Selasa, 16 Juni 2009

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan, di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk, struktur sejenis desa, masyarakat adat dan sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri dan berkeanekaragaman.
Sejalan dengan perkembangan jaman telah memberikan nuansa baru dalam sistem kenegaraan modern, sehingga kemandirian dan kemampuan masyarakat desa mulai berkurang. Kondisi ini sangat kuat terlihat dalam pemerintahan Orde Baru yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 melakukan sentralisasi, birokratisasi dan penyeragaman pemerintahan desa pada waktu itu, tanpa menghiraukan kemajemukan masyarakat adat pemerintahan asli, Undang-Undang ini melakukan penyeragaman secara nasional, hal ini kemudian tercermin dalam hampir semua kebijakan pemerintah pusat yang terkait dengan desa. (Widjaja; 2003:5)
Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun 1998, telah diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah.
Selanjutnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Bab XI pasal 93-111 tentang penyelenggaraan pemerintah daerah, yang kemudian disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bab XI pasal 200-216 dan PP Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa menekankan pada prinsip-prinsip demokarasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah. Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bentuk pemerintahan desa terdiri atas pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) dimana pemerintahan desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat desa (Sekdes, Kepala urusan, Kepala Dusun), sedangkan Badan Perwakilan Desa sesuai dengan pasal 104 adalah wakil penduduk desa yang dipilih dari dan oleh penduduk desa yang mempunyai fungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, dan mengawasi pemerintah desa.dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.
Dengan demikian mekanisme yang diterapkan telah mengalami perubahan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Bab I, Pasal I, Tentang pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa yang namanya Desa atau yang disebut dengan nama lain yang selanjutnya disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, maka desa dalam penyelenggaraan pemerintahannya mempunyai tanggungjawab penuh mengenai kemajuan desa tersebut, karena desa sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat.
Aparatur pemerintah desa dituntut untuk bias mengakomodir dan menampung aspirasi masyarakat untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat tersebut dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Dalam penyelenggaraan pemerintah desa yang merupakan sub-sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintah daerah maka hal itu tidak bisa lepas dari konsep dasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. (Kaloh DRJ, dalam Heri Sutopo 2005:3)
Adapun konsep tersebut adalah:
Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom.
Keleluasaan daerah untuk mengatur atau mengurus kewenangan semua bidang pemerintahan.
Kewenangan yang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa dan inisiatif, menyangkut peran masyarakat dan legislatif.
Berdasarkan pokok pikiran tersebut, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dicabut dan diganti dengan undang-undang pemerintahan daerah yang baru yang di dalamnya mengandung pokok pikiran diantaranya adalah Kabupaten dan Kota hanya menganut asas Desentralisasi murni sedangkan asas Dekonsentrasi tidak lagi dipergunakan di daerah tersebut.(Widjaja; 2003:6)
Perubahan-perubahan tersebut telah mendapat sambutan positif dan penuh harapan bagi seluruh masyarakat di daerah dalam upaya meningkatkan pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat masyarakat dalam berdemokrasi dan melaksanakan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Setelah pemikiran program atau konsep mengenai mekanisme kerja aparatur pemerintah daerah sampai pada pemerintah desa yang terkemas dalam Undang-Undang pemerintahan daerah disepakati sebagai landasan operasional dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, apakah hal yang demikian sudah diikuti dengan segala kesiapan fisik maupun mental dari aparatur pemerintahnya, sehingga pelaksanaan Otonomi Daerah benar-benar akan terwujud sesuai dengan materi yang ada dalam Undang-Undang pemerintahan daerah serta bagaimana pandangan aparatur desa terhadap diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah.

1.2 Rumusan Masalah
Telah dimaklumi bahwa pendapat antara seseorang dengan lainnya atau pemahaman seseorang terhadap sebuah objek tentu terdapat perbedaan. Perbedaan-perbedaan persepsi inilah yang menghasilkan ide yang dapat merubah sebuah paradigma. Paradigma pemerintahan desa, pada mulanya bersifat sentralistik, kini dengan dilakukannya perubahan-perubahan seperti dikeluarkannya Undang-undang No.5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang No.22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan undang–undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan undang–undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (sebelumnya UU No. 25 tahun 1999) dan peraturan pemerintah (PP) No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah pusan dan kewengan provinsi sebagai daerah otonom.
Berangkat dari uraian singkat tersebut diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu:
Bagaimana persepsi perangkat Desa terhadap otonomi daerah di Desa Tegalgondo Kabupaten Malang?
Upaya apa saja yang dilakukan perangkat Desa dalam menghadapi otonomi daerah?

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, dengan berpijak pada permasalahan yang dihadapi adalah:
Untuk mengetahui bagaimana persepsi perangkat Desa Tegalgondo terhadap otonomi daerah
Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan perangkat desa dalam menghadapi otonomi daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Bagi Peneliti
o Penelitian ini merupakan bahan dasar untuk penyusunan skripsi yang merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Universitas Muhammadiyah Malang khususnya di jurusan Civic Hukum/PPKn
o Merupakan sarana belajar bagi penulis unuk menerapkan ilmu yang diperolah dalam perkuliahan untuk diterapkan dilapangan, sehingga dengan penelitian ini penulis dapat memperoleh pengalaman secara langsung mengenai persepsi aparatur desa terhadap otonomi daerah
Bagi Jurusan
o Sebagai bahan masukan atau sebagai referensi dalam rangka melengkapi perbendaharaan perpustakaan jurusan
o Kegiatan penelitian ini merupakan kepedulian perguruan tinggi dalam memberikan solusi atau jalan keluar dari permasalahan dan wujud dari pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi khususnya darma penelitian.
o Penelitian ini diharapkan dapat membantu mahasiswa Civic Hukum pada khususnya serta mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang pada umumnya yang ingin mengkaji tentang pemerintahan desa, otomi desa, dan persepsi aparatur desa.

