Kamis, 30 September 2010

pengertian sosiplogi pendidikan

Pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sosiologi umum dan sosiologi khusus. Sosiologi umum menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum. Sedangkan Sosiologi khusus, yaitu pengkhususan dari sosiologi umum, yaitu menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio kultural secara mendalam. Misalnya: sosiologi masayarakat desa, sosiologi masyarakat kota, sosiologi agama, sosiolog hukum, sosiologi pendidikan dan sebagainya.Jadi sosiologi pendidikan merupakan salah satu sosiologi khusus.

Beberapa defenisi sosiologi pendidikan menurut beberapa ahli:

1.

Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengantata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan kultural, proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan.
2.

Menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology” dikatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolong applied sociology.
3.

Menurut Prof. DR S. Nasution,M.A., Sosiologi Pendidikana dalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
4.

Menurut F.G Robbins dan Brown, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.
5.

Menurut E.G Payne, Sosiologi Pendidikan ialah studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu sosiologi yang diterapkan.
6.

Menurut Drs. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.

Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.



DAFTAR PUSTAKA

H. Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Hartoto. 2008. Defenisi Sosiologi Pendidikan. Online (http://www.fatamorghana. wordpress.com, diakses 20 Maret 2008).

Download Definisi Sosiologi Pendidikan

Selasa, 06 Juli 2010

UN Murni politis

Akhirnya, Ujian Nasional (UN) tetap terlaksana juga setelah melalui perdebatan yang cukup alot yang mengundang banyak perhatian masrakat, mulai dari yang berpendidikan tinggi, rendah, pengusaha, pedagang kecil, bahkan yang tidak sekolah dan tidak mengerti pendidikan sekalipun. UN memang tidak hanya diketahui oleh orang yang berpendidikan dan ahli di bidangnya, masyarakat kecil kalau ditanya pasti akan mengetahui meski hanya sebatas tahu. Hal ini mereka bisa ketahui melalui tayangan televisi, cerita rakyat, mengetahui banyak anak-anak yang depresi, frustasi, bunuh diri, bahkan bisa di dengar sampai ke pelosok daerah. Ini realitas atas implementasi UN yang syarat akan kekuatan politis.
Ketika ujian nasional sudah menjadi bagian dari kepentingan politik tertentu, maka tujuannya menjadi mengambang. Bahkan tujuan akan terasa semakin kabur ketika intervensi penguasa kelewat dominan. UN juga tidak lagi upaya yang baik untuk mengetahui, mengukur, pemetaan mutu, melainkan UN menjelma menjadi agen kepentingan politik penguasa dan momok bak sosok “hantu” bagi peserta didik.
Bilamana sebuah agenda besar seperti ini (UN) menjadi alat bagi para penguasa, yag terjadi bukannya proses pembangunan mentalitas manusia-manusia Indonesia, justru malah suatu proses pembunuhan terhadap karakter bangsa pada umumnya, siswa khususnya. UN kemudian menjadi satu-satunya alat yang mumpuni untuk menindas melalui kepentingan politik tertentu.

Kritikan
Lantas bagaimana kita menyikapinya? Lewat tulisan ini, penulis tetap menggap relevan, atau bahkan menjadi wajib mengagendakan kritik atas kebijakan pendidikan (UN). Segudang kritik bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam sistem pendidikan kita. Sebab, ketika UN menjadi representasi dari kepentingan penguasa, nilai-nilai keadilan sering kali menjadi kabur.
Kebijakan UN mengarah kepada bentuk eksploitasi terhadap peserta didik, penderitaan yang diakibatkan justeru tidak mengenal ampun, yang paling merasakannya adalah siswa. Mereka menanggung beban berat akibat dari kebijakan timpang yang sangat bertolak belakang dengan demokrasi, desentralisasi yang sedang kita upayakan di negeri ini.
Tanpa adanya kritik untuk meluruskan atau mengingatkan para penguasa yang memegang otoritas kekuasaan, selamanya Ujian Nasional akan menjadi “kambing hitam”. UN akan selalu menjadi bula-bulanan para penguasa untuk menjejalkan kepentingan politik mereka. Fungsi UN menjadi tumpul, UN tidak lagi berfungsi sebagaimana harapan kita melainkan sebagai praktek penindasan yang tertata secara sistematis (strukturan), oleh karena itu agenda kritik menjadi penting.
Kebijakan pendidikan sering kali mengabaikan kepentingan rakyat, orientasi pendidikan telah banyak diselewengkan oleh para penguasa dan berakibat vatal bagi pembangunan bangsa

Padahal bangsa yang kuat adalah bangsa yang ditempati oleh SDM yang baik dan berkualitas. Sebenarnya fenomena penindasan yang hampir kasat mata ini sudah mulai sejak rezim Orde Baru (orba). Namun, karena selama 23 tahun kebebasan berekspresi telah dikekang oleh rezim otoriter Orba, seolah-olah pada waktu itu tidak terjadi apa-apa pada proses pendidikan kita. OK jangan terlalu jauh, mari kita cermati UN. Apakah jelmaan dari rezim orba ataukah memang upaya penindasan baru yang sengaja dibuat? Coba dicermati...! tentunya berdampak positif dan negatif terhadap perkembangan pendidikan kita.
Jika dikalkulasikan lebih jauh lagi pelaksanaan UN memunculkan beberapa problematika yang serius, dalam waktu 3 hari saja. Apakah UN dapat dijadikan alat yang berfungsi untuk mengukur ketercapaian kompetensi siswa sesuai dengan Standar Kelulusan (SKL).
Lalu bagaimana dengan biaya penyelenggaraan UN. Pemerintah menggelontorkan Rp524 miliar untuk Ujian Nasional (UN) tahun ini. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Mansyur Ramli mengatakan, uang tersebut termasuk untuk biaya pengawas, pemeriksa, dan dana program ujian ulangan, susulan dan paket. Anggaran ini meningkat dibanding 2009 lalu yang hanya Rp483 miliar untuk peserta ujian sebanyak 10.297.816 orang. Rincian anggaran UN untuk SMP/Mts dan SMA/MA/SMK sebanyak Rp281 Milyar. Lalu tingkat SD/MI Rp85 miliar. "Rata-rata per siswa mendapatkan bantuan anggaran penyelenggaraan UN sebesar Rp49.000," jelasnya di Jakarta, Rabu (13/1). Harian global.
Jika dibandingkan, bantuan per siswa tahun lalu mencapai Rp56.000, Mansyur menjelaskan, tahun 2010 ini mengalami penurunan karena adanya efisiensi anggaran. Dirinya mengungkapkan peserta UN tahun ini untuk tingkat SMP mencapai 2.658.216 siswa, MTS 727.602 siswa, SMA 1.244.547 siswa, MA 278.740 siswa serta SMK 707.344 siswa. Sedangkan SD pesertanya mencapai 3.860232 dan MI sebanyak 396.668. Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal menambahkan, anggaran UN 2010 memang sudah disetujui oleh Komisi X DPR RI. Dana yang cukup besar dan tentu ini pemborosan bagi suatu negara yang sedang terlilit hutang begitu besar.

Ujian Ulangan/Susulan
UN merupakan istilah bagi penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kita sepakat bahwa politik merambah disemua bidang kajian ilmu. Pendidikan tentunya tidak terlepas dari politik. Politik pendidikan dimaknai sebagai sebuah endapan politik negara, penjabaran dari tradisi bangsa dan nilai-nilai, serta sistem konsepsi rakyat mengenai bentuk negara dalam sistem pendidikan (Kartini Kartono 1997:28). Yang pasti politik pendidikan bertujuan untuk memperjelas arah kemajuan pendidikan demi pembangunan bangsa yang lebih baik ke depan. Sungguh tujuan yang mulia. Tetapi kalau politik dijalankan untuk kepentingan sepihak maka nilai kemualiannya akan hangus atau bahkan tidak ternilai.
Begitu juga dengan kebijakan UN yang syarat akan kepentingan politis, betapa tidak ketika diajang perhelatan pesta demokrasi lima tahunan semua perhatian, visi, misi akan tertuju pada kebijakan yang kontroversial misalkan UN. UN merupakan agenda politis sebagai ajang kampanye.
Prof. Mungin Eddy Wibowo yang juga anggota BSNP mengatakan, Ujian Nasional (UN) ulangan 2010 akan diadakan serentak dalam waktu yang tidak lama setelah pelaksanaan UN utama. "UN ulangan diperuntukkan bagi para peserta yang dinyatakan tidak lulus dalam UN utama dan diadakan tidak lama setelah UN utama untuk memberikan kesempatan bagi siswa agar segera dapat mengulang,". (Antara/FINROLL News)
Menurut dia, UN ulangan berbeda dengan UN susulan, sebab UN ulangan diperuntukkan bagi siswa yang sudah dinyatakan tidak lulus UN utama, sedangkan UN susulan diperuntukkan bagi siswa yang tidak dapat mengikuti UN utama karena alasan tertentu. Ia mengatakan, dalam penyelenggaraan UN tahun-tahun sebelumnya, siswa yang tidak lulus UN harus menunggu satu tahun untuk mengikuti UN tahun berikutnya, namun dengan adanya percepatan UN ulangan peserta tidak perlu lagi menunggu satu tahun. Pelaksanaan UN ulangan ini juga untuk menghindari adanya tindak kecurangan yang dilakukan pihak sekolah atau murid peserta UN yang menganggap penyelenggaraan UN utama sebagai penentuan, sehingga mereka akhirnya ketakutan sendiri.
Mendiknas menyampaikan, (dikutip dari ujiannasional.org) dari total peserta UN SMA/MA 2010 sebanyak 1.522.162 siswa terdapat 154.079 (10,12%) siswa yang mengulang. Sementara jumlah siswa yang tidak mengulang 1.368.083 (89,88%) siswa. Mendiknas menyampaikan, berikut berturut-turut jumlah siswa yang mengulang mulai dari satu sampai dengan enam mata pelajaran, yakni sebanyak 99.433 siswa (64,5%), 25.277 (16,4%), 10.034 (6,5%), 4.878 (3,2%), 2.548 (1,7%), dan 930 (0,6%). Selain itu, kata Mendiknas, terdapat 10.979 (7,1%) siswa yang mengulang karena rerata nilainya di bawah 5,5.
Mendiknas menyebutkan, jumlah siswa yang mengulang untuk tingkat provinsi diantaranya Provinsi Jakarta dari 59.697 peserta mengulang sebanyak 5.426 atau 9,09 persen dan Provinsi Jawa Barat (2,83%). Mendiknas memberikan catatan khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). “Tahun lalu cukup bagus sekitar 93 persen (tidak mengulang), tetapi sekarang yang mengulang 23,70 persen dan 77 persen tidak mengulang. Ini daerah Jawa yang paling besar yang mengulang dari sisi persentase,” katanya.
Beberapa provinsi lain yang persentase mengulangnya besar, papar Mendiknas, yakni Kalimantan Tengah (39,29%), Kalimantan Timur (30,53%), Sulawesi Tenggara (35,89%), NTT (52,08%), Maluku Utara (41,16%), dan Gorontalo (46,22%).
Mendiknas mengatakan, berdasarkan analisis internal yang dilakukan, salah satu faktor penyebab turunnya ‘kelulusan’ adalah karena pengawasan yang lebih ketat. “Tetapi jangan diterjemahkan kalau dulu tidak diawasi. Pengawasan sekarang memang lebih ketat,” katanya.

Pemerintah Berdalih
PP No. 19/2005 (pasal 72) empat komponen yang menentukan kelulusan siswa: a. telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir seluruh mata pelajaran agama, kewarganegaraan, olah raga dan kesehsatan; c. lulus ujian sekolah; d. lulus ujian nasional.
Sistem penilaian hasil belajar siswa di Indonesia sering kali mengalami perubahan, hal ini wajar untuk menyesuaikan dengan perkembangan pendidikan kita. Perubahan sebanyak 4 kali:
a. Ujian Negara yang berlangsung 1945-1966. Pada sistem ini seluruh penyelenggaraan penilaian dikontrol oleh negara, sekolah hanya penyelenggara proses belajar mengajar saja.
b. Ujian Sekolah 1970-1982. Pada sistem ini, pemerintah memberi kewenagan penuh pada sekolah sebagai pusat pengendali mutu lulusan. Angka kelulusan naik hampir 100%.
c. Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) 1983-2002. Konsep ini cukup ideal karena memadukan pola ujian negara dan ujian sekolah. Nilai akhir diberikan berdasarkan nilai Nem, ujian sekolah, juga gabungan dari nilai cawu I,II. Konsep yang ideal dan cukup lama (20 tahun) diaplikasikan ini menimbulkan beberapa persepsi yang berbeda terutama sekolah banyak melakukan manipulasi nilai-nilai siswa.
d. Ujian Akhir Nasional. Konsep ini serupa dengan Ebtanas yakni sama-sama meramu nilai ujian sekolah dengan ujian nasional. Bedanya UN menjadi syarat satu-satunya kelulusan tanpa menggabungkan nilai cawu/semester.

Coba melirik kebelakang, kita cermati lagi sistem penilaian kita mulai dari pelaksanaan Ujian Negara hingga Ebtanas apakah seheboh pelaksanaan Ujian Nasional? Saya kira tidak! Lalu kenapa UN menjadi heboh? Apakah ini pertanda partisipasi masyarakat yang semakin meningkat? Bisa jadi, karena selama periode orba tidak ada partisipasi yang berarti dari masyarakat.
Apapun yang menjadi ketetapannya, pemerintah berdalih ini adalah upaya, cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Pemerintah juga memiliki kekuatan hukum yang memaksa, sehingga kita tidak bisa menghindar sedikitpun melainkan harus memaksakan diri untuk menerjangnya. Sifat pemerintahah yang memaksa inilah yang menjadi kendala terhadap kekuatan masyarakat.

Rekomendasi
Unas jelas berlawanan dengan otonomi pendidikan. Dan dampaknya akan memberangus nilai-nilai khas kultural di masing-masing daerah. Penulis menawarkan agar kebijakan kemendiknas tentang UN itu segera dikaji kembali. Lebih tegas lagi, penulis lebih sepakat kebijakan UN itu dicabut. Masalah penentuan kualitas yang menjadi standar pendidikan sebaiknya diserahkan kepada masing-masing daerah, atau lebih spesifk lagi diserahkan kepada masing-masing lembaga pendidikan yang ada. Sebab untuk menentukan standar kelulusan itu, masing-masing lembaga pendidikan lebih tahu akan kemampuan dan potensi para siswa yang dimilikinya.

Selasa, 23 Maret 2010

ASAL USUL NAMA GUNUNG TAMBORA

ASAL muasal nama Tambora (GUNUNG TAMBORA) menurut cerita turun temurun ada dua versi, yaitu: Pertama, berasal dari kata lakambore dari bahasa Mbojo (Dompu/Bima) yang berarti mau ke mana, untuk menanyakan tujuan bepergian kepada seseorang. Kedua, dari kata ta dan mbora, dari bahasa Bima, kata “ta” yang berarti mengajak, dan kata “mbora” yang berarti menghilang, sehingga arti kata Tambora secara keseluruhan yaitu mengajak menghilang.

SEJARAH DANA DOMPU

Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia, Kabupaten Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), mempunyai catatan sejarah tersendiri. Seperti halnya Lombok, Sumbawa, dan Bima, Dompu dahulu kala juga merupakan salah satu daerah bekas kerajaan atau kesultanan. Kerajaan Dompu merupakan salah satu kerajaan yang paling tua khususnya di Indonesia Bagian Timur. Arkeolog dari Pusat Balai Penelitian Arkeologi dan Purbakala, Sukandar dan Kusuma Ayu dari berbagai hasil penelitiannya menyimpulkan Dompu atau (Kerajaan Dompo) adalah kerajaan yang paling tua di wilayah timur Indonesia.

hari jadi kab. Dompu

BERBICARA SOAL SEJARAH LAHIRNYA SEBUAH DAERAH, ADALAH SESUATU YANG MENARIK. DEMIKIAN PULA SEJARAH LAHIRNYA HARI JADI DOMPU, SUDAH SERING DIBICARAKAN OLEH BERBAGAI KALANGAN, BAIK MELALUI RAPAT, SEMINAR, DISKUSI MAUPUN LEWAT MEDIA MASA. PENETAPAN HARI JADI DOMPU DIMULAI SEJAK PEMERINTAHAN BUPATI DOMPU DRS. H. UMAR YUSUF, MSc SEJAK TAHUN 1989 / 1994 HINGGA PERIODE PERTAMA PEMERINTAHAN BUPATI DOMPU H.ABUBAKAR AHMAD, SH TAHUN 2000 – 2005.

Selasa, 09 Maret 2010

krisis moral pemelajaran pkn

Benarkah PKn merupakan mata pelajaran yang hanya bersifat hafalan seperti pendapat yang berkembang saat ini?

PENDIDIKAN Kewarganegaraan (PKn) merupakan suatu mata pelajaran yang bertujuan membantu peserta didik menjadi manusia yang beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan pada akhirnya menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Melihat tujuan PKn, jelaslah bahwa belajar PKn bukan merupakan hal yang mudah dan tidak cukup hanya dihafalkan.

Kamis, 04 Februari 2010

Refleksi Pendidikan 2009 dan Agenda 2010

H. E. Mulyasa

Dalam tatanan masyarakat yang sedang membangun dan mengalami perubahan serta reformasi dalam berbagai bidang kehidupan, melakukan refleksi pendidikan merupakan topik yang senantiasa menarik dan akan senantiasa aktual karena sifatnya yang dinamis. Hal ini, bukan saja karena pembangunan pendidikan merupakan proses yang tidak pernah berakhir dan melibatkan semua unsur bangsa. Tetapi lebih dari itu, karena disadari didalamnya bahwa pembangunan pendidikan merupakan bagian integral dari pembangunan manusia Indonesia secara kaffah dan merupakan titik sentral pembangunan nