Selasa, 06 Juli 2010

UN Murni politis

Akhirnya, Ujian Nasional (UN) tetap terlaksana juga setelah melalui perdebatan yang cukup alot yang mengundang banyak perhatian masrakat, mulai dari yang berpendidikan tinggi, rendah, pengusaha, pedagang kecil, bahkan yang tidak sekolah dan tidak mengerti pendidikan sekalipun. UN memang tidak hanya diketahui oleh orang yang berpendidikan dan ahli di bidangnya, masyarakat kecil kalau ditanya pasti akan mengetahui meski hanya sebatas tahu. Hal ini mereka bisa ketahui melalui tayangan televisi, cerita rakyat, mengetahui banyak anak-anak yang depresi, frustasi, bunuh diri, bahkan bisa di dengar sampai ke pelosok daerah. Ini realitas atas implementasi UN yang syarat akan kekuatan politis.
Ketika ujian nasional sudah menjadi bagian dari kepentingan politik tertentu, maka tujuannya menjadi mengambang. Bahkan tujuan akan terasa semakin kabur ketika intervensi penguasa kelewat dominan. UN juga tidak lagi upaya yang baik untuk mengetahui, mengukur, pemetaan mutu, melainkan UN menjelma menjadi agen kepentingan politik penguasa dan momok bak sosok “hantu” bagi peserta didik.
Bilamana sebuah agenda besar seperti ini (UN) menjadi alat bagi para penguasa, yag terjadi bukannya proses pembangunan mentalitas manusia-manusia Indonesia, justru malah suatu proses pembunuhan terhadap karakter bangsa pada umumnya, siswa khususnya. UN kemudian menjadi satu-satunya alat yang mumpuni untuk menindas melalui kepentingan politik tertentu.

Kritikan
Lantas bagaimana kita menyikapinya? Lewat tulisan ini, penulis tetap menggap relevan, atau bahkan menjadi wajib mengagendakan kritik atas kebijakan pendidikan (UN). Segudang kritik bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam sistem pendidikan kita. Sebab, ketika UN menjadi representasi dari kepentingan penguasa, nilai-nilai keadilan sering kali menjadi kabur.
Kebijakan UN mengarah kepada bentuk eksploitasi terhadap peserta didik, penderitaan yang diakibatkan justeru tidak mengenal ampun, yang paling merasakannya adalah siswa. Mereka menanggung beban berat akibat dari kebijakan timpang yang sangat bertolak belakang dengan demokrasi, desentralisasi yang sedang kita upayakan di negeri ini.
Tanpa adanya kritik untuk meluruskan atau mengingatkan para penguasa yang memegang otoritas kekuasaan, selamanya Ujian Nasional akan menjadi “kambing hitam”. UN akan selalu menjadi bula-bulanan para penguasa untuk menjejalkan kepentingan politik mereka. Fungsi UN menjadi tumpul, UN tidak lagi berfungsi sebagaimana harapan kita melainkan sebagai praktek penindasan yang tertata secara sistematis (strukturan), oleh karena itu agenda kritik menjadi penting.
Kebijakan pendidikan sering kali mengabaikan kepentingan rakyat, orientasi pendidikan telah banyak diselewengkan oleh para penguasa dan berakibat vatal bagi pembangunan bangsa