3. Bagi Pemerintah
o Kegiatan penelitian ini dan hasil dari penelitian ini nantinnya diharapkan akan dapat memberikan input sebagai bahan masukan untuk menentukan kebijakan lebih lanjut mengenai otonomi daerah.
4. Bagi Desa yang Diteliti/Perangkat Desa
o Dengan adanya penelitian ini diharapkan perangkat desa dapat menjalankan tugasnya dengan baik demi kemajuan desa dan kemakmuran masyarakat desa khususnya desa Tegalgondo Kabupaten Malang
o Dengan adanya penelitian ini perangkat desa diharapkan dapat termotifasi untuk meningkatkan peran dalam melayani masyarakat desa
o Dengan adanya penelitian ini perangkat desa dapat memahami konsep otonomi daerah dan otonomi desa.
Bagi Pembaca pada Umumnya
o Kegiatan penelitian ini dan hasil dari penelitian ini nanti diharapkan akan dapat memberikan gambaran tentang persepsi atau bagaimana pendapat-pendapat aparatur desa terhadap otonomi daerah, sehingga semakin memperkaya khasanah pengetahuan yang dimilikinya serta memberikan manfaat yang berdaya guna bagi siapa saja yang membacanya.

1.5 Penegasan Istilah
Untuk menyamakan persepsi antara pembaca dan penulis istilah-istilah yang mungkin bias menimbulkan makna ganda perlu ditegaskan. Dalam kaitannya dengan judul penelitian/skripsi ini, istilah-istilah yang perlu ditegaskan antara lain sebagai berikut :
1. Persepsi
Persepsi adalah suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera (Drever dalam Sasanti, 2003). Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Sabri (1993) mendefinisikan persepsi sebagai aktivitas yang memungkinkan manusia mengendalikan rangsangan-rangsangan yang sampai kepadanya melalui alat inderanya, menjadikannya kemampuan itulah dimungkinkan individu mengenali milleu (lingkungan pergaulan) hidupnya. Proses persepsi terdiri dari tiga tahap yaitu tahapan pertama terjadi pada pengideraan, tahap kedua diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, tahapan ketiga yaitu stimulasi pada penginderaan diinterprestasikan dan dievaluasi.
Mar’at (1981) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari suatu kognisi secara terus menerus dan dipengaruhi oleh informasi baru dari lingkungannya. Riggio (1990) juga mendefinisikan persepsi sebagai proses kognitif baik lewat penginderaan, pandangan, penciuman dan perasaan yang kemudian ditafsirkan.
Mar'at (Aryanti, 1995) mengemukakan bahwa persepsi di pengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuan terhadap objek psikologis. Rahmat (dalam Aryanti, 1995) mengemukakan bahwa persepsi juga ditentukan juga oleh faktor fungsional dan struktural. Beberapa faktor fungsional atau faktor yang bersifat personal antara kebutuhan individu, pengalaman, usia, masa lalu, kepribadian, jenis kelamin, dan lain-lain yang bersifat subyektif. Faktor struktural atau faktor dari luar individu antara lain: lingkungan keluarga, hukum-hukum yang berlaku, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri dari faktor personal dan struktural. Faktor-faktor personal antara lain pengalaman, proses belajar, kebutuhan, motif dan pengetahuan terhadap obyek psikologis. Faktor-faktor struktural meliputi lingkungan keadaan sosial, hukum yang berlaku, nilai-nilai dalam masyarakat.
Berdasarkan pendapat diatas peneliti dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut; (1) persepsi adalah proses identifikasi suatu permasalahan dengan menggunakan panca indera kemudian disampaikan berdasarkan apa yang diperoleh dari panca indera tersebut; (2) persepsi adalah ide atau gagasan yang disampaikan seseorang berdasarkan apa yang diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman terhadap salah satu objek.
2. Desa
Menurut Undan-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dimaksud dengan Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pemerintahan Desa
Menurut penjelasan Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang dimaksud dengan Pemerintahan Desa adalah kegiatan dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintahan yang terendah langsung dibawa Camat.
4. Aparatur Desa
Disebutkan dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (pasal 3 ayat 1). Pemerintah Desa dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat Desa (pasal 3 ayat 2). Perangkat Desa terdiri atas: secretariat Desa dan Kepala-kepala Dusun. Jadi yang dimaksud dengan aparatur Desa adalah perangkat Desa yang terdiri atas Kepala Desa, Lembaga Musyawarah Desa, Sekretariat Desa, Kepala Dusun, dan Kepala-kepala urusan.
5. Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Undang-undang No.32 tahun 2004 Bab I/ketentuan Umum Pasal I ayat 5). Jadi dengan diundangkannya undang-undang ini maka segala urusan pemerintahan di daerah diserahkan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kecuali hal-hal yang telah ditentukan oleh Undang-undang yang tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
6. Desa Tegalgondo.
Adalah salah satu Desa dari sembilan Desa di Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang. Desa ini mempunyai luas 1.7319 Km2 dengan jumlah penduduk 3232 dengan rincian laki-laki sebanyak 1,613 jiwa dan perempuan 1,619 jiwa dengan kapadatan penduduk 1866 jiwa/Km2 persegi. (Pemerintah Kabupaten Malang Kecamatan Karangploso tahun 2003)

Tidak ada komentar: