Selasa, 16 Juni 2009

Laporan Akhir PPL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Kalau kita cermati pengertian diatas pertama; menegaskan bahwa dalam pendidikan hendaknya tercipta sebuah wadah dimana peserta didik bisa secara aktif mempertajam dan memunculkan ke permukaan potensi-potensinya sehingga menjadi kemampuan-kemampuan yang dimilikinya secara alamiah, kedua; pendidikan merupakan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana dalam membangun watak bangsa.
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Sekolah merupakan sentral pendidikan formal dalam masyarakat yang mempunyai peranan penting dalam mengantarkan masyarakat (masyarakat belajar/siswa) ke arah kehidupan yang lebih baik sesuai dengan yang dicita-citakan.
Guru merupakan salah satu komponen penting dalam proses belajar mengajar di Sekolah, siswa sebagai salah satu komponen dalam proses belajar mengajar sering mengalami masalah. Salah satu tugas guru sebagai pendidik dalam hal ini adalah membantu siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga diperlukan seorang guru yang profesional agar tujuan pendidikan dapat dicapai.
Dalam proses pembelajaran, guru memiliki dua peran yang tidak boleh ditinggalkan yaitu guru sebagai pengajar dan pendidik. Selain menyampaikan materi pelajaran juga sebagai fasilitator yang berarti membimbing, mengarahkan dan membantu mengembangkan pribadi anak didik menuju kearah kedewasaan dan prestasi belajar yang maksimal. Guru harus memahami dan mengetahui lebih dalam tentang keadaan, tingkah laku, latar belakang dan kesulitan atau permasalahan yang sedang dihadapi oleh siswa.
Dalam pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar pasti mengalami permasalahan-permasalahan yang timbul baik yang berasal dari proses kesuliatan belajar mengajar itu sendiri, dari guru maupun berasal dari siswa. Permasalahan yang dihadapi siswa merupakan masalah yang sangat penting harus diketahui guru yang sangat berpengaruh langsung terhadap keberhasilan siswa dalam studinya. Seorang guru dalam memberikan bantuan kepada anak didiknya harus memperhatikan aspek-aspek yang ada pada pribadi anak tersebut, antara lain bakatnya, kemampuannya, lingkungannya dan sebagainya, agar siswa yang diberi bantuan dapat menyelesaikan masalah yang dialami.
Untuk mencapai hasil yang maksimal terhadap upaya memberikan perhatian kepada siswa yang bermasalah tersebut, maka perlu adanya studi kasus pada kegiatan ini diangkat siswa yang bermasalah yang perlu mendapat perhatian dan pemecahan secara khusus. Selain itu pihak guru akan memberikan bantuan berupa saran dan nasehat yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi oleh siswa. Diharapkan dari kegiatan studi ini masalah yang dihadapi oleh siswa dapat terpecahkan atau setidaknya dapat dikurangi.
Pada studi kasus ini konseli mengalami kesulitan dalam belajar terutama pada pelajaran Matematika (pelajaran yang kurang disenangi). Berdasarkan latar belakang diatas maka praktikan tertarik untuk mengambil judul“Upaya Peningkatan Motivasi Belajar Pendidikan Kewarganegaraan Melalui Layanan Bimbingan Siswa”

1.2 Pengertian Layanan Bimbingan Siswa
Layanan studi kasus merupakan upaya-upaya memahami dan mempelajarai keadaan individu sesuai seluk beluk anak serta keadaan yang sebenarnya dengan menggunakan berbagai macam teknik atau pendekatan-pendekatan tertentu terhadap siswa yang mengalami kesulitan belajar, khususnya kesulitan belajar dalam bidang studi
Berikut beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian bimbingan antara lain:
1. Djumhur, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (1975:27)
Bimbingan dan penyuluhan adalah suatu proses yang terus menerus dalam membantu perkembangan individu dalam membantu perkembangan individu dalam mencapai kemampuannya secara maksimal dalam mengarahkan pendapat yang sebesar-besarnya baik dirinya maupun masyarakat.
2. W. S. Winkel, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (1977:12)
Bimbingan berarti pemberian bantuan kepada seseorang atau kepada sekelompok orang dalam membuat pilihan-pilihan secara bijaksana dan dalam meneyesuaikan diri terhadap tuntutan hidup.
3. Mortesen (1984), Konseling adalah suatu proses antara pribadi dimana satu orang yang satu dibantu oleh orang lainnya untuik meningkatkan pemahaman dan kecakapan menemukan masalahnya.
4. Partowisastro (1982 : 12). Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada seseorang agar mengembangka potensi-potensi yang dimilikinya, mengenalili pribadinya, mengatasi persoalan sehingga dapat menentukan sendiri jalan hidupnya secara tanggungjawab tanpa bergantung pada orang lain.
5. H. B dan A. C. English. Konseling adalah terjadinya proses bantuan agar klien dapat memecahkan masalah penyesuaian dirinya.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa layanan merupakan salah satu kegiatan untuk memberikan bantuan kepada seseorang yang bermasalah baik yang sifatnya berat maupun ringan, dalam hal ini layanan yang dilakukan guru terhadap siswa sebagai upaya peningkatan motifasi belajar yang pada akhirnya bisa memberikan konstribusi positif terhadap prestasi belajar siswa.
1.3 Tujuan Layanan Bimbingan Siswa
Tujuan yang ingin dicapai dari layanan studi kasus ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
1) Mengenal latar belakang pribadi siswa yang yang mempunyai permasalahan dalam bidang studi.
2) Membantu siswa dalam mengembangkan pengertian pemahaman diri.
3) Memahami dan menetapkan jenis, sifat, faktor-faktor dan alternatif serta pencegahan timbulnya masalah yang serupa.
b. Tujuan Khusus
1) Membantu mengatasi kesulitan dalam memahami diri siswa.
2) Membantu mengatasi kesulitan dalam memahami lingkungan.
3) Membantu mengatasi kesulitan dalam mengidentifikasi kesulitan belajar.
4) Membantu mengatasi kesulitan dalam belajar dan hubungan sosial
1.4 Pentingnya Layanan Bimbingan Siswa
Dengan adanya layanan studi kasus, diharapkan anak didik mampu memecahkan kesulitan yang dihadapi sehingga proses kegiatan belajar siswa dapat berjalan lebih efektif dan optimal, dapat meningkatkan prestasi belajarnya dan lebih semangat dalam belajar.
Layanan studi kasus ini dharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
a. Siswa
Bagi siswa yang bermasalah (konseli) hasil layanan bimbingan studi kasus ini dapat digunakan untuk:
1) Mengenal dan memahami dirinya dengan baik
2) Memperoleh informasi yang bermanfaat untuk meningkatkan prestasi belajar
b. Calon Guru
Bagi mahasiswa PPL sebagai calon guru, hasil dari layanan studi kasus ini dapat digunakan sebagai masukan agar nantinya dalam perencanaan kegiatan belajar mengajar dapat menunjang kehandalan dan keprofesionalan sebagai seorang guru.
c. Wali Kelas dan Guru BP
Bagi wali kelas dan guru BP dengan hasil layanan bimbingan studi kasus ini dapat memberikan informasi untuk dijadikan bahan masukan untuk membantu anak didik dalam memecahkan kesulitannya, sehingga dapat dijadikan upaya dalam menentukan alternatif terbaik guna meningkatkan prestasi anak didiknya.
d. Kepala Sekolah (sebagai koordinator)
1) Merupakan salah satu informasi tentang siswanya sehingga dapat digunakan sebagai landasan dalam menentukan kebijaksanaan tentang masalah siswa.
2) Bahan masukan dalam menentukan kebijaksanaan yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan program bimbingan.
e. Orang Tua Siswa
1) Meringankan beban orang tua dalam memahami anaknya, sehingga mempermudah dalam mengendalikan dan membina anaknya maka tujuan pengajaran dapat tercapai dengan baik.
2) Meningkatkan komunikasi antara orang tua dan sekolah sehingga kesalahan/kekeliruan dalam mendidik anak dapat dihindari.
Sedangkan peran bimbingan dan penyuluhan dalam hal ini dapat di bagi menjadi empat peranan (Gunarsa: 2002:20) yaitu:
1. Berperan sebagai pencegah, yaitu membantu anak menemukan cara-cara untuk mengatasi persoalan yang mungkin akan mengarah pada penyimpangan perkembangan mental, tekanan jiwa maupun timbulnya kelainan pada diri anak
2. Berperan Memelihara anak sebagai pribadi yang sudah mencapai perkembangan baik keseimbangan emosi maupun keserasian kepribadian anak
3. Berperan dalam membantu pembentukan penyesuain diri, yakni dengan jalan membantu anak menghadapi, memahami dan memecahkan masalah untuk mencapai hasil yang optimal baik dalam jenjang karir maupun dalam hubungan sosial
4. Berperan memperbaiki atau menyembuhkan bila terjadi penyimpangan atau kesulitan yang memerlukan bantuan, maka konselor dapat membantu mencari atau memecahkan permaalahannya.
1.5 Metode Pengumpulan Data
Agar dapat memecahkan masalah dengan baik, maka diperlukan teknik pengumpulan data yang tepat dan relevan. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam layanan studi kasus ini adalah sebagai berikut:
a. Angket
Merupakan teknik pengumpulan data yang berupa suatu daftar berisi pernyataan-pernyataan yang harus dijawab dan dikerjakan oleh siswa. Dalam hal ini adalah konseli yang telah dipilih oleh penulis. Konseli diharapkan menjawab pertanyaan yang menyangkut tentang identitas siswa, identitas keluarga dan jumlah saudara.
b. Observasi
Metode ini dilakukan dengan cara mengamati keadaan, sikap dan tingkah laku yang dilakukan siswa dikelas maupun diluar sekolah.
c. Wawancara
Merupakan teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan wawancara secara langsung maupun tidak langsung dengan konseli dan permasalah-permasalahan yang dihadapinya.
d. Problem Check List
Metode ini merupakan rangkaian dari angket yang telah diberikan sebelumnya. Metode ini lebih merinci masalah kesulitan yang dihadapi siswa yang telah diungkapkan dalam satu angket.
e. Studi Dokumenter
Studi dokumenter adalah kegiatan mempelajari data siswa dengan melihat dukomen yang ada disekolah, misalnya dengan melihat buku induk sekolah, raport, surat keterangan dan sebagainya (Hayinah, 1998). Berdasarkan studi dokumenter dan raport klien, nilai PKn pada raport konseli adalah 49(dibawah SKM, nilai SKM = 75).
1.6 Alasan Pemilihan Klien/Konseli
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan praktikan terhadap konseli, didapatkan, konseli menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Konseli kurang memperhatikan pada saat guru menerangkan terutama pada mata pelajaran PKn.
b. Konseli terkadang mengobrol didalam kelas
c. Konseli sering menyandarkan kepala di atas meja sambil memukul meja didalam kelas
d. Apabila diberi tugas tidak pernah dikerjakan
e. Konseli sering kurang konsentrasi dalam menerima pelajaran di kelas.
Dari gejala-gejala yang ditunjukkan oleh konseli, maka penulis menetapkan bahwa yang patut dijadikan konseli adalah siswa kelas VII. Padahal konseli termasuk anak yang responsif. Hal ini didukung dengan hasil wawancara guru di kelas, maupun dengan teman sekelasnya. Dalam proses belajar mengajar konseli tergolong siswa yang antusias.
Oleh penulis masalah konseli dikaitkan dengan kondisi kelas yang kurang kondusif. Dalam hal pergaulan konseli termasuk anak yang supel, hanya saja konseli sering meremehkan pelajaran khususnya mata pelajaran PKn, sehingga bila ada ulangan nilai konseli sering di bawah SKM(nilai SKM = 72) yaitu 35. Oleh karena itu patutlah siswa tersebut dijadikan konseli dengan harapan praktikan dapat memberikan bantuan kepada konseli dalam meningkatkan prestasi belajarnya.



1.7 Konfidensialitas
Mengingat data yang ditulis disini bersifat rahasia dan sesuai dengan kode etik konselor sekolah, maka nama dan identitas lain yang berhubungan dengan klien dibuat fiktif dengan tujuan agar tidak merasa malu atau dirugikan akibat diketahui oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Identifikasi Kasus
Identifikasi kasus adalah suatu usaha untuk mencari, menetapkan dan mendapatkan siswa mana yang tergolong mengalami kesulitan, dalam hal ini klien adalah siswa kelas VIII-B. Kasus ini ditemukan berdasarkan hasil observasi di kelas. Berdasarkan data yang diperoleh konseli mengalami kesulitan belajar karena konseli kurang berkonsentrasi pada waktu belajar, kesulitan menemukan cara belajar yang tepat, dan sulit mengatur waktu.
a. Data Pribadi Siswa
Nama : Windy Kiswha Chalendra
Nama panggilan : Windy
Tempat tanggal lahir : Malang, 13 Maret 1996
Alamat : Jl. Aji Mustofa No.79 Rt 02/04 Torongrejo Batu
Agama : Islam
Anak ke : 1 (satu)
b. Orang Tua
Nama Ayah : Cahyo P.
Tempat tanggal lahir : Tulungagung ;...
Alamat : Jl. Aji Mustofa No.79 Rt 02/04 Torongrejo Batu
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : Sarjana
Pekerjaan : Karyawan Rumah Sakit
Nama Ibu : Sulin
Tempat tanggal lahir : Malang ;...
Alamat : Jl. Aji Mustofa No.79 Rt 02/04 Torongrejo Batu
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : Pedagang
c. Cita-cita dan kegiatan sehari-hari konseli
Cita-cita : Ingin Menjadi Polri
Lama belajar : 1½ Jam yaitu dari pukul 16.00 – 17.45
Hobi : Olah raga (Basket Ball)
d. Kebiasaan Belajar
Waktu Belajar : Pukul 16.00 - 17.45 WIB
Yang membantu belajar : Bapak dan Ibu
Tempat belajar : punya kamar sendiri dan lampu cukup terang
Peralatan belajar : Cukup lengkap
Minat belajar : Cukup
Sering keluar kelas : Sering
Sering bolos : Jarang
e. Hubungan konseli dengan teman
Jumlah Teman : cukup
Sering diabaikan teman : tidak
Sering bekerjasama : iya
f. Kesehatan konseli
Mata : Tidak Normal/sering terganggu
Telinga : Normal/baik
Pembicaraan : Lancar
Warna Kulit : Sawo matang
Hidung : Normal/baik
g. Masalah yang dialami dirumah
Konseli mengalami kesulitan dalam belajar karena konseli sering malas dan waktu banyak di pergunakan untuk menonton televisi dan sering meremehkan mata pelajaran khususnya PKn. Terkadang konseli merasa kesulitan menentukan cara belajar yang tepat dan sulit mengatur waktu.
h. Masalah dalam belajar
Konseli sering kali malas untuk mempelajari kembali materi yang diajarkan oleh guru karena konseli lebih suka membaca atau mempelajari buku cerita, konsentrasi sering hilang dengan tiba-tiba dan pada waktu ulangan konseli sering mendapatkan nilai yang kurang memuaskan karena konseli tergesa-gesa dan kurang teliti dalam mengerjakan.
2.2 Metode Penyelidikan Kasus
Dalam usaha membantu memecahkan masalah yang dihadapi konseli, digunakan beberapa langkah kegiatan bantuan kepada konseli yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah sehingga tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar konseli yang meliputi beberapa tahapan, yaitu:

1. Tahap Analisis
Analisi data merupakan metode pengumpulan data tentang pribadi dan lingkungan konseli. Ada beberapa tahapan dalam metode ini, yaitu
a. Observasi
Berdasarkan hasil observasi terhadap konseli di lingkungan sekolah adalah:
- Konseli sering tidak berkonsentrasi dalam proses belajar mengajar.
- Konseli sering kali meremehkan mata pelajaran khususnya mata pelajaran PKn.
- Pada subbab mata pelajaran tertentu konseli sering kali tidak mengerti, karena konseli tidak memperhatikan saat guru menerangkan di kelas.
- Konseli sering merasa bosan dalam menerima pelajaran khususnya PKn, karena konseli menganggap remeh mata pelajaran tersebut.
b. Problem Check List
Metode ini merupakan rangkaian dari angket yang telah diberikan sebelumnya. Metode ini lebih merinci masalah kesulitan yang dihadapi siswa yang telah diungkapkan dalam satu angket. Tujuannya agar konseling memiliki pemahaman terhadap masalah yang sedang dihadapi. Dari hasil problem check list diperoleh data sebagai berikut:
1. Kesehatan
- Kadang-kadang merasa ngantuk
- Mata sering terganggu
- Pemandangan kurang jelas
2. Keadaan kehidupan sehari-hari (kehidupan sosial)
- Merasa mudah tersinggung
3. Rumah dan keluarga
- Konseli merupakan anak pertama dan tidak memiliki saudara
- Konseli tinggal bersama orang tua
- Ayah keras sifatnya
- Ada anggota keluarga yang saya rindukan
4. Agama dan moral
- Sulit melaksanakan ibadah secara teratur
- Sering mengingkari janji
- Sering merasa berdosa
5. Rekreasi, olahraga, dan Hobby
- Suka nonton film (sukar membatasi nonton Film)
- Suka bermain Basket
- Lebih suka membaca buku hiburan
- Pelajaran terganggu karena hobby
6. Kebiasaan Belajar
- Saya mempunyai waktu yang cukup untuk belajar dirumah
- Saya belajar kalau ada ulangan
- Saya mempunyai jadwal atau waktu belajar
- Ada kamar belajar sendiri di rumah
- Suara bising dijalan sering menggangu belajar saya
- Saya tidak biasa tidur siang
- Saya tidak merencanakan bahan apa yang saya akan pelajari
- Ada beberapa pelajaran yang sulit saya ikuti
- Saya bisa mengikuti sistem pendidikan disekolah ini
- Alat di sekolah sangat membantu saya
- Buku pelajaran saya cukup lengkap
- Saya tidak begitu senang baca buku0buku yang ada di perpustakaan
- Kadang-kadang saya bertanya pada guru tentang pelajaran
- Kadang-kadang saya bertanya atau berdiskusi dengan teman tentang pelajaran
7. Penggunaan Waktu
- Konseli tidak dapat memanfaatkan waktu luang
- Konseli tidak dapat membagi waktu belajar
8. Ulangan / Tes
- Sering kurang siap menghadapi ulangan/tes
- Sering kurang yakin terhadap pikiran sendiri
- Saya suka belajar sambil tidur
- Orang tua memberi kesempatan untuk belajar
- Sering menghentikan belajar karena tertarik pada TV
- Kurang teliti dalam mengerjakan tes

9. Ekonomi
Klien merasa ekonominya tidak ada masalah. Penghasilan orang tua mencukupi untuk keperluan sekolah
10. masalah muda – mudi
- Merasa mulai mencintai seseorang
- Klien dilarang pacaran oleh orang tuanya
c. Wawancara
Berdasaran hasil wawancara dengan konseling adalah sebagai berikut:
- Konseling belum bisa memahami arti belajar dengan baik.
- Sulit berkonsentrasi dalam pelajaran di kelas.
- Kurangnya perhatian dari orang tua terhadap cara belajar konseling di rumah.
- Konseling sering belajar sendiri di rumah.
- Konseling tidak dapat memanfaatkan waktu dengan baik.
- Konseling sering merasa malas untuk belajar mata pelajaran yang kurang diminati.
- Klien sering meninggalkan pelajaran hanya untuk menonton TV
d Dokumentasi
Data dokumentasi diperoleh dari prestasi belajar konseli pada saat mengikuti ulangan harian dan mengerjakan tugas-tugas pelajaran. Dilihat dari segi prestasinya, untuk nilai ulangan harian pertama dan kedua nilai PKn’nya adalah 35 pada ulangan pertama, 65 pada ulangan kedua.
2. Diagnosis
Diagnosis merupakan tahap penginterprestasian data dalam bentuk pengungkapan problem yang dialami siswa bermasalah. Adapun tujuan diadakannya diagnosis ini adalah untuk menemukan dan menentukan penyebab masalah yang dihadapi konseli sehingga diperoleh pemahaman yang menyeluruh tentang hakekat masalah yang dihadapi oleh konseli.
Pada tahap ini ada dua langkah yang dilakukan praktikan, yaitu:
1) Identifikasi masalah
Langkah ini dimaksudkan untuk menentukan jenis masalah siswa dengan cara menjabarkan masalah yang dihadapi siswa berdasarkan data yang ada secara terperinci menurut klasifikasi masalah.
Setelah praktikan melakukan observasi ternyata konseli merasa dirinya pintar dan sering meremehkan mata pelajaran PKn. Konseli juga sering ngobrol dengan temannya dan kurang berkonsentrasi sehingga konseli sering tidak memperhatikan guru ketika menjelaskan mata pelajaran yang diajarkan.
Berdasarkan data dari konseli dengan memberikan angket berisikan tentang problem check terlihat bahwa klien dalam proses belajar mengajar adalah siswa yang aktif pada pelajaran tertentu. Keadaan keluarga juga relatif bagus dan tidak ada masalah.
2) Etiologi
Etiologi merupakan usaha untuk mencari faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah. Dari hasil analisis permasalahan (hasil interprestasi data dari peoblem check list) dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya permasalahan dalam diri konseli adalah sebagai berikut:
- Konseli sulit menentukan cara belajar
- Kurang berkonsentrasi dalam pelajaran di kelas
- Sifat orang tua terhadap konseli keras
- Konseli sering ngobrol bila pelajaran berlangsung
- Konseli sering meremehkan mata pelajaran yang guru ajarkan
- Konseli tidak bisa membagi waktu belajarnya
3. Prognosis
Prognosis adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mencari alternatif yang terbaik dalam mengatasi masalah yang dihadapi Konseli. Prognosis ini bertujuan untuk mempelajari kemungkinan yang terjadi apabila konseli tidak segera mendapatkan bantuan atau bimbingan atau sebaliknya segera memperoleh bantuan atau bimbingan.
Berdasarkan identifikasi masalah yang dihadapi konseli, maka prognosisnya adalah sebagai berikut:
a. Jika tidak segera dibantu
- Konseli akan sulit memperoleh nilai rata-rata yang sama atau bahkan meningkat pada waktu yang akan datang.
b. Jika segera dibantu
- Konseli akan senang belajar dan akan lebih berkonsentrasi pada pelajaran PKn.
- Konseli akan berpengaruh pada kelasnya. Kemungkinan apabila ada penanganan yang serius maka kelas yang dahulunya kurang kondusif dapat berubah menjadi kelas yang kondusif.

2.3 Usaha Usaha Pemberian Bantuan (Treatment)
Usaha pemberian bantuan atau treatment adalah langkah inti dari studi kasus. Langkah ini bertujuan agar konseling dapat mengatasi kesulitan belajar yang sedang dihadapi sekaligus agar mendapat prestasi yang optimal.
1. Bantuan Yang Diberikan
Sesuai dengan jenis, sifat dan latar belakang masalah rencana pemberian bantuan yang bisa diberikan adalah sebagai berikut
a. Melalui Wawancara Konseling
Dalam teknik ini pemberian bantuan dilakukan dalam bentuk hubungan yang bersifat face to face, yang dilakukan antara praktikan dengan Konseli. Layanan konseling ini bertujuan membantu konseli dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan penyuluhan ini diharapkan terjadi perubahan yang konstruktif pada konseli.
Layanan konseling ini dilakukan agar konseli mengenal dirinya dan lingkungannya sehingga konseli mengambil keputusan yang memuaskan bagi dirinya.
b. Bantuan yang diberikan berkaitan dengan permasalahan yang klien hadapi, pemberian bantuan penyuluhan tersebut berupa
1. Berhubungan dengan lingkungan, yaitu klien harus bisa mengendalikan diri saat di kelas sehingga proses belajar mengajar bisa berlangsung dengan lancar tanpa ada keributan yang disebabkan klien mengajak bicara temannya
2. Memberikan saran-saran dan pengarahan agar klien berusaha belajar dengan lebih giat lagi dan dapat memanfaatkan waktu dengan baik , bisa mengurangi waktu untuk menonton TV dan bermain
3. Menyarankan klien agar membuat jadwal kegiatan kesehariannya agar waktunya tidak terbuang dengan percuma
4. Memberikan saran agar klien mengadakan pelajaran bersamaatau kelompok dengan teman-temannya yang lebih menguasai materi
5. Mengadakan pendekatan bimbingan dengan baik kepada klien agar dapat mengurangi kebosanan klien terhadap pelajaran khususnya PKn
c. Bimbingan cara membagi waktu kegiatan sehari-hari
Memberikan bimbingan bagaimana membagi waktu yang benar, sehingga siswa dapat belajar dengan waktu yang cukup.
d. Remidial Teaching
Dilakukan karena nilai konseli kurang dari SKM (nilai SKM = 72) yaitu 35. biasanya dilakukan pada waktu jam remidi . Hal ini supaya konseli mendapatkan nilai yang diharapkan. Materi yang disampaikan adalah materi-materi yang dapat dipahami oleh siswa.


e. Pelimpahan
Pelimpahan dilakukan apabila praktikan sudah tidak dapat membantu menyelesaikan permasalahan konseli, diharapkan konseli tetap dapat mengembangkan potensi belajarnya.
d. Home Visit
Home visit merupakan kunjungan praktikan ke rumah konseli. Hal ini merupakan usaha praktikan untuk mengetahui kondisi keluarga konseli.
2. Bantuan yang belum terlaksana
Berdasarkan yang telah dikemukakan diatas, maka pemberian bantuan yang belum terlaksana adalah sebagai berikut:
a) Pelimpahan
Pelimpahan tidak dapat dilaksanakan oleh praktikan dikarenakan praktikan sudah dapat membimbing konseli sehingga bimbingan ini dirasa tidak diperlukan.
b) Home Visit
Mengingat keterbatasan waktu yang diberikan dalam menyelesaiakn laporan layanan studi kasus kesulitan belajar bidang studi maka home visit belum dapat dilakukan.
3. Follow UP
Follow Up adalah usaha yang dilakukan oleh praktikan untuk mengikuti perkembangan klien setelah melakukan keputusan sendiri untuk bertindak. Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui keberhasilan diagnostik kesulitan belajar dan usaha bantuan yang diberikan.
Langkah yang diambil adalah:
a) Penilaian
Konseli sudah mulai mengalami peningkatan dalam mengikuti pelajaran di kelas terutama dalam pelajaran PKn. Konseli sudah mau berkonsentrasi dan memperhatikan saat guru menerangkan di depan kelas.
b) Wawancara
Dari hasil wawancara konseli sudah dapat membagi waktu belajar dengan baik.
c) Observasi
Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung konseli sudah bersemangat dalam mengikuti mata pelajaran PKn di kelas.
d) Membagi tugas dan peranan dengan orang-orang tertentu (guru dan wali kelas) dalam memberikan bantuan kepada konseli agar konseli dapat melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
e) Senantiasa mengecek lagi (re-check) kemajuan konseli berkaitan dengan pemahaman konseli terhadap bantuan yang diberikan, yang berupa pemahaman pengajaran maupun mengecek ketepatgunaan program pengajaran yang dilaksanakan.
Berdasarkan langkah-langkah yang dilakukan praktikan terhadap konseli, bahwa nilai ulangan harian konseli semakin meningkat (terlihat pada lampiran). Karena keterbatasan waktu selama praktek di lapangan, maka praktikan tidak dapat melakukan layanan bimbingan studi kasus secara optimal dan tidak dapat melakukan rencana bantuan yang diberikan. Karena itulah untuk mengoptimalkan dan untuk mengetahui perkembangan konseli selanjutnya, usaha yang dapat dilakukan adalah melimpahkan kepada Guru mata pelajaran, konselor dan Wali kelas.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan data-data dan langkah-langlah yang dilakukan praktikan menunjukkan bahwa bimbingan belajar yang efektif sangat penting adanya bagi konseli, agar konseli dapat meningkatkan prestasi belajarnya secara optimal.
Dari bimbingan belajar yang praktikan lakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
a. Dalam rangka mencapai hasil belajar yang maksimal banyak sekali faktor-faktor yang menghambat baik yang bersifat intern maupun ekstern.
b. Untuk menemukan alternatif pemecahan suatu masalah harus dilaksanakan secar terencana.
c. Seorang guru hendaknya tidak hanya menyampaikan materi pelajaran saja, tetapi juga harus mengetahui perkembangan siswa, masalah-masalah yang dihadapi siswa, dan dapat membantu mengatasi masalah tersebut.
d. Proses belajar mengajar yang dilaksanakan sekolah memerlukan kerjasama yang baik antara sekolah, guru, orang tua dan masyarakat.
e. Layanan bimbingan siswa adalah upaya memahami dan menetapkan siswa yang mengalami kesulitan belajar dengan kegiatan mengidentifikasi, mendiagnosis, dan memberikan pertimbangan pemecahan masalah
f. Layanan bimbingan ini akan berhasil dengan baik apabila ada peran aktif dari klien untuk berusaha bersungguh-sungguh menyelesaikan masalah dalam kesulitan belajarnya serta didukung oleh partisipasi orang tua, guru, wali kelas dan lingkungan siswa atau lingkungan sekolah.
3.2 Saran-saran
Dari hasil analisis layanan bimbingan siswa ini, praktikan menyarankan:
a. Kepada Konseli
§ Konseli diharapkan mampu membagi waktu secara tepat untuk kepentingan balajar dan bermain, sehingga semuanya dapat berjalan dengan baik.
§ Saat pembelajaran berlangsung dikelas sebaiknya jangan terpengaruh oleh teman yang mengajak bercanda sehingga konsentrasi dalam memahami materi tetap terjaga
§ Ingat akan cita-cita dan harapan orang tua, agar semangat belajar klien semakin meningkat
b. Kepada Guru/Wali Kelas
Guru harus mampu memberikan perhatian yang merata kepada siswa di kelas, terutama siswa yang menghadapi permasalahan. Guru hendaknya menjadi mitra BP untuk memberikan bantuan pengarahan yang berkaitan dengan cara belajar yang baik dan efisien dan menekankan pada pentingnya pendidikan masa depan anak didik.
c. Kepada BK
Petugas BK diharapkan selalu menjalin komunikasi dengan siswa sehingga dapat mengetahui perkembangan siswa yang telah mendapat bantuan. Secara umum BK diharapkan menjadi penghubung antara siswa, guru, dan orang tua sehingga permasalahan siswa dapat dengan cepat diketahui dan dengan segera diselesaikan.
d. Kepada Orang Tua
Orang tua hendaknya terus memberi dorongan kepada anaknya untuk terus berprestasi dan selalu mengontrol anaknya. Selan itu orang tua hendaknya menjalin kerjasama dengan sekolah sehingga mengetahui perkembangan anak di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Djumhur. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung : CV. Ilmu.
Hayinah. 1992/1993. Masalah Belajar dan Bimbingan. Malang: Depdikbud Malang, Proyek OFF.
Tim PPL-FKIP. 2006. Pedoman Program Pengalaman Lapangan. Malang : Unit PPL.
Winkel, Ws. 1977. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Jakarta : Gramedia.
Widada dan Hidayah, Nur. 1997/1998. Manajemen Bimbingan dan Konseling. Malang : IKIP Malang.
Abdullatif. 2007. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung : Refika Aditama.

























Forum kamunikasi mahasiswa manggelewa (FKMM)

FKMM di bentuk oleh mahasiswa manggelewa (kec) kabupaten dompu NTB. sebagai wadah komunikasi mahasiswa manggelewa yang berada di malang. farum ini didirikan pada tgl 17 April tahun 2007, setelah melakukan perdebatan panjang dan melelahkan akhirx kita spakat dengan nama FKMM dan kemudian dibentuk pengurus yang diketuai oleh Junaidin (lebih populer dipanggil Travo) dan sebagai sekretaris umum adalah sdr Hariyanto (Ibeng). FKMM dibentuk dengan tujuan u/ meningkatkan tali silaturrahim khususnya mahasiswa manggelewa yang ada di malang raya.

manggelewa merupakan salah satu kecamatan yang masih relatif rendah SDM nya sehingga kami yang berada di malang bertekad untuk mempelajari keadaan, kelebihan dan kekurangan daerah sehingga kita dapat memberikan masukan yang positif buat manggelewa tercinta..

jumlah penduduk di kecamatan manggelewa sekitar 36.000 jiwa. kec manggelewa terletah di daerah dataran tinggi dan cuacax sedikit panas....

potensi di kec. ini adalah jambu mete yang sekarang menjadi ikon kabupaten dompu "berupa penghasil mente terbesar di Indonesia timur".
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu tujuan pokok Negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini artinya sejak awal berdirinya Negara, kebodohan dan tingkat ilmu pengetahuan masyarakat yang rendah merupakan persoalan riil yang harus ditangani melalui sistem pendidikan nasional yang menyeluruh dan terpadu. Perlu pembenahan, pembaharuan, peningkatan, dan intensifikasi yang terus - menerus agar tujuan pokok pendidikan dapat tercapai.
Namun tekad untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sering mengalami hambatan, oleh karena itu, pada tahun 1999 diundangkanya UU No.22 yang kemudian di ganti dengan Undang – undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pada hakikatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
Terma desentralisasi mengemuka pertama kali pada tahun 1974 bersamaan dengan disusunnya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan Daerah, dan menjadi wacana publik dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 mengenai kewenangan pemerintah Daerah. Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 ayat 7 menyebutkan, “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah [pusat] kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik IndonesiaI”. Beberapa aturan mengenai Otonomi Daerah ini diungkap dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (sebelumnya UU No. 22 tahun !999), UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (sebelumnya UU Nomor 25 tahun 1999), dan PP nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangkan Provinsi sebagai daerah otonom.
Ketentuan otonomi daerah yang dilandasi oleh Undang-undang nomor 23 dan nomor 33 tahun 2004 sebagaimana yang telah diuraikan diatas, telah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk penyelengggaraan pendidikan. Bila sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat, dengan berlakunya undang-undang tersebut, kewenangan tersebut dialihkan ke pemerintah kota dan kabupaten. Sehubungan dengan itu Sidi (2000) dalam Mulyasa (2007) mengemukakan empat isu kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang perlu direkonstruksi dalam rangka otonomi daerah, berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan pendidikan, serta relevansi pendidikan dan pemerataan pelayanan pendidikan sebagai berikut:
1. Upaya peningkatan mutu pendidikan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan, yaitu melalui konsensus nasional antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat
2. Peningkatan efisiensi pengelolaaan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, dengan memberi kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia bagi tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan
3. Peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat. Peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat pada level kebijakan (pengambilan keputusan) dan level operasional melalui komite (dewan) sekolah. Komite ini terdiri atas kepala sekolah, guru senior, wakil orang tua, tokoh masyarakat, dan perwakilan siswa. Peran komite meliputi perencanaan, implementasi, monitoring, serta evaluasi program kerja sekolah
4. Pemerataan pelayanan pendidikan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan. Hal ini berkenaan dengan penerapan formula pembiayaan pendidikan yang adil dan transparan, upaya pemerataan mutu pendidikan dengan adanya standar kompetensi minimal, serta pemerataan pelayanan pendidikan bagi siswa pada semua lapisan masyarakat.
Bagi setiap institusi, peningkatan kualitas adalah agenda utama dan yang paling penting. Namun demikian berbagai indikataor kualitas pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagian sekolah terutama di kota-kota menunjukkan peningkatan kualitas yang cukup menggembirakan, namun masih banyak sebagian lainnya yang masih memprihatinkan.
Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha yang dilakukan pemerintah antara lain melalui pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyedian dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, serta peningkatan kualitas manajemen sekolah. Kabupaten Dompu merupakan daerah yang melaksanakan otonomi, dalam pelaksanaannya Kabupaten Dompu banyak mengalami kemajuan dan peningkatan. Akan tetapi pada setiap tahunya mengalami pasang surut sehingga Kabupaten Dompu dinilai masih rendah dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata yaitu antara lain :
1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional cenderung menggunakan pendekatan “educationnal production function” yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Melalui pendekatan ini lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang hanya menghasilkan output yang telah ditentukan tanpa memperhatikan proses. Padahal proses sangat menentukan output.
2. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, dimana keseluruhan proses perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasinya tergantung pada keputusan pemerintah pusat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya (sekolah) termasuk peningkatan kualitas pendidikan disamping pengembangan dan pembangunan dibidang lainnya.
3. Kurangnya peran serta[partisipasi] masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan. Partisipasi masyarakat pada umumya selama ini lebih banyak bersifat dukungan berupa dana saja, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas)
Berdasarkan hal tersebut diatas, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya sekarang yang sedang dikembangkan adalah re-orientasi penyelenggaraan pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah (School Based Management) sebagai implementasi dari desentralisasi pendidikan. Disamping pembaharuan terhadap kurikulum dan keseriusan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negara ini.
Memaknai konsep otonomi daerah dalam konteks otonomi pendidikan dalam memberikan kekuasaan dan tanggung jawab penuh kepada sekolah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Otonomi pendidikan menyarankan sekolah untuk mengurus sistem pendidikannya secara mandiri yang lepas dari ketergantungan kepada pemerintah dan kewenangan pusat, menuju ke masyarakat lokal sekolah.
Reposisi otonomi pendidikan diorientasikan kepada peningkatan kualitas pendidikan, dengan melakukan lompatan dengan pembelajaran kelas ke tingkat organisasi sekolah dan mereformasi sistem struktur serta bentuk manajemen sekolah. Corak reformasi-reposisi ini disebut dengan Manajemen Berbasis Sekolah/MBS (School Based Management). MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam melakukan program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai dengan otonomi yang luas ditingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan pendidikan nasional.
MBS sebagai realisasi dari desentralisasi pendidikan, menurut D.A. Rondinelli dan G.S. Cheema (1983) sebagaimana dikutip Ibtisam Abu-Duhou (2002), sedikitnya ada empat bentuk yang perlu diidentifikasi antara lain :
Pertama, Dekonsentrasi yaitu pelimpahan sebagian kewenangan atau tanggung jawab administratif ketingkat yang lebih rendah dibawah departemen dan pemerintah pusat, dan pengalihan beban kerja dari pejabat pusat ke staf atau kantor diluar ibu kota atau pemerintah pusat.
Kedua, Delegasi, yaitu pelimpahan atau pemindahan tanggung jawab manajerial dan fungsional ke organisasi diluar struktur birokrasi, yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Kelemahan desentralisasi model ini adalah otoritas kedaulatan masih dikendali pusat, sementara daerah hanya pelaksana operasional.
Ketiga, Devolusi penguasaan dan penciptaan unit pemerintah di daerah, baik secara legal maupun secara finansial, dimana aktifitasnya secara substansil berada diluar pengawasan langsung pemerintah pusat. Di sini unit pemerintah daerah berada terpisah dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya mempunyai kewenangan untuk memberikan pengawasan secara tidak langsung.
Keempat, Privatisasi atau swastanisasi, yaitu pemberian wewenang secara penuh kepada swasta untuk merencanakan dan mengevaluasi seluruh sistem yang dikonstruksi.
Tuntutan reformasi terhadap pembangunan nasional mendorong dilakukannya reformasi arah kebijakan di bidang pendidikan nasional yang lebih demokratis dan terbuka, sehingga perlu peningkatan dan pemberdayaaan peran serta masyarakat serta peningkatan profesionalisme. Paradigma baru yang memberi ciri pada reformasi pendidikan antaralain,: Pertama, sentralisasi berubah kearah desentralisasi pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang semula terpusat menjadi tidak terpusat, yaitu menyerahkan sebagian kewenangannya ke pemerintah daerah, bahkan sampai pada tingkat sekolah (school based Managemant ). Kedua, konsep scholing akan berubah ke konsep learning, sehingga proses pendidikan lebih interaktif. Ketiga, Classs Orentation berubah ke individual orentation, sehingga peserta didik lebih mendapat perhatian untuk mengembangkan potensinya (competence based curriculum).
Perbaikan di dunia pendidikan itu ialah hal yang sangat mendesak untuk dilakukan mengingat pendidikan adalah investasi masa depan bangsa dimana anak bangsa di didik agar bisa meneruskan gerak langkah kehidupan bangsa, menjadi bangsa yang maju dan berpendidikan serta bermoral. Dengan kata lain masa depan suatu bangsa sangat tergantung pada kondisi pendidikan.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Peran Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimana peran Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dalam meningkatkan kualitas pendidikan
Apa saja yang menjadi faktor - faktor pendukung dalam peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Dompu.
Faktor – faktor apa saja yang menghambat dalam peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Dompu
1.3 Tujuan Penelitian
Berangkat dari beberapa permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan :
Ingin mengetahui bagaimana peran Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dalam meningkatkan kualitas pendidikan
Ingin mengetahui faktor – faktor yang mendukung Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dalam meningkatka kualitas pendidikan
Ingin mengetahui faktor apa saja yang menghambat peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Dompu
1.4 Manfaat Penelitian
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi seluruh masyarakat, terutama bagi para pembuat keputusan untuk membantu memecahkan masalah pendidikan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Dompu.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya perbendaharaan pengetahuan dan teori di bidang pendidikan, yang nantinya akan sangat berguna dalam menambah wacana dan diskursus ilmiah di dunia pendidikan.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pendidikan
Dalam Undang – undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan disini menegaskan bahwa dalam pendidikan hendaknya tercipta sebuah wadah dimana peserta didik bisa secara aktif mempertajam dan memperlihatkan potensi – potensinya sehingga memilki kemampuan secara alamiah, berasumsi bahwa manusia memiliki peluang untuk bersifat mandiri, aktif, rasional, sosial, dan spiritual.
Pendidikan secara lebih operasional dikembangkan oleh Philip H. Phenix dalam hal ini pendidikan umum, sebagai suatu proses pemunculan makna – makna yang esensial. Berbeda dengan H.A.R. Tilar yang mendefinisikan pendidikan sebagai suatu proses menumbuhkembangkan peserta didik yang memasyarakat, berbudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional, dan global. Sehingga dari devinisi ini dapat dijelaskan komponen – komponen sebagai berikut :
pendidikan merupakan sebuah proses kesinambungan. Suatu proses yang terjadi secara tidak instan pada diri peserta didik. Peserta didik dianggap sebagai manusia yang memiliki kemampuan- kemampuan yang immanen sebagai mahluk hidup di dalam suatu masyarakat. Kemampuan tersebut berupa dorongan-dorongan keinginan, elan vital yang ada pada manusia. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa proses pendidikan juga berarti proses penyelamatan kehidupan sosial dan penyelamatan lingkungan yang memberikan jaminan hidup yang berkesinambungan, yakni pendidikan tidak berhenti ketika peserta didik menjadi dewasa, tetapi akan terus- menerus berkembang selama terdapat interaksi antara manusia dengan manusia dan lingkungan alamnya.
proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia. Eksistensi manusia tidak pernah selesai dan terus menerus terjadi sepanjang hayatnya. Dorongan, keinginan dan elan elan vital hanyalah komponen-komponen didalam menumbuhkembangkan eksistensi manusia.
eksistensi manusia yang memasyarakat. Proses pendidikan adalah proses mewujudkan eksistensi manusia yang memasyarakat. Proses itu sendiri tidak terjadi dalam vacuum atau ruang hampa tetapi sekurang-kuramgnya terdapat unsur –unsur ibu, orang tua, keluarga, masyarakat, pendidikan formal, pendidikan nonformal sebagai pendorong.
proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya. Masyarakat bukan hanya memiliki budaya tetapi membudaya, artinya selain nilai-nilai yang ada dilestarikan juga akan muncul nilai-nilai baru. Cepat atau lambat kebudayaan akan bergerak dan maju selama masyarakat itu hidup, selama itu pula budayanya akan terus berkembang. Budaya disini dianggap sebagai nilai-nilai dan membudaya diartikan sebagai proses menghayati, melestarikan, mengembangkan, dan melaksanakan nilai-nilai yang berlaku. Pendidikan merupakan pranata sosial dimana kebudayaan itu berkembang. Sehingga antara kebudayaan dan pendidikan tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya.
proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi-dimensi waktu dan ruang. Dengan duimensi waktu, proses tersebut mempunyai aspek-aspek historisitas, kekinian, dan visi masa depan. Aspek historisitas berarti bahwa suatu masyarakat telah berkembang didalam suatu proses waktu, yang menyejarah berarti kekuatan-kekuatan historik telah menumpuk dan berasimilasi di dalam suatu proses kebudayaan. Aspek kekinian berarti bahwa budaya yang ada sekarang adalah budaya masa lalu yang masih dilestarikan dan budaya baru yang telah terseleksi menjadi budaya yang hidup atau sedang mengalami proses.
Dalam era globalisasi, masyarakat dunia semakin bergantung satu sama lain baik secara ekonomi, sosial politik, maupun ekologis, sehingga semakin dituntut saling pengertian dan kerjasama antar bangsa dan budaya. UNESCO (United Nations Scientific and Cultural Organization) sebagai lembaga internasional dalam bidang pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan menjadikan pendidikan global sebagai salah satu kepeduliannya. Kepedulian tersebut antara lain tertuang dalam rekomendasinya tentang ”pendidikan untuk saling pengertian secara internasional, kerjasama, perdamaian dan pendidikan berkenaan dengan hak asasi manusia”.
Era reformasi yang sedang kita jalani, ditandai dengan perubahan baik di bidang pemerintahan maupun di bidang pendidikan pada umunya. Perubahan tersebut ditandai oleh lahirnya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (Otoda), membawa konsekuensi terhadap bidang-bidang kewenangan daerah sehingga lebih otonom, termasuk di bidang pendidikan yang dilakukan melalui manajemen berbasis sekolah (School Based Management).
Sesuai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di bidang pendidikan, pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keinginan bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan pendidikan, beberapa perubahan dan penambahan aturan terhadap undang-undang diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu aturan yang memuat harapan tersebut adalah Undang –undang No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dinyatakan bahwa ada tiga tantangan besar dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu (1) mempertahankan hasil – hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai; (2) mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global; dan (3) sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memerhatikan keberagaman, memerhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Atas dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam Propenas, tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem pengelolaan pendidikan yaitu manajemen berbasis sekolah (MBS) terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, dimana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan orang tua murid serta masyarakat sebagai pemerhati pendidikan).
2.2 Pengertian peran/peranan
Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang yang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan (Soekanto 1984: 237).
Analisis terhadap perilaku peranan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: (1) ketentuan peranan, (2) gambaran peranan, dan (3) harapan peranan. Ketentuan peranan adalah pernyataan formal dan terbuka tentang perilaku yang harus ditampilkan oleh seseorang dalam membawa perannya. Gambaran peranan adalah suatu gambaran tentang perilaku yang sacara aktual ditampilkan seseorang dalam membawakan perannya, sedangkan harapan peranan adalah harapan orang-orang terhadap perilaku yang ditampilkan seseorang dalam membawakan perannya (Berlo 1961: 153). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan peranan adalah perilaku atau usaha yang dilakukan Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
2.3 Kualitas Pendidikan (Kualitas Lulusan)
Berbicara kualitas pendidikan, berarti yang pertama kali muncul dalam benak kita adalah kualitas lulusan karena tolok ukur pendidikan dikatakan berkualitas harus berdasar pada Outputnya. Perhatian terhadap pendidikan di negeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya. Ada banyak hal yang masih harus dibenahi dari kondisi pendidikan yang ada saat ini, mulai dari masalah birokrasi pendidikan yang masih tumpang tindih, simpang siur dan tidak terkoordinasi dengan baik, sampai dengan masalah internal pendidikan itu sendiri, yakni mengenai konsep pendidikan dan aplikasi praksis menciptakan pendidikan yang tepat dan akurat bagi kondisi bangsa. Akibatnya, pendidikan tidak mampu melahirkan manusia-manusia yang cerdas baik dari segi intelektualitas maupun kepribadiannya.
Apalagi kita melihat Output pendidikan itu sendiri yang faktanya menjadi sangat mengkhawatirkan. Banyak sekali anak didik yang mempunyai tingkat intelektualitas yang rendah dan juga kepribadian yang terbelah dan tidak lagi mampu melihat mana perilaku yang benar dan mana yang tidak. Banyak sekali anak didik yang melakukan tindakan kriminal seperti tawuran pelajar, terjerumus kedalam lingkaran narkoba, miras, dan perilaku tidak bermoral lainnya. Ini semua menunjukkan kualitas pendidikan (kualitas lulusan) belum memenuhi standar yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang menghendaki terbentuknya manusia yang bermoral dan berakhlak mulia serta berguna bagi bangsa dan negara. Namun perbaikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan bukan hal yang tidak mungkin.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, menyimpulkan bahwa pendidikan Indonesia berada pada urutan kedua belas setelah Vietnam. Sedangkan urutan pertama adalah Korea selatan, dan Singapura berada pada urutan kedua. Hasil survei ini didasarkan pada kualitas tenaga kerja dengan argumentasi yang dikemukakan bahwa langkah pertama untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas adalah pendidikan yang berkualitas.
Berdasarkan hasil survei tersebut ada beberapa hal yang menjadi Lesson learned, yaitu: pertama, peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu komitmen untuk melakukan investasi SDM untuk menumbuhkan dan mengembangkan daya kemampuan hidup mereka seoptimal mungkin. Kedua, pemerataan pendidikan perlu diikuti dengan mutu pendidikan. Ketiga, peningkatan mutu pendidikan perlu lebih meningkatkan bahasa Asing terutama bahasa Inggris dan pengajaran tekhnologi untuk meningkatkan kemampuan daya bersaing tenaga kerja Indonesia.
Peningkatan mutu pendidikan perlu dilakukan diversifikasi sesuai dengan kebutuhan riil peserta didik. Karena tidak semua peningkatan mutu pendidikan berorientasi akademik. Ada lapisan masyarakat yang tidak membutuhkan kompetensi akademik tetapi membutuhkan kompetensi untuk bekerja. Untuk itu diperlukan strategi peningkatan mutu pendidikan, yaitu peningkatan kualitas pendidikan yang berorientasi keterampilan dan peningkatan kualitas pendidiakn yang berorientasi akademik.
Pendidikan berorientasi keterampilan bisa dilihat dari data Kohort dan jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi menunjukkan bahwa tidak lebih dari 20% peserta didik pada jenjang pendidikan dasar yang melanjutkan sampai pada jenjang perguruan tinggi. Pemberian pendidikan Life Skill ini harus berorientasi kepada kebutuhan lokal, seperti pertanian, perikanan, dan kerajinan.
Sedangkan pendidikan berorientasi akademis ini bisa dipahami dari hasil studi the Third Internasional Mathematics and Science Study-repeat 1999 yang dilaksanakan pada 38 Negara dari lima benua, bahwa siswa SMP Indonesia menempati urutan ke-32 dan 34 untuk skor tes IPA dan MATEMATIKA, Singapura menduduki urutan pertama untuk skor tes MATEMATIKA dan kedua untuk skor tes IPA. Sedangkan siswa SMP Malaysia berada pada urutan ke-16 untuk skor tes MATEMATIKA dan 22 untuk skor tes IPA.
Rendahnya mutu pendidikan berorientasi akademik tidak terlepas dari rendahnya alokasi pendidikan. Sejak tahun 1995/1996 sampai dengan 1999/2000 proporsi anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional tidak pernah melebihi angka 8% dari APBN. Sehingga membawa dampak langsung terhadap ketersediaan sarana dan prasarana pendidkan di tingkat sekolah dan kesejahteraan tenaga kependidikan diberbagai jenis, jenjang dan jalur. Akibatnya proses belajar mengajar tidak dapat mendukung peningkatan prestasi akademik peserta didik.
Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan berorientasi akademik bisa ditempuh melalui : (1) Quality Asurance, kepada semua lembaga pendidikan sehingga dapat mempersiapkan peserta didik untuk dapat tersaring pada saat dilakukan qualiti control pada saat ujian nasional; (2) menjamin kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga mereka dapat hidup layak dan dapat memusatkan perhatiannya pada mengajar; dan (3) mendorong daerah dan lembaga untuk dapat memobilisasi berbagai sumber dana dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan.
Meskipun tidak semua desentralisasi pengelolaan pendidikan dan implementasi manajemen berbasis sekolah senantiasa berkorelasi positif terhadap peningkatan kualitas lulusan lembaga pendidikan. Tekad dan komitmen ini diharapkan dapat mengurangi kelemahan reformasi pendidikan pada masa – masa sebelumnya yaitu :
1. hanya terfokus pada perubahan tingkat sistem daripada perbaikan instansi atau kelembagaan sekolah
2. lebih menekankan pada ketersediaan input dari sistem, seperti fasilitas dan ketersediaan buku-buku teks
3. perbaikan pendidikan kurang mengadaptasi kebutuhan masing-masing sekolah karena sekolah dianggap mempunyai karakter yang umum (De Grauwe dan Varghese dalam Lukman 2006)


2.4 Perkembangan Pendidikan Nasional
Saat ini kesadaran pemerintah untuk menyiapkan masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri serta mampu bersaing di tingkat internasional sangat tinggi. Sebagi negara berkembang, pengembangan pendidikan hendaklah dilihat sebagai sutu proses kelangsungan peradaban bangsa, oleh sebab itu maka faktor-faktor psiko-sosial dan budaya bangsa perlu diikutsertakan dalam merancang, menciptakan pendidika agar tercipta situasi yang kondusif sehingga keberhasilan belajar dapat tercapai.
Upaya pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia secara terencana dimulai tahun 1969 dalam program pembangunan lima tahun pertama (pelita 1), melalui proyek-proyek pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi. Jalur pendidikan formal (pendidkan melalui sekolah) secara kuantitatif sejak Indonesia merdeka sampai dengan berakhirnya orde lama (1966) terdapat perkembangan yang berarti. Sejak awal orde baru sampai dengan repelita VI tahun 1996/1997 perkembangan pendidikan di tanah air sangat spektakuler.
Dalam pembangunan nasional jangka panjang pertama, sektor pendidikan berada dalam taraf pementapan sistemnya terutama pada pendidikan dasar. Secara logis, setelah terget kuantitas ini tercapai langkah selanjutnya ialah meningkatkan kualitasnya. langkah ini menjadi teramat penting karena beberapa hal : (a) pendidikan dasar merupakan pendidikan yang dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat; (b) pendidikan dasar merupakan tuntutan konstitusi, karena dalam undang-undang 1945 mewajibkan kepada anegara untuk menyelenggarakan satu sistem dan pengajaran sehingga pendidikan itu menjadi hak bagi setiap warganegara; (c) dengan lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, maka landasan yuridis dan operasional telah tersedia sebagai langkah pertama secara mantap untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi ialah mewujudkan bangsa Indonesia yang cerdas.
Sejak akhrir repelita ke II dikenalka strategi dasar pembangunan pendidikan nasional yang kemudian diperkuat dengan pernyataan dalam garis – garis besar haluan negara tahun 1978 yang dirumuskan dalam empat butir, yaitu:
peningkatan kualitas pendidikan, upaya peningkatan kualitas pendidikan dilakukan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan, yaitu melalui konsensus nasional antara pemerintah dengan seluruh masyarakat
pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pemerataan pendidkan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan, tanpa adanya diskriminasi. Hal ini berkenaan dengan pembiayaan pendidikan yang adil dan transparan
relevansi pendidikan, peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat, peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat dalam pengambilan kebijakan bersama-sama dengan dewan atau komite sekolah
efisiensi pendidikan, mengarah pada pengelolaan pendidikan berbasis sekolah.
Dalam tahap pembangunan masyarakat Indonesia, pemerintah berencana meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui proses industrialisasi. salah satu program yang dapat menyiapkan dan melaksanakan arah perkembangan masyarakat Indonesia masa depan ialah pendidikan. malahan PPB mengaggap program pendidikan merupakan salah satu dinamisator dalam pengembangan manusia. Ini menunjukkan bahwa pendidikanlah yang mampu mengubah kehidupan manusia, bangsa dan negara.
2.6 Masalah Kurikulum
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat indonesia sangat herogen dengan berbagai macam keragamanya, seperti budaya, adat, suku sumber daya alam, dan bahkan sumber daya manusianya. Masing – masing daerah mempunyai kesiapan dan kemampuan yang berbeda dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objektif di daerahnya.
Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga pendidikan tidak sekedar daftar mata pelajaran yang dituntut dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pengertian yang lebih luas, kurikulum berisi kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran tertentu, juga berkenaan dengan proses yang terjadi dalam lembaga (proses pembelajaran), fasilitas yang tersedia yang menunjang terjadinya proses, dan akhirnya produk atau hasil dari proses tersebut.
Kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan kegiatan suatu lembaga pendidikan atau pelatihan untuk untuk mewujudkan visi dan misi lembaganya. Oleh karena itu, pelaksanaan kurikulum untuk menunjang keberhasilan sebuah lembaga pendidikan harus ditunjang hal-hal sebagai berikut :
tersedianya tenaga pengajar (guru) yang kompeten
tersedianya fasilitas fisik atau fasilitas belajar yang memadai dan menyenangkan
tersedianya fasilitas bantu untuk proses belajar mengajar
adanya tenaga penunjang pendidikan, seperti tenaga administrasi, pembimbing, pustakawan dan laboran
tersedianya dana yang memadai
manajemen yang efektif dan efisien
terpeliharanya budaya yang menunjang, seperti nilai-nilai religius, moral, kebangsaan, dan lain-lain
kepemimpinan pendidikan yang visioner, transparan dan akuntabel.
Kurikulum sekolah yang amat terstruktur dan sarat beban menyebabkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril terhadap keadaan dan perubahan lingkungan fisik serta sosial yang berkembang di masyarakat. Akibatnya, proses pendidikan menjadi rutin, tidak menarik dan kurang mampu memupuk kreativitas murid untuk belajar serta guru dan pengelola pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan pendekatan yang inovatif.
Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat, yaitu kelembagaan pendidikan yang bersandarkan pada komunitas masyarakat. Namun demikian, pada zaman reformasi dan keterbukaan seperti sekarang permasalahan yang timbul adalah bagaimana mengubah pola pikir yang dikembangkan secara sentralistik dan memasung kreativitas masyarakat, menjadi pola pikir kemitraan. Dampak langsung dari sekian lama sistem sentralistik yang dijalankan adalah terpolanya cara berpikir masyarakat, baik birokrasi, para pendidik, maupun masyarakat umumnya. Mereka terbiasa berpikir dan bekerja dengan juklak, juknis, serba aturan, sehingga sulit lahirnya kreativitas, improvisasi, inovasi. Kemitraan yang dimaksud adalah kemitraan antara masyarakat dal kelembagaan-kelembagaan pendidikanya.
Dalam kaitanya dengan manajemen kurikulum, peningkatan relevansi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat antara lain perlu dilakukan manajemen kurikulum yang berangkat dari suatu prediksi yang dapat memberikan gambaran dan keadaan masyarakat beberapa tahun mendatang. Hal ini penting, apalagi sekarang masyarakat cenderung lebih berpikir pragmatis, yakni suatu tuntutan kepada lembaga pendidikan untuk dapat melahirkan out-put yang mampu menjamin masa depannya terutama dalam sektor dunia kerja. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan harus tetap dijaga agar tetap selalu responsif dalam mengikuti perkembangan teknologi dan perkembangan zaman terutama di dunia pendidikan.
Selanjutnya yang menjadi pembahasan adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau biasa disebut KTSP, karena KTSP merupakan kurikulum yang sedang dipakai sebagai acuan dalam mengembangkan kegiatan belajar mengajar (KBM).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. KTSP memberikan kebebasan kepada para guru dan sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, sedangkan pemerintah hanya bertanggung jawab dalam masalah pembuatan standar-standar yang antara lain berupa standar isi dan standar kompetensi lulusan.
Kurikulum dikembangkan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk :
(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
(b) belajar untuk memahami dan menghayati,
(c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
(d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan
(e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Sedangkan komponen KTSP terdiri dari:
(a) Tujuan Pendidikan Sekolah
(b) Struktur dan Muatan Kurikulum
(c) Kalender Pendidikan
(d) Silabus
(e) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP .
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
Beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Relevan dengan kebutuhan kehidupan, pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
Menyeluruh dan berkesinambungan, substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
Belajar sepanjang hayat, kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah, kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).






















BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, sesuai dengan hakikat penelitian deskriptif kualitatif, maka penggunaan deskriptif kualitatif dalam penelitian pendidikan bertujuan untuk : (a) mendiskripsikan suatu proses kegiatan pendidikan berdasarkan apa yang terjadi di lapangan, (b) menganalisis dan menafsirkan suatu fakta, gejala dan peristiwa yang terjadi dilapangan sebagaimana adanya dalam konteks ruang, waktu serta situasi lingkungan pendidikan secara alami.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, karena ada beberapa pertimbangan. Pertama menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden.
3.2 Lokasi Penelitian
Yang dipilih sebagai lokasi penelitian ini adalah Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu dengan alasan bahwa Kabupaten Dompu merupakan salah satu daerah yang masih belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan dengan baik khususnya di Nusa Tenggara Barat.
3.3 Jenis Data dan sumber Data
3.3.1 Data Primer
Adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber –sumber, pihak-pihak yang dituju antara lain data yang di dapat dari lapangan dengan tujuan untuk mengetahui segala hal yang berhungan dengan tema penelitian.
3.3.2 Data Sekunder
Adalah data yang diperoleh dari arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang ada di Dinas pendidikan Kabupaten Dompu terutama berkenaan dengan arsip-arsip berupa laporan, buku, majalah, internet dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Metode penggumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.4.1. Metode Observasi Langsung
Metode ini digunakan dalam penelitian sebab peneliti menganggap bahwa mustahil peneliti akan mendapatkan data yang valid untuk kemudian dianalisa dan digambarkan jika peneliti tidak mengadakan pengamatan langsung di lapangan.
3.4.2. Metode Wawancara
Untuk melengkapi hasil pengamatan yang didapat dari hasil observasi, maka wawancara dengan pihak-pihak terkait juga menjadi hal yang tidak kalah pentingnya. Wawancara ini dilakukan secara mendalam (Indept Interview) kepada informan kunci, teknik ini digunakan untuk mewawancarai kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu. Dalam wawancara ini informasi yang ingin digali yaitu bagaimana peran Dinas Pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Kabupaten Dompu.
3.4.3. Metode Dokumentasi
Menurut Zuriah (2007:191), Dokumentasi didefinisikan sebagai cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip, termasuk juga buku tentang teori, pendapat, dalil atau hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dalam penelitian kualitatif, metode ini merupakan alat pengumpul data yang utama karena pembuktian hipotesisnya yang diajukan secara logis dan rasional melalui pendapat, teori, atau hukum-hukum yang diterima, baik mendukung maupun yang menolong hipotesis tersebut. Dokumen yang ingin diperoleh adalah tujuan dan sasaran pembangunan Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu, hasil UAN pendidikan Kabupaten Dompu tahun 2007 – 2008 dan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Dompu khususnya tentang pendidikan.
3.5 Analisis Data
Analisis data, menurut Moleong (1998:103) adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga data ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data. Tujuan utama analisis data ialah mengorganisasikan data.
Data yang terkumpul dari berbagai sumber dan dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data. Langkah selanjutnya adalah mereduksi data, dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan membuat usaha rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif terhadap semua data yang ada, semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.
3.6 Keabsahan Data
Keabsahan data digunakan agar hasil penelitian menjadi terarah dan sesuai dengan data maupun fakta yang diperoleh dan dapat dipertanggungjawabkan.
Setiap penelitian memerlukan standar untuk melihat derajat kepercayaan atau kebenaran hasil penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif standar tersebut dinamakan keabsahan data. Moleong, mengemukakan bahwa untuk menentukan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan, secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
1. Melakukan Diskusi (Peerdebriefing)
Peerdebriefing merupakan hasil pembicaraan atau hasil diskusi dengan rekan sejawat atau orang lain yang tidak berkepentingan dan tidak turut terlibat dalam penelitian ini sehingga dapat bersikap jujur, objektif dan kritis, dengan tujuan dapat menjadi masukan yang berguna untuk mengadakan perubahan dan perbaikan
2. Melakukan Triagulasi (cek-ricek)
Untuk keperluan pengecekan terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara membandingkan apa yang dikemukakan oleh orang lain atau dari beberapa sumber dengan apa yang dikatakan secara pribadi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
3. Melakukan member cek terhadap temuan di lapangan
Dalam hal ini peneliti meminta pendapat kepada subjek penelitian dan orang-orang yang masih berkaitan dengan subjek untuk menilai kebenaran data, tafsiran, serta kesimpulan penelitian.
4. Perpanjangan Keikutsertaan
perpanjangan keikutsertaan berarti lama dan keintensifan pengumpulan data tidak ditetapkan secara kaku, melainkan secara luwes sehingga apabila diduga dengan menambah lama dan keintesifan pengumpulan data masih bisa memunculkan informasi baru, maka penambahan dilakukan dengan perpanjangan keikutsertaan, peneliti dapat mempelajari bagaimana menguji kebenaran dan mengurangi distorsi.
Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi (cek-ricek) yaitu data yang didapat dari responden, baik dari hasil wawancara maupun observasi dibandingkan dengan sumber lain diluar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang didapat. Hal ini dilakukan guna mengetahui keberadaan informasi yang diberikan berkaitan dengan permasalahn penelitian.
3.7 Tahap – tahap Penelitian
Berdasarkan kajian kepustakaan yang ada menurut Bodgan (Moleong 2004 : 85) tahap – tahap penelitian kualitatif terdiri dari :
Tahap Pra lapangan, terdiri dari menyusun rancangan penelitian, memilih lokasi penelitian, mengurus ijin penelitian, menjajaki dan menilai keadaan di lapangan, pemilihan informan, dan penyiapan perlengkapan penelitian.
Tahap pekerjaan lapangan, yaitu memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan serta melakukan pengumpilan data.
Tahap analisa data dan penyusunan laporan, terdiri dari konsep analisa data, menemukan tema dan menganalisa data yang diperoleh. Sebagai konsep yang berfungsi memberikan informasi maka tahap-tahap penelitian tersebut dapat dipergunakan dengan berbagai modifikasi sehingga menjadi beberapa tahap, yaitu :
Tahap Persipan
Pada tahap ini diawali dengan penyusunan rancangan penelitian, melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing, kemudian peneliti mengajukan surat ijin penelitian di TU FKIP Universitas Muhammadiyah Malang, selanjutnya peneliti mendatangi lokasi penelitian, meminta ijin atau memberikan surat ijin penelitian kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu. Adapun peralatan yang dipersiapkan meliputi alat tulis, daftar pertanyaan wawancara dan tape recorder.
Tahap Pelaksanaan
Setelah melakukan penjajakan dilapangan, pada tahap ini peneliti mulai mengumpulkan informasi atau data yang diperoleh dengan menggunakan beberapa metode. Selama pengumpulan data berlangsung, peneliti sudah dapat melakukan analisa data. Analisis data dilakukan untuk mengkaji fokus penelitian, menyusun temuan-temuan, mengembangkan pertanyaan-pertanyaan, serta menentukan sasaran pengumpulan data berikutnya.
Tahap Penyusunan Laporan
Penulisan laporan penelitian merupakan tahap akhir dari serangkaian langkah-langkah penelitian kualitatif. Pada tahap ini peneliti melakukan pengecekan kembali laporan hasil penelitian, mengecek kembali dari data-data yang terkumpul dengan pihak-pihak yang terkait, selanjutnya peneliti melakukan penyusunan laporan penelitian.














BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Abdullatif. 2007. Pendidikan berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung : Refika Aditama.
A. Malik Fadjar. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
H. Baharuddin dan Moh. Makin. 2007. Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan) Jogjakarta, Depok, Sleman, Maguwoharjo : AR –RUZZ MEDIA GROUP.
Hasbullah. 2007. Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinnya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
H.A.R. Tilaar. 2006. Manajemen Pendidikan Nasional (Kajian Pendidikan Masa Depan). Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi,dan Implementasi) Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nurul Zuriah. 2007. Metodelogi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Teori – Aplikasi). Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Undang – Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bandung : Citra Umbara.
http//www. Damandiri. com/pengertian peran/peranan.pdf.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan, di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk, struktur sejenis desa, masyarakat adat dan sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri dan berkeanekaragaman.
Sejalan dengan perkembangan jaman telah memberikan nuansa baru dalam sistem kenegaraan modern, sehingga kemandirian dan kemampuan masyarakat desa mulai berkurang. Kondisi ini sangat kuat terlihat dalam pemerintahan Orde Baru yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 melakukan sentralisasi, birokratisasi dan penyeragaman pemerintahan desa pada waktu itu, tanpa menghiraukan kemajemukan masyarakat adat pemerintahan asli, Undang-Undang ini melakukan penyeragaman secara nasional, hal ini kemudian tercermin dalam hampir semua kebijakan pemerintah pusat yang terkait dengan desa. (Widjaja; 2003:5)
Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun 1998, telah diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah.
Selanjutnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Bab XI pasal 93-111 tentang penyelenggaraan pemerintah daerah, yang kemudian disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bab XI pasal 200-216 dan PP Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa menekankan pada prinsip-prinsip demokarasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah. Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bentuk pemerintahan desa terdiri atas pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) dimana pemerintahan desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat desa (Sekdes, Kepala urusan, Kepala Dusun), sedangkan Badan Perwakilan Desa sesuai dengan pasal 104 adalah wakil penduduk desa yang dipilih dari dan oleh penduduk desa yang mempunyai fungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, dan mengawasi pemerintah desa.dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.
Dengan demikian mekanisme yang diterapkan telah mengalami perubahan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Bab I, Pasal I, Tentang pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa yang namanya Desa atau yang disebut dengan nama lain yang selanjutnya disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, maka desa dalam penyelenggaraan pemerintahannya mempunyai tanggungjawab penuh mengenai kemajuan desa tersebut, karena desa sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat.
Aparatur pemerintah desa dituntut untuk bias mengakomodir dan menampung aspirasi masyarakat untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat tersebut dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Dalam penyelenggaraan pemerintah desa yang merupakan sub-sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintah daerah maka hal itu tidak bisa lepas dari konsep dasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. (Kaloh DRJ, dalam Heri Sutopo 2005:3)
Adapun konsep tersebut adalah:
Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom.
Keleluasaan daerah untuk mengatur atau mengurus kewenangan semua bidang pemerintahan.
Kewenangan yang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa dan inisiatif, menyangkut peran masyarakat dan legislatif.
Berdasarkan pokok pikiran tersebut, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dicabut dan diganti dengan undang-undang pemerintahan daerah yang baru yang di dalamnya mengandung pokok pikiran diantaranya adalah Kabupaten dan Kota hanya menganut asas Desentralisasi murni sedangkan asas Dekonsentrasi tidak lagi dipergunakan di daerah tersebut.(Widjaja; 2003:6)
Perubahan-perubahan tersebut telah mendapat sambutan positif dan penuh harapan bagi seluruh masyarakat di daerah dalam upaya meningkatkan pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat masyarakat dalam berdemokrasi dan melaksanakan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Setelah pemikiran program atau konsep mengenai mekanisme kerja aparatur pemerintah daerah sampai pada pemerintah desa yang terkemas dalam Undang-Undang pemerintahan daerah disepakati sebagai landasan operasional dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, apakah hal yang demikian sudah diikuti dengan segala kesiapan fisik maupun mental dari aparatur pemerintahnya, sehingga pelaksanaan Otonomi Daerah benar-benar akan terwujud sesuai dengan materi yang ada dalam Undang-Undang pemerintahan daerah serta bagaimana pandangan aparatur desa terhadap diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah.

1.2 Rumusan Masalah
Telah dimaklumi bahwa pendapat antara seseorang dengan lainnya atau pemahaman seseorang terhadap sebuah objek tentu terdapat perbedaan. Perbedaan-perbedaan persepsi inilah yang menghasilkan ide yang dapat merubah sebuah paradigma. Paradigma pemerintahan desa, pada mulanya bersifat sentralistik, kini dengan dilakukannya perubahan-perubahan seperti dikeluarkannya Undang-undang No.5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang No.22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan undang–undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan undang–undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (sebelumnya UU No. 25 tahun 1999) dan peraturan pemerintah (PP) No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah pusan dan kewengan provinsi sebagai daerah otonom.
Berangkat dari uraian singkat tersebut diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu:
Bagaimana persepsi perangkat Desa terhadap otonomi daerah di Desa Tegalgondo Kabupaten Malang?
Upaya apa saja yang dilakukan perangkat Desa dalam menghadapi otonomi daerah?

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, dengan berpijak pada permasalahan yang dihadapi adalah:
Untuk mengetahui bagaimana persepsi perangkat Desa Tegalgondo terhadap otonomi daerah
Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan perangkat desa dalam menghadapi otonomi daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Bagi Peneliti
o Penelitian ini merupakan bahan dasar untuk penyusunan skripsi yang merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Universitas Muhammadiyah Malang khususnya di jurusan Civic Hukum/PPKn
o Merupakan sarana belajar bagi penulis unuk menerapkan ilmu yang diperolah dalam perkuliahan untuk diterapkan dilapangan, sehingga dengan penelitian ini penulis dapat memperoleh pengalaman secara langsung mengenai persepsi aparatur desa terhadap otonomi daerah
Bagi Jurusan
o Sebagai bahan masukan atau sebagai referensi dalam rangka melengkapi perbendaharaan perpustakaan jurusan
o Kegiatan penelitian ini merupakan kepedulian perguruan tinggi dalam memberikan solusi atau jalan keluar dari permasalahan dan wujud dari pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi khususnya darma penelitian.
o Penelitian ini diharapkan dapat membantu mahasiswa Civic Hukum pada khususnya serta mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang pada umumnya yang ingin mengkaji tentang pemerintahan desa, otomi desa, dan persepsi aparatur desa.

3. Bagi Pemerintah
o Kegiatan penelitian ini dan hasil dari penelitian ini nantinnya diharapkan akan dapat memberikan input sebagai bahan masukan untuk menentukan kebijakan lebih lanjut mengenai otonomi daerah.
4. Bagi Desa yang Diteliti/Perangkat Desa
o Dengan adanya penelitian ini diharapkan perangkat desa dapat menjalankan tugasnya dengan baik demi kemajuan desa dan kemakmuran masyarakat desa khususnya desa Tegalgondo Kabupaten Malang
o Dengan adanya penelitian ini perangkat desa diharapkan dapat termotifasi untuk meningkatkan peran dalam melayani masyarakat desa
o Dengan adanya penelitian ini perangkat desa dapat memahami konsep otonomi daerah dan otonomi desa.
Bagi Pembaca pada Umumnya
o Kegiatan penelitian ini dan hasil dari penelitian ini nanti diharapkan akan dapat memberikan gambaran tentang persepsi atau bagaimana pendapat-pendapat aparatur desa terhadap otonomi daerah, sehingga semakin memperkaya khasanah pengetahuan yang dimilikinya serta memberikan manfaat yang berdaya guna bagi siapa saja yang membacanya.

1.5 Penegasan Istilah
Untuk menyamakan persepsi antara pembaca dan penulis istilah-istilah yang mungkin bias menimbulkan makna ganda perlu ditegaskan. Dalam kaitannya dengan judul penelitian/skripsi ini, istilah-istilah yang perlu ditegaskan antara lain sebagai berikut :
1. Persepsi
Persepsi adalah suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera (Drever dalam Sasanti, 2003). Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Sabri (1993) mendefinisikan persepsi sebagai aktivitas yang memungkinkan manusia mengendalikan rangsangan-rangsangan yang sampai kepadanya melalui alat inderanya, menjadikannya kemampuan itulah dimungkinkan individu mengenali milleu (lingkungan pergaulan) hidupnya. Proses persepsi terdiri dari tiga tahap yaitu tahapan pertama terjadi pada pengideraan, tahap kedua diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, tahapan ketiga yaitu stimulasi pada penginderaan diinterprestasikan dan dievaluasi.
Mar’at (1981) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari suatu kognisi secara terus menerus dan dipengaruhi oleh informasi baru dari lingkungannya. Riggio (1990) juga mendefinisikan persepsi sebagai proses kognitif baik lewat penginderaan, pandangan, penciuman dan perasaan yang kemudian ditafsirkan.
Mar'at (Aryanti, 1995) mengemukakan bahwa persepsi di pengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuan terhadap objek psikologis. Rahmat (dalam Aryanti, 1995) mengemukakan bahwa persepsi juga ditentukan juga oleh faktor fungsional dan struktural. Beberapa faktor fungsional atau faktor yang bersifat personal antara kebutuhan individu, pengalaman, usia, masa lalu, kepribadian, jenis kelamin, dan lain-lain yang bersifat subyektif. Faktor struktural atau faktor dari luar individu antara lain: lingkungan keluarga, hukum-hukum yang berlaku, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri dari faktor personal dan struktural. Faktor-faktor personal antara lain pengalaman, proses belajar, kebutuhan, motif dan pengetahuan terhadap obyek psikologis. Faktor-faktor struktural meliputi lingkungan keadaan sosial, hukum yang berlaku, nilai-nilai dalam masyarakat.
Berdasarkan pendapat diatas peneliti dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut; (1) persepsi adalah proses identifikasi suatu permasalahan dengan menggunakan panca indera kemudian disampaikan berdasarkan apa yang diperoleh dari panca indera tersebut; (2) persepsi adalah ide atau gagasan yang disampaikan seseorang berdasarkan apa yang diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman terhadap salah satu objek.
2. Desa
Menurut Undan-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dimaksud dengan Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pemerintahan Desa
Menurut penjelasan Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang dimaksud dengan Pemerintahan Desa adalah kegiatan dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintahan yang terendah langsung dibawa Camat.
4. Aparatur Desa
Disebutkan dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (pasal 3 ayat 1). Pemerintah Desa dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat Desa (pasal 3 ayat 2). Perangkat Desa terdiri atas: secretariat Desa dan Kepala-kepala Dusun. Jadi yang dimaksud dengan aparatur Desa adalah perangkat Desa yang terdiri atas Kepala Desa, Lembaga Musyawarah Desa, Sekretariat Desa, Kepala Dusun, dan Kepala-kepala urusan.
5. Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Undang-undang No.32 tahun 2004 Bab I/ketentuan Umum Pasal I ayat 5). Jadi dengan diundangkannya undang-undang ini maka segala urusan pemerintahan di daerah diserahkan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kecuali hal-hal yang telah ditentukan oleh Undang-undang yang tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
6. Desa Tegalgondo.
Adalah salah satu Desa dari sembilan Desa di Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang. Desa ini mempunyai luas 1.7319 Km2 dengan jumlah penduduk 3232 dengan rincian laki-laki sebanyak 1,613 jiwa dan perempuan 1,619 jiwa dengan kapadatan penduduk 1866 jiwa/Km2 persegi. (Pemerintah Kabupaten Malang Kecamatan Karangploso tahun 2003)