hidup orang banyak. (g/bip/komunika)

bersama wujudkan pendidikan dasar gratis

Pendidikan dasar merupakan sarana untuk membangun landasan intelektual anak bangsa. Kukuh atau tidaknya bangunan intelektual bangsa Indonesia di masa datang, tergantung pada sukses atau tidaknya penyelenggaraan pendidikan dasar ini. Oleh karena itu, tekad pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang akan mewujudkan pendidikan gratis untuk SD/MI dan SMP/MTs negeri, harus kita sambut baik.

Dasar Hukum
Secara legal-formal, UUD 1945 pasal 32 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Amanat konstitusi tersebut diperkuat dengan UU Sistem Pendidikan Nasional, yang intinya menyatakan setiap warga negara berusia tujuh sampai 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar yang ketersediaan fasilitas dan anggarannya dijamin oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Sementara Inpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Percepatan Penuntasan Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, juga telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk melaksanakan pendidikan dasar yang dapat diakses seluruh lapisan masyarakat.

Seperangkat aturan di atas memberikan gambaran bahwa penyelenggaraan pendidikan dasar merupakan kewajiban pemerintah serta kewajiban sekaligus hak masyarakat. Pemerintah baik pusat maupun daerah dalam hal ini menyediakan sarana dan prasarananya, sementara masyarakat memberikan dukungan terhadap terselenggaranya pendidikan dasar tersebut. Kerjasama saling menunjang dan saling mendukung antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat merupakan keniscayaan bagi sukses penyelenggaraan pendidikan dasar ini.

Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah, bisakah pendidikan dasar benar-benar dapat diselenggarakan secara gratis? Secara teoritis bisa, lebih-lebih hal itu sudah menjadi amanat konstitusi yang mutlak harus diwujudkan sebagai bentuk pelayanan negara kepada warganegaranya. Seiring dengan pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total anggaran pembangunan dalam APBN, peluang untuk menyelenggarakan pendidikan dasar gratis makin terbuka lebar.


Namun dalam prakteknya di lapangan, kemampuan daerah dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan dasar gratis tidak sama. Faktanya, saat ini ada Bersama Wujudkan Pendidikan Dasar Gratis daerah yang mampu—bahkan sudah—melaksanakan pendidikan dasar gratis, namun ada pula yang belum mampu melaksanakannya dengan berbagai alasan. Dana misalnya, sering disebut sebagai masalah utama yang menjadi kendala pelaksanaan pendidikan dasar gratis di daerah.

Seperti diketahui, di era otonomi daerah sekarang ini, sumber pembiayaan pendidikan—termasuk pendidikan dasar—yang terbesar bukan lagi berasal dari APBN, melainkan dari APBD kabupaten/kota. Sementara dana APBN hanya dipergunakan untuk membantu biaya operasional sekolah (BOS). Dengan demikian, pendidikan dasar gratis baru dapat terlaksana apabila anggaran daerah untuk bidang pendidikan memadai. Akan tetapi di sejumlah daerah, alokasi anggaran APBD untuk bidang pendidikan ternyata masih minim, rata-rata jumlahnya masih di bawah yang diamanatkan UUD 1945. Minimnya alokasi dana pendidikan oleh pemerintah daerah, bagaimanapun, akan menghambat upaya mewujudkan pendidikan dasar gratis.

Sudah seharusnya pemerintah daerah menyediakan anggaran yang cukup memadai untuk mendukung terwujudnya pendidikan dasar gratis. Pemerintah daerah juga harus proaktif membuat kebijakan dan program yang mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat dan stakeholders terkait untuk bersama-sama mengembangkan pendidikan dasar secara swakarsa, swadaya dan swasembada. Kemitraan tripartit antara sekolah –pemerintah daerah- masyarakat sangat diperlukan, dimana dalam jangka panjang kemitraan ini akan mengurangi ketergantungan sekolah terhadap sumber dana dari pusat.

Dengan tekad dan komitmen yang sangat kuat, beberapa kabupaten/kota di Indonesia berhasil mewujudkan pendidikan dasar gratis tanpa menunggu turunnya dana dari pusat. Bahkan beberapa kabupaten diantaranya Jembrana, Kutai Kertanegara, Musi Banyuasin, bisa mencari dana sendiri sehingga mampu menggratiskan biaya pendidikan dari tingkat SD hingga SLTA. Keberhasilan beberapa daerah ini setidaknya dapat dijadikan bukti, asal ada political will yang kuat dari pemerintah daerah bersangkutan, pendidikan dasar gratis bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan.

Peluang setiap daerah untuk dapat melaksanakan pendidikan dasar gratis sejatinya sama. Kuncinya, sekali lagi, terletak pada komitmen masing-masing daerah untuk melaksanakannya secara sungguh-sungguh dan konsekuen, termasuk kesungguhan dalam mengupayakan kemitraan dengan stakeholders yang ada. Tanpa political will memadai dari pemerintah daerah, upaya mewujudkan pendidikan dasar gratis akan berjalan di tempat. Pemerintah pusat bisa mencanangkan pendidikan dasar gratis, akan tetapi keberhasilannya tetap tergantung pada kesiapan pemerintah daerah.

Jelas bahwa mewujudkan pendidikan dasar gratis tidaklah semudah yang dibayangkan. Sinkronisasi, koordinasi, kerjasama dan kerja keras berbagai pihak untuk menyukseskan program ini mutlak diperlukan. Namun sesulit apapun, hak warganegara yang sudah dijamin undang-undang dasar ini harus dipenuhi oleh pemerintah. Kendati mungkin tidak akan tercapai seluruhnya dalam waktu singkat, akan tetapi upaya untuk mewujudkannya harus dimulai saat ini juga.

Pengingkaran terhadap hak warganegara memperoleh pendidikan dasar ini bukan saja melanggar UUD 1945, akan tetapi juga akan menyebabkan lemahnya sumber daya manusia Indonesia di masa datang. Kita tentu tidak ingin tertinggal dari negara-negara lain yang sudah menuntaskan pendidikan dasar gratis bagi warganegaranya sejak puluhan tahun lalu, dan dengan begitu memiliki daya saing intelektual yang cukup kompetitif dalam percaturan dunia. Ketidaksuksesan penyelenggaraan pendidikan dasar hanya akan memperparah pondasi intelektual bangsa, dan pada gilirannya akan menurunkan daya saing bangsa di tingkat global.

Dengan mempertimbangkan implikasinya pada kualitas sumber daya manusia di masa datang, tidak ada alasan bagi kita untuk menunda-nunda pelaksanaan pendidikan dasar gratis ini. Oleh karena itu, mari bersama-sama kita dukung upaya pemerintah mewujudkan pendidikan dasar gratis ini dengan sepenuh tenaga. (g)

Senin, 30 November 2009

PENDIDIKAN DAN KOMPETENSI GURU YANG TERCORENG

PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Pendidikan telah mengalami proses yang panjang. Pendidikan, dalam pengertian secara umum, yakni proses transmisi pengetahuan dari satu orang kepada orang lainnya atau dari satu generasi ke generasi lainnya, telah berlangsung setua umur manusia itu sendiri. Sebab, ketika seseorang mengetahui sesustu kemuadian ia memberitahukan apa yang diketahuinya tersebut, atau suatu generasi menstrasmisikan suatu nilai, keyakinan, pandangan hidup, dan lain-lain kepada generasi berikutnya bias dikatakan sebagai telah terjadi proses pendidikan.
Secara tegas, pendidikan adalah media mencerdaskan kehidupan bangsa dan membawa bangsa ini pada era aufklarung (pencerahan). Pendidikan bertujuan unuk membangun tatanan bangsa yang berbalut dengan nilai-nilai kepintaran, kepekaan, dan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan merupakan tonggak kuat untuk kemiskinan pengetahuan, penyelsaian persoalan kebodohan, dan juga menuntaskan segala permasalahan bangsa peran pendidikan jelaslah merupakan hal yang sangat signifikan dan sentral kerena pendidikan memberikan pembukaan dan perluasan pengetahuan baik sosial kemasyarakatan, politik maupun bernagsa dan bernegara,Pendidikan dihadirkan untuk mengantarkan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang beradab, pendidikan dihadirkan untuk memperbaiki segala kebobrokan yang sudah mengumpul di segala sendi kehidupan bangsa ini.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.

1.2 Topik Bahasan
Untuk memfokuskan pembahasan makalah ini penulis merumuskan topic bahasan sebagaimana berikut ini:
1. Apakah Pengertian dari Pendidikan?
2. Apakah Pengertian dari Kompetensi Guru?
3. Hakekat Kompetensi Sosial bagi guru.
4. Beberapa kasus dalam penerapan kompetensi sosial guru
5. Beberapa Strategi dalam meningkatkan kompetensi sosial guru.

PEMBAHASAN

2.1 PENDIDIKAN

2.1.1 Pengertian Pendidikan
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belar dan prose pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara.
Pengertian pendidikan disini menegaskan bahwa dlam pendidikan hendaknya tercipta sebuah wadah dimana peserta didik bisa secara aktif mempertajam dan memunculkan ke permukaan potensi-potensinya sehingga menjadi kemampuan-kemampuan yang dimilikinya secara alamiah.

Pengertia pendidikan menurut beberapa ahli:
1. Menurut Romo Mangun Wijaya, pendidikan adalah proses awal usaha untuk menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sbagai pelaku sejarah.
2. Jean Piaget, pendidikan sebagai penghubung dua sisi. Di satu sisi individu yang sedang tumbuh, dan di sisi lain; nilai sosial, intelektual, moral yang menjadi tanggung jawab pendidkan untuk mendorong individu tersebut
3. Ari Gunawan, pendidikan adalah proses sosialisasi, yaitu sosialisasi nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan
4. Driyarkara, pendidikan adalah memanusiakan manusia muda
5. Dalam Dictionari of Education pendidikan adalah (1) proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat mereka hidup, (2) proses sosial yang terjadi pada orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol.
Definisi pendidikan secara luas, adalah segala jenis pengalaman kehidupan yang mendorong timbulnya minat belajar untuk mengetahui kemudian bisa mengerjakan sesuatu yang telah diketahuinya. Keberadaan seperti itu berlangsung dalam segala jenis dan bentuk lingkungan sosial sepanjang kehidupannya.
Karakteristik khusus pendidikan secara luas diantaranya:
a. Masa pendidikan. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan berlangsung setiap saat
b. Lingkungan pendidikan. Pendidikan berlangsung dalam segala lingkungan hidup
c. Bentuk kegiatan. Mulai dari bentuk yang tidak disengaja maupun yang terprogram
d. Tujuan pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar, tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup.
e. Pendukung seperti; Jhon Holt, William Glasser, Herbert Kohl, Ivan Illich, Jhon Dewey, William Heard Kilpatrick dll.
Sedangkan dalam arti sempit, pendidikan merupakan seluruh kegiatan yang direncanakan serta dilksanakan secara teratur dan terarah dilembaga pendidikan sekolah. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak agar mempunyai kemampuan sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan sosial mereka.
Karakteristik pendidikan dalam arti sempit diantaranya:
a. Pendidikan berlangsung dalam waktu terbatas
b. Lingkungan pendidikan. Pendidikan berlangsung dalam lingkungan pendidikan yang diciptakan khusus untuk menyelenggarakan pendidikan
c. Isi pendidikan disusun secara sistematik dan terprogram dalam bentuk kurikulum
d. Tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar, yaitu sekolah.

Jadi dapat disimpulkan, baik secara luas maupun secara sempit pendidikan merupakan kegiatan simultan diseluruh aspek kehidupan manusia, yang berlangsung disegala lingkungan dimana ia berada, disegala waktu, dan merupakan hak dan kewajiban bagi siapapun, serta terlepas dari diskriminasi apapun.

2.1.2 Keharusan Pendidikan : Mengapa Manusia Harus Dididik/Mendidik
1. Dasar Biologis
pendidikan adalah perlu karena anak manusia dilahirkan tidak berdaya.
1) anak manusia lahir tidak dilengkapi insting yang sempurna untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
2) anak manusia perlu masa belajar yang panjang untuk dapat berinteraksi dengan lingkungannya
3) awal pendidikan terjadi setelah anak manusia mencapai penyesuaian jasmani.
2. Implikasi
1) anak manusia yang tidak menerima bantuan dari manusia lainnya akan tidak menjadi manusia yang berbudaya dan bahkan mati
2) anak memerlukan perawatan dan perlindungan sebagai masa persiapan pendidikan
3) korang dewasa yang tidak berhasil dididik perlu pendidikan kembali atau reedukasi
3. Dasar Sosio Antropologis
Peradaban tidak terjadi dengan sendirinya dimiliki oleh setiap anggota masyarakat.
1) Setiap anggota masyarakat perlu menguasai budaya sekelompoknya yang berupa warisan sosial/budaya
2) Masyarakat menginkan kehidupan yang beradab
4. Implikasi
1) Diperlukan tranformasi dari organisme biologis ke organisme yang berbudaya
2) Diperlukan transmisi budaya
3) Diperlukan internalisasi budaya
4) Diperlukan control sosial untuk pelestarian budaya

2.2 KOMPETENSI GURU

2.2.1 Pengertian Kompetensi Guru
Peranan guru sangat menentukan dalam usaha peningkatan mutu pendidikan formal. Untuk itu guru sebagai agen pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya, dalam kerangka pembangunan pendidikan. Guru mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan bidang pendidikan, dan oleh karena itu perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 4 menegaskan bahwa guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, guru wajib untuk memiliki syarat tertentu, salah satu di antaranya adalah kompetensi
Dalam undang-undang guru dan dosen bab IV pasal 10 menyatakan bahwa: “Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesioanal”. Undang-undang telah memberikan pula sebuah penjelasan mengenai setiap kompetensi guru yang harus terpenuhi. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peseta didik. Sedangkan yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantab, berakhlaq mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.
Kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi yang terakhir yakni kompetensi sosial. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesame guru, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

2.2.2 Hakekat Kompetensi Sosial dan Pribadi bagi Guru
Kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku seseorang. Menurut Lefrancois dalam bukunya Theories of Human Learning, kompetensi merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu, yang dihasilkan dari proses belajar. Kompetensi sosial, yang meliputi etika, moral, pengabdian, kemampuan sosial, dan spiritual merupakan kristalisasi pengalaman dan pergaulan seorang guru, yang terbentuk dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah tempat melaksanakan tugas. Sebagaiman telah disebutkan sebelumnya bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir d).
Oleh karena seorang guru diharapkan dapat berkomunikasi secara lisan, tulisan, dan isyarat dengan baik; menggunakan teknologi komunikasi dan informasi; bergaul secara efektif (memberikan pengaruh positif) dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik; bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
Dr. Rubin Adi Abraham (2009) menyatakan dalam karyanya bahwa terdapat sebuah keharusan bagi guru untuk memiliki pengetahuan yang luas, menguasai berbagai jenis bahan pembelajaran, menguasai teori dan praktek pendidikan, serta menguasai kurikulum dan metodologi pembelajaran. Akan tetapi seorang guru yang berperan pula sebagai anggota masyarakat, seyogyanya memilki sifat memasyarakat yang baik. Untuk itu, ia harus menguasai psikologi sosial, memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia, memiliki keterampilan membina kelompok, keterampilan bekerjasama dalam kelompok, dan menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok.
Sebagai individu dalam dunia pendidikan serta sebagai anggota masyarakat itu sendiri, seorang guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik yang disebut sebagai kompetensi pribadi. Guru harus bisa digugu, dalam artian bahwa semua perkataan guru bisa dipercaya dan benar adanya, dan ditiru, atau dicontoh setiap tindak tanduk, perilaku dan kebiasaannya sekaligus menjadi sebuah teladan. Guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal. Sebagai pribadi yang hidup di tengah-tengah masyarakat, guru perlu memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat misalnya melalui kegiatan olahraga, keagamaan, dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak, pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.

2.2.3 Beberapa kasus dalam penerapan kompetensi sosial dan pribadi guru
Pengembangan kompetensi sosial ini sulit dilakukan oleh lembaga resmi karena kualitas kompetensi ini ditempa serta dipengaruhi oleh kondisi dan situasi masyarakat luas, lingkungan dan pergaulan hidup termasuk pengalaman dalam tugas, lebih utama lagi dalam kompetensi sosial akan sangat bergantung pada kompetensi pribadi dalam individu seorang guru. Pada kenyataanya, berbagai lingkungan tersebut seringkali merupakan sumber utama munculnya berbagai jenis permasalahan mulai sederhana hingga kompleksitas yang tinggi, selain permasalahan juga tempat penularan penyakit-penyakit masyarakat., seperti hedonis, KKN, materialistis, pragmatis, jalan pintas, kecurangan, dan persaingan yang tidak sehat.
Dalam lingkungan yang rawan tersebut, nilai-nilai kepribadian sebagai seorang guru yang telah melekat akan mudah luntur. Hal ini telah nyata-nyata terlihat tiada hentinya pemberitaan tentang tindak asusila seorang guru terhadap muridnya. Dari tahun ke tahun berita ini tetap muncul, hingga menjadi suatu hal yang tidak anel lagi jika kita menemukan seorang guru “cabul”. Apa yang salah dalam pendidikan keguruan hingga orang-orang seperti ini lolos atau layak untuk menjadi seorang guru?.
Masih sering kita temui pula dalam kehidupan sehari-hari seorang guru yang berubah “bentuk” sesaat setelah mereka keluar dari lingkungan sekolah. Dalam lingkungan kerja sang guru sangat santun dan disiplin. Akan tetapi di luar lingkungan guru terkadang lepas kendali baik dalam bersikap ataupun bertutur. Kemanakah kemampuan sosial dan kepribadian mereka?, hal ini masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak gampang bagi para ahli pendidikan dan kita semua pada umumnya.

2.2.4 Beberapa Strategi dalam meningkatkan kompetensi sosial dan pribadi guru.
Sebelum kita menfokuskan pembahasan selanjutnya, akan terlebih dahulu kita membahas empat pilar pendidikan yang akan membuat manusia semakin maju:
1. Learning to know
(belajar untuk mengetahui), artinya belajar itu harus dapat memahami apa yang dipelajari bukan hanya dihafalkan tetapi harus ada pengertian yang dalam.
2. Learning to do
(belajar, berbuat/melakukan), setelah kita memahami dan mengerti dengan benar apa yang kita pelajari lalu kita melakukannya.
3. Learning to be
(belajar menjadi seseorang). Kita harus mengetahui diri kita sendiri, siapa kita sebenarnya? Untuk apa kita hidup? Dengan demikian kita akan bisa mengendalikan diri dan memiliki kepribadian untuk mau dibentuk lebih baik lagi dan maju dalam bidang pengetahuan.
4. Learning to live together
(belajar hidup bersama). Sejak Allah menciptakan manusia, harus disadari bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi saling membutuhkan seorang dengan yang lainnya, harus ada penolong. Karena itu manusia harus hidup bersama, saling membantu, saling menguatkan, saling menasehati dan saling mengasihi, tentunya saling menghargai dan saling menghormati satu dengan yang lain.
Jika kita benar-benar menyimak point 3 dan 4, disana nampak jelas bahwa guru harus memiliki kompetensi kepribadian dan sosial, disamping kedua kompetensi lainnya. Lalu bagaimanakah agar kompetensi ini terus melekat pada diri sang guru. Beberapa cara dapat ditempuh untuk mangatasi masalah ini. Dalam peningkatan kompetensi sosial guru dapat melakukan beberapa hal dibawah ini:
(1) Guru tidak hanya membatasi hubungan dirinya dengan para murid hanya didalam kelas saja. Guru tetap menjadi seorang guru bagi murid di lingkungan luar pula, hal ini dapat menjadikan guru panutan yang baik tidak hanya bagi peserta didik akan tetapi masyarakat umum.
(2) Guru sebaiknya ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat. Hal ini memberikan kesan pada masyarakat bahwa guru tidak menspesialisasikan diri dalam lingkungan atau menutup diri rapat-rapat. Ikut serta dalam kegiatan pengajian, arisan atau senam pagi di tengah-tengah lingkungan masyarakat adalah cara paling ampuh untuk meningkatkan kompetensi sosial guru.
Dalam peningkatan kompetensi pribadi, guru seharusnya:
(1) Pengamalan perintah-perintah agama sesuai dengan keyakinan.
(2) Berpegang teguh pada nilai-nilai dan norma-norma masyarakat
(3) Memberikan penghargaan setinggi-tingginya pada diri sendiri, hingga menimbulkan rasa cinta pada diri sendiri. Dengan hal ini guru tidak akan mudah untuk menghancurkan kehidupannya hanya dengan satu tindakan yang tidak pantas dilakukan yang dapat mengancam kehidupannya, keluarga juga nama besar dunia pendidikan.
Solusi-solusi diatas masih dalam bentuk ide dan harapan, akan tetapi sudah menjadi suatu yang wajib bagi bangsa ini untuk memberikan perhatian enuh dalam menyelesaikan permasalahn-permasalahan berkaitan dengan peningkatan kompetensi guru baik kepribadian dan sosial. Hal yang sangat mendesak berkaitan dengan pelatihan, pembelajaran, dan sertifikasi guru dan dosen (khususnya yang berkaitan dengan kompetensi sosial dan kepribadian karena ini hal baru) adalah pengembangan pemahaman kompetensi ini yang komprehensif, yang dapat diterima oleh banyak pihak. Sampai saat ini sudah banyak seminar tentang UU Guru dan Dosen diadakan, tetapi kita belum sampai atau memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap kedua kompetensi ini. Apabila dunia pendidikan bisa menjawab tantangan pengembangan kompetensi sosial ini secara cepat dan tepat, mudah- mudahan 10 tahun mendatang kita ebih banyak memiliki insan yang lebih demokratis, lebih toleran, dan memiliki tanggung jawab sosial yang lebih besar.

KESIMPULAN
Dalam peningkatan kompetensi sosial guru dapat melakukan beberapa hal dibawah ini:
(3) Guru tidak hanya membatasi hubungan dirinya dengan para murid hanya didalam kelas saja. Guru tetap menjadi seorang guru bagi murid di lingkungan luar pula, hal ini dapat menjadikan guru panutan yang baik tidak hanya bagi peserta didik akan tetapi masyarakat umum.
(4) Guru sebaiknya ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat. Hal ini memberikan kesan pada masyarakat bahwa guru tidak menspesialisasikan diri dalam lingkungan atau menutup diri rapat-rapat. Ikut serta dalam kegiatan pengajian, arisan atau senam pagi di tengah-tengah lingkungan masyarakat adalah cara paling ampuh untuk meningkatkan kompetensi sosial guru.
Dalam peningkatan kompetensi pribadi, guru seharusnya:
(4) Pengamalan perintah-perintah agama sesuai dengan keyakinan.
(5) Berpegang teguh pada nilai-nilai dan norma-norma masyarakat
(6) Memberikan penghargaan setinggi-tingginya pada diri sendiri, hingga menimbulkan rasa cinta pada diri sendiri. Dengan hal ini guru tidak akan mudah untuk menghancurkan kehidupannya hanya dengan satu tindakan yang tidak pantas dilakukan yang dapat mengancam kehidupannya, keluarga juga nama besar dunia pendidikan.

कजियन तेर्हड़प WACANA MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DITINJAU DARI PERSPEKTIF LEGAL BASIS

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebenarnya bukan lagi wacana baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Konsep ini telah disosialisasikan bersamaan dengan pewacanaan kurikulum 1994 pada tenaga pendidik dan kependidikan. Capaian untuk menjadi Sekolah Mandiri pada masa itu belum dapat terpenuhi karena pemerintah tidak memonitor pelaksanaan program tersebut di lapangan. Pengisian 186 butir Evaluasi Diri dari BAS (Badan Akreditasi Sekolah) yang disyaratkan dalam pemenuhan perolehan akreditasi sekolah menjadi kegiatan yang seremonial dan tak lebih dari pengumpulan dokumen foto copy yang siap diperiksa oleh asessor (Soetikno, 2007).
MBS kembali menjadi populer sejak tahun 1999, saat pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan UNESCO dan UNICEF, mengusung program MBS yang dalam proyek tersebut dikenal dengan nama CLCC (Creating Learning Communities for Children), yang diterjemahkan menjadi “Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak”. Proyek ini melibatkan sejumlah sekolah di berbagai propinsi sebagai objek kegiatannya.
Kembali populernya konsep MBS yang sangat kental dengan semangat desentralisasi ini tentunya cukup erat berkaitan dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah (kini UU nomor 32 tahun 2004). Terlebih lagi setelah disahkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, desentralisasi pendidikan tidak hanya dilimpahkan pada pemerintah daerah namun hingga ke tingkat satuan pendidikan.
Sejalan dengan semangat desentralisasi pendidikan, sudah sepantasnya jika segala kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pendidikan bertumpu pada sekolah dan masyarakat. Dalam konsep MBS, sekolah diposisikan sebagai suatu lembaga yang berada di tengah-tengah masyarakat yang memiliki ciri khas tersendiri, sehingga sekolah harus memiliki unit perencana, unit pembuat keputusan, dan basis manajemen. Tidaklah mengherankan bila keberadaan Komite Sekolah, yang mencerminkan peran serta masyarakat dalam memajukan pendidikan, menjadi instrumen kunci dalam pelaksanaan MBS.
Jauh sebelum disahkannya PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang disusul dengan keluarnya Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan, sebagian besar sekolah di Indonesia telah memiliki Komite Sekolah sejak tahun 2002. Hal ini tidak terjadi bukan tanpa dasar hukum, karena keberadaan Komite Sekolah pada waktu itu telah berlandaskan Kepmendiknas No. 044/U/2002 yang mengatur tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Komite Sekolah yang juga merupakan perwujudan dari Peran Serta Masyarakat (PSM) ini sebenarnya sangat sejalan dengan konsep tri pusat yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Melalui konsep ini, pendidikan peserta didik diharapkan agar tidak hanya diurus oleh sekolah saja, tetapi peran serta keluarga dan masyarakat juga sangat dibutuhkan sehingga apa yang disebut dengan pembelajaran sepanjang hayat dapat tercapai.

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, “manajemen berbasis sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004).
MBS atau school based management sendiri merupakan sebuah upaya adaptasi dari paradigma pendidikan baru yang berasaskan desentralisasi. MBS memberikan otoritas pada sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif untuk kepentingan sekolah.
Menurut Hasbullah, pada umumnya MBS dimaknai sebagai berikut:
1. dalam rangka MBS alokasi dana kepala sekolah menjadi lebih besar dan sumber dana tersebut dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan sekolah sendiri
2. sekolah lebih bertanggung jawab terhadap perawatan, kebersihan, dan penggunaan fasilitas sekolah, terrmasuk pengadaan buku dan bahan belajar
3. sekolah membuat perencanaan sendiri dan mengambil inisiatif sendiri untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan melibatkan masyarakat sekitar
4. MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi yang lebih terbuka.

2.2 Dasar Hukum
Implementasi MBS pada tingkat satuan pendidikan bukan sekedar luapan semangat desentralisasi yang berlebihan. MBS dilaksanakan semata karena berlandaskan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, tepatnya pasal 51 ayat 1 yang berbunyi ”Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”.

PEMBAHASAN

3.1 Tujuan Implementasi MBS
Tujuan implementasi program MBS adalah jelas untuk mencapai peningkatan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan, sejalan dengan apa yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan diselenggarakan dengan prinsip pemberdayaan seluruh komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Diharapkan dengan menerapkan manajemen dengan pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal sebagaimana berikut: (1) menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut, (2) mengetahui sumber daya yang dimiliki dan input pendidikan yang akan dikembangkan, (3) mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya, (4) bertanggung jawab terhadap orang tua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah, (5) dan persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. Secara ringkas, yang paling utama dari penerapan MBS adalah tercapainya peningkatan mutu pendidikan dengan cara memberdayakan seluruh potensi sekolah dan stakeholdernya sesuai dengan kebijakan pemerintah dengan mengaplikasikan kaidah-kaidah manajemen sekolah profesional (Satori, 2006).

3.2 Karakteristik Konsep MBS
Karakteristik konsep MBS berikut ini dikutip dari http://www.mbs-sd.org sebagaimana berikut:
1. Upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah;
2. Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja;
3. Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas);
4. Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan;
5. Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat;
6. Meningkatkan profesionalisme personil sekolah;
7. Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang;
8. Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat,dll);
9. Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah;
3.3 Mengkaji Wacana MBS dari Perspektif Legal Basis
Yang menjadi pokok bahasan utama dalam kajian terhadap diskursus MBS dari perspektif legal basis adalah pelanggaran hierarki perundang-undangan yang telah dilakukan oleh eksekutor-eksekutor kebijakan (Tilaar, 2004). UUD 1945 sebagai dasar hukum yang paling superior seharusnya tidak boleh dilangkahi atau dianulir oleh produk perundang-undangan yang jauh lebih inferior dibawahnya, dalam hal ini yang dimaksud adalah UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan turunan-turunannya.
Dalam pembukaan UUD 1945 dicantumkan bahwa amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia telah dilimpahkan pada Pemerintah Negara Indonesia. Sejalan dengan pembukaannya, dalam UUD 1945 hasil amandemen ke-4, pada pasal 31 ayat 1 dan 2 jelas-jelas tercantum bahwa mendapatkan pendidikan adalah menjadi hak setiap warganegara dan pemerintah berkewajiban untuk membiayai pendanaan pendidikan dasar yang sifatnya mutlak. Ditambah lagi dengan ayat 4 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Anehnya, UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang seharusnya dibuat dengan mengacu pada UUD 1945 malah menganulir kewajiban pemerintah dalam pembiayaan penyelenggaran pendidikan, sehingga kewajiban tersebut juga dibebankan pada masyarakat. Hal tersebut dimuat dalam hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah, yaitu pada pasal 6 ayat 2 bahwa ‘setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”, dan pasal 9 “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Bahkan pada Bab V mengenai peserta didik, pasal 12 ayat 2 huruf b dinyatakan bahwa “peserta didik berkewajiban untuk menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan”.
Melalui pasal-pasal tersebut, pemerintah telah mengalihkan tanggung jawabnya secara perlahan terhadap pendanaan pendidikan, dan hal tersebut jelas-jelas dimuat secara eksplisit pada pasal 46 ayat 1 bahwa, “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”, yang lalu dijabarkan pada bagian penjelasan bahwa, “sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah.
Pembahasan masalah pendanaan pendidikan dimasukkan dalam kajian ini karena hal pendanaan pendidikan sangatlah erat kaitannya dengan MBS. Konsep MBS dengan perspektif ekonomi-nya telah mengkuantitatifkan segala target capaian atau mutu dengan standar performance yang terukur. Satuan pendidikan yang berhasil mengimplementasikan konsep ini akan dicap sebagai sekolah unggulan yang memenuhi unsur-unsur akreditasi untuk mendapatkan dana hibah atas kompetisi yang telah dilakukakannya. Padahal seharusnya dana pendidikan diberikan pada sekolah manapun yang memang benar-benar membutuhkan.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 49 ayat 3 dan 4 dicantumkan bahwa dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila dana pendidikan dikompetisikan seperti termaktub dalam pasal tersebut, maka sekolah yang unggul makin unggul dan sekolah yang belum unggul akan semakin terpuruk. Secara tidak langsung, hal tersebut memaksa sekolah yang masih dalam taraf “belum memenuhi akreditasi” untuk mencari sumber pendanaan lain.
Pemerintah pun memberikan jalan dengan membuka kesempatan seluas-luasnya pada sekolah untuk mendapatkan dana dari masyarakat dengan pasal-pasal yang mengatur tentang pendanaan pendidikan dan peran serta masyarakat yang termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Siapalagi yang menjadi korban kalau bukan komite sekolah? Dalam hal ini, komite sekolah akhirnya hanya berfungsi sebagai “tukang pungut sumbangan” seperti asosiasi yang terbangun saat mendengar sebuah wadah yang bernama “BP3”. Akhirnya fungsi-fungsi strategis komite sekolah yang tercantum dalam Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan benar-benar tidak disentuh.
Berikut ini adalah rangkuman dari fungsi-fungsi strategis komite sekolah yang dimuat dalam lampiran Permendiknas No. 19 Tahun 2007:
1. Memberikan pertimbangan dan masukan mengenai visi, misi, dan tujuan sekolah;
2. Memberikan pertimbangan dalam penyusunan rencana kerja jangka menengah sekolah/madrasah yang meliputi tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu empat tahun yang berkaitan dengan mutu lulusan yang ingin dicapai dan perbaikan komponen yang mendukung peningkatan mutu lulusan, dan juga rencana kerja tahunan yang mencakup ketentuan-ketentuan mengenai: kesiswaan; kurikulum dan kegiatan pembelajaran; pendidik dan tenaga kependidikan serta pengembangannya; sarana dan prasarana; keuangan dan pembiayaan; budaya dan lingkungan sekolah; peranserta masyarakat dan kemitraan; rencana-rencana kerja lain yang mengarah kepada peningkatan dan pengembangan mutu;
3. Memberikan pertimbangan dalam penyusunan pedoman yang mengatur tentang struktur organisasi sekolah/madrasah yang berisi: kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP); kalender pendidikan/akademik; struktur organisasi sekolah/madrasah; pembagian tugas di antara guru; pembagian tugas di antara tenaga kependidikan; peraturan akademik; tata tertib sekolah/madrasah; kode etik sekolah/madrasah; dan biaya operasional sekolah/madrasah;
4. Memberikan persetujuan terhadap pelaksanaan kegiatan sekolah/madrasah yang tidak sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan;
5. Berhak menerima pelaporan pembukuan semua penerimaan dan pengeluaran serta penggunaan anggaran yang diatur dalam pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah;
6. Berhak memutuskan pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah untuk kemudian ditetapkan oleh kepala sekolah/ madrasah serta mendapatkan persetujuan dari institusi di atasnya;
7. Memberikan masukan untuk sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan tata tertib sekolah/madrasah;
8. Berhak melakukan pemantauan pengelolaan sekolah/madrasah dilakukan secara teratur dan berkelanjutan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan;
9. Berhak menerima laporan hasil evaluasi pengawasan sekurang-kurangnya setiap akhir semester dari kepala sekolah/madrasah;
10. Berhak dilibatkan dalam proses evaluasi dan pengembangan KTSP secara menyeluruh.
Terdapat kontradiksi dalam butir-butir tersebut dengan salah satu butir dalam Lampiran B tentang Pelaksanaan Rencana Kerja nomor 3 (c) yang menyatakan bahwa kepala sekolah/madrasah mempertanggungjawabkan pelaksanaan pengelolaan bidang akademik pada rapat dewan pendidik dan bidang “non akademik” pada rapat komite sekolah/madrasah dalam bentuk laporan pada akhir tahun ajaran yang disampaikan sebelum penyusunan rencana kerja tahunan berikutnya. Padahal dalam butir-butir lainnya banyak sekali yang menjabarkan peran-peran komite sekolah dalam bidang akademik, lalu mengapa tanggung jawab kepala sekolah pada komite sekolah dibatasi pada hal-hal non akademik saja, bukankah hal tersebut menunjukkan inkonsistensi dalam peraturan ini.
Terlebih lagi, fungsi-fungsi strategis yang sedemikian idealnya tersebut ternyata dimentahkan dengan Lampiran F tentang Penilaian Khusus yang menjadi penutup peraturan ini, “Keberadaan sekolah/madrasah yang pengelolaannya tidak mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan dapat memperoleh pengakuan Pemerintah atas dasar rekomendasi BSNP”. Jadi, sirnalah sudah fungsi-fungsi strategis Komite Sekolah karena hegemoni BSNP. Sebab itulah, selama penyelewengan terhadap hierarki perundang-undangan belum dibenahi, maka Komite Sekolah hanyalah akan menjadi simbol dari implementasi konsep MBS.

3.4 Unsur Pedagogik dalam Konsep MBS

Konsep MBS sangat erat kaitannya dengan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) sebagai metode pembelajaran dan tentunya PSM (Peran Serta Masyarakat) yang diwujudkan melalui keberadaan Komite Sekolah sebagai instrumen kunci implementasi MBS. Membahas masalah PAKEM harus dihubungkan dengan definisi yang menyeluruh dari setiap unsur PAKEM yang tidak bisa didefinisikan terpisah, seperti definisi berikut ini yang dikutip dari http://www.mbs-sd.org:
“Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (time on task) tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah perhatian terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa.”

Menurut definisi tersebut, “Pembelajaran Aktif, Kreatif, dan Menyenangkan” yang sebenarnya sudah sangat sejalan dengan prinsip humanisme dalam pendidikan yang memanusiakan manusia, telah diredusir dengan unsur “Efektif” yang menjadi penutup definisi PAKEM secara keseluruhan. Unsur “Efektif” yang merupakan bagian dari tuntutan mutu dalam perspektif ekonomi.
Efektifitas menjadi suatu bentuk dehumanisasi karena hanya berorientasi pada output yang didefinisikan sebagai target pencapaian profit semaksimal mungkin dari sejumlah masukan dengan standar tertentu (input). Dalam rangka pemenuhan target pencapaian mutu semaksimal mungkin, maka keberadaan unsur “proses” akan dipinggirkan demi mengejar efektifitas. Akibatnya, tenaga pendidik melakukan proses pembelajaran dengan target pencapaian performance tertentu karena pola MBS menekankan pada indikator-indikator performance siswa yang harus dapat dikuantitatifkan sebagai konsekuensi dari efektifitas dalam pembelajaran.
Contoh performance yang harus dicapai oleh tenaga pendidik dan peserta didik adalah sebagai berikut (http://www.mbs-sd.org):
a. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
b. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
c. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
d. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
e. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
Sejalan dengan pemikiran John Dewey, bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan, hendaknya tujuan pendidikan tidak perlu dicari-cari diluar proses pendidikan itu sendiri. Apalagi bila tujuan pendidikan digeser dengan persepektif ekonomi yang sangat jauh dari tujuan pendidikan yang harusnya murni sebagai alat penyadaran peserta didik akan realitas dehumanisasi yang terus terjadi disekitarnya, seperti apa yang diungkapkan oleh Paulo Freire.

PENUTUP
Desentralasasi di bidang pendidikan merupakan sebuah upaya peningkatan mutu pendiikan itu sendiri, hal ini dikarenakan pemerintah daerah lebih memahami perkembangan dan kemajuan pendidikan di daerahnya.
Secara umum MBS bertujuan untuk menjadikan agar sekolah lebih mandiri atau menberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi), fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam mengelola sumber daya, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
MBS juga memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar kepada sekolah, disertai seperangkat tanggungjawab, sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya dengan kata lain sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.
Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua siswa)