Padahal bangsa yang kuat adalah bangsa yang ditempati oleh SDM yang baik dan berkualitas. Sebenarnya fenomena penindasan yang hampir kasat mata ini sudah mulai sejak rezim Orde Baru (orba). Namun, karena selama 23 tahun kebebasan berekspresi telah dikekang oleh rezim otoriter Orba, seolah-olah pada waktu itu tidak terjadi apa-apa pada proses pendidikan kita. OK jangan terlalu jauh, mari kita cermati UN. Apakah jelmaan dari rezim orba ataukah memang upaya penindasan baru yang sengaja dibuat? Coba dicermati...! tentunya berdampak positif dan negatif terhadap perkembangan pendidikan kita.
Jika dikalkulasikan lebih jauh lagi pelaksanaan UN memunculkan beberapa problematika yang serius, dalam waktu 3 hari saja. Apakah UN dapat dijadikan alat yang berfungsi untuk mengukur ketercapaian kompetensi siswa sesuai dengan Standar Kelulusan (SKL).
Lalu bagaimana dengan biaya penyelenggaraan UN. Pemerintah menggelontorkan Rp524 miliar untuk Ujian Nasional (UN) tahun ini. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Mansyur Ramli mengatakan, uang tersebut termasuk untuk biaya pengawas, pemeriksa, dan dana program ujian ulangan, susulan dan paket. Anggaran ini meningkat dibanding 2009 lalu yang hanya Rp483 miliar untuk peserta ujian sebanyak 10.297.816 orang. Rincian anggaran UN untuk SMP/Mts dan SMA/MA/SMK sebanyak Rp281 Milyar. Lalu tingkat SD/MI Rp85 miliar. "Rata-rata per siswa mendapatkan bantuan anggaran penyelenggaraan UN sebesar Rp49.000," jelasnya di Jakarta, Rabu (13/1). Harian global.
Jika dibandingkan, bantuan per siswa tahun lalu mencapai Rp56.000, Mansyur menjelaskan, tahun 2010 ini mengalami penurunan karena adanya efisiensi anggaran. Dirinya mengungkapkan peserta UN tahun ini untuk tingkat SMP mencapai 2.658.216 siswa, MTS 727.602 siswa, SMA 1.244.547 siswa, MA 278.740 siswa serta SMK 707.344 siswa. Sedangkan SD pesertanya mencapai 3.860232 dan MI sebanyak 396.668. Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal menambahkan, anggaran UN 2010 memang sudah disetujui oleh Komisi X DPR RI. Dana yang cukup besar dan tentu ini pemborosan bagi suatu negara yang sedang terlilit hutang begitu besar.

Ujian Ulangan/Susulan
UN merupakan istilah bagi penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kita sepakat bahwa politik merambah disemua bidang kajian ilmu. Pendidikan tentunya tidak terlepas dari politik. Politik pendidikan dimaknai sebagai sebuah endapan politik negara, penjabaran dari tradisi bangsa dan nilai-nilai, serta sistem konsepsi rakyat mengenai bentuk negara dalam sistem pendidikan (Kartini Kartono 1997:28). Yang pasti politik pendidikan bertujuan untuk memperjelas arah kemajuan pendidikan demi pembangunan bangsa yang lebih baik ke depan. Sungguh tujuan yang mulia. Tetapi kalau politik dijalankan untuk kepentingan sepihak maka nilai kemualiannya akan hangus atau bahkan tidak ternilai.
Begitu juga dengan kebijakan UN yang syarat akan kepentingan politis, betapa tidak ketika diajang perhelatan pesta demokrasi lima tahunan semua perhatian, visi, misi akan tertuju pada kebijakan yang kontroversial misalkan UN. UN merupakan agenda politis sebagai ajang kampanye.
Prof. Mungin Eddy Wibowo yang juga anggota BSNP mengatakan, Ujian Nasional (UN) ulangan 2010 akan diadakan serentak dalam waktu yang tidak lama setelah pelaksanaan UN utama. "UN ulangan diperuntukkan bagi para peserta yang dinyatakan tidak lulus dalam UN utama dan diadakan tidak lama setelah UN utama untuk memberikan kesempatan bagi siswa agar segera dapat mengulang,". (Antara/FINROLL News)
Menurut dia, UN ulangan berbeda dengan UN susulan, sebab UN ulangan diperuntukkan bagi siswa yang sudah dinyatakan tidak lulus UN utama, sedangkan UN susulan diperuntukkan bagi siswa yang tidak dapat mengikuti UN utama karena alasan tertentu. Ia mengatakan, dalam penyelenggaraan UN tahun-tahun sebelumnya, siswa yang tidak lulus UN harus menunggu satu tahun untuk mengikuti UN tahun berikutnya, namun dengan adanya percepatan UN ulangan peserta tidak perlu lagi menunggu satu tahun. Pelaksanaan UN ulangan ini juga untuk menghindari adanya tindak kecurangan yang dilakukan pihak sekolah atau murid peserta UN yang menganggap penyelenggaraan UN utama sebagai penentuan, sehingga mereka akhirnya ketakutan sendiri.
Mendiknas menyampaikan, (dikutip dari ujiannasional.org) dari total peserta UN SMA/MA 2010 sebanyak 1.522.162 siswa terdapat 154.079 (10,12%) siswa yang mengulang. Sementara jumlah siswa yang tidak mengulang 1.368.083 (89,88%) siswa. Mendiknas menyampaikan, berikut berturut-turut jumlah siswa yang mengulang mulai dari satu sampai dengan enam mata pelajaran, yakni sebanyak 99.433 siswa (64,5%), 25.277 (16,4%), 10.034 (6,5%), 4.878 (3,2%), 2.548 (1,7%), dan 930 (0,6%). Selain itu, kata Mendiknas, terdapat 10.979 (7,1%) siswa yang mengulang karena rerata nilainya di bawah 5,5.
Mendiknas menyebutkan, jumlah siswa yang mengulang untuk tingkat provinsi diantaranya Provinsi Jakarta dari 59.697 peserta mengulang sebanyak 5.426 atau 9,09 persen dan Provinsi Jawa Barat (2,83%). Mendiknas memberikan catatan khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). “Tahun lalu cukup bagus sekitar 93 persen (tidak mengulang), tetapi sekarang yang mengulang 23,70 persen dan 77 persen tidak mengulang. Ini daerah Jawa yang paling besar yang mengulang dari sisi persentase,” katanya.
Beberapa provinsi lain yang persentase mengulangnya besar, papar Mendiknas, yakni Kalimantan Tengah (39,29%), Kalimantan Timur (30,53%), Sulawesi Tenggara (35,89%), NTT (52,08%), Maluku Utara (41,16%), dan Gorontalo (46,22%).
Mendiknas mengatakan, berdasarkan analisis internal yang dilakukan, salah satu faktor penyebab turunnya ‘kelulusan’ adalah karena pengawasan yang lebih ketat. “Tetapi jangan diterjemahkan kalau dulu tidak diawasi. Pengawasan sekarang memang lebih ketat,” katanya.

Pemerintah Berdalih
PP No. 19/2005 (pasal 72) empat komponen yang menentukan kelulusan siswa: a. telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir seluruh mata pelajaran agama, kewarganegaraan, olah raga dan kesehsatan; c. lulus ujian sekolah; d. lulus ujian nasional.
Sistem penilaian hasil belajar siswa di Indonesia sering kali mengalami perubahan, hal ini wajar untuk menyesuaikan dengan perkembangan pendidikan kita. Perubahan sebanyak 4 kali:
a. Ujian Negara yang berlangsung 1945-1966. Pada sistem ini seluruh penyelenggaraan penilaian dikontrol oleh negara, sekolah hanya penyelenggara proses belajar mengajar saja.
b. Ujian Sekolah 1970-1982. Pada sistem ini, pemerintah memberi kewenagan penuh pada sekolah sebagai pusat pengendali mutu lulusan. Angka kelulusan naik hampir 100%.
c. Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) 1983-2002. Konsep ini cukup ideal karena memadukan pola ujian negara dan ujian sekolah. Nilai akhir diberikan berdasarkan nilai Nem, ujian sekolah, juga gabungan dari nilai cawu I,II. Konsep yang ideal dan cukup lama (20 tahun) diaplikasikan ini menimbulkan beberapa persepsi yang berbeda terutama sekolah banyak melakukan manipulasi nilai-nilai siswa.
d. Ujian Akhir Nasional. Konsep ini serupa dengan Ebtanas yakni sama-sama meramu nilai ujian sekolah dengan ujian nasional. Bedanya UN menjadi syarat satu-satunya kelulusan tanpa menggabungkan nilai cawu/semester.

Coba melirik kebelakang, kita cermati lagi sistem penilaian kita mulai dari pelaksanaan Ujian Negara hingga Ebtanas apakah seheboh pelaksanaan Ujian Nasional? Saya kira tidak! Lalu kenapa UN menjadi heboh? Apakah ini pertanda partisipasi masyarakat yang semakin meningkat? Bisa jadi, karena selama periode orba tidak ada partisipasi yang berarti dari masyarakat.
Apapun yang menjadi ketetapannya, pemerintah berdalih ini adalah upaya, cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Pemerintah juga memiliki kekuatan hukum yang memaksa, sehingga kita tidak bisa menghindar sedikitpun melainkan harus memaksakan diri untuk menerjangnya. Sifat pemerintahah yang memaksa inilah yang menjadi kendala terhadap kekuatan masyarakat.

Rekomendasi
Unas jelas berlawanan dengan otonomi pendidikan. Dan dampaknya akan memberangus nilai-nilai khas kultural di masing-masing daerah. Penulis menawarkan agar kebijakan kemendiknas tentang UN itu segera dikaji kembali. Lebih tegas lagi, penulis lebih sepakat kebijakan UN itu dicabut. Masalah penentuan kualitas yang menjadi standar pendidikan sebaiknya diserahkan kepada masing-masing daerah, atau lebih spesifk lagi diserahkan kepada masing-masing lembaga pendidikan yang ada. Sebab untuk menentukan standar kelulusan itu, masing-masing lembaga pendidikan lebih tahu akan kemampuan dan potensi para siswa yang dimilikinya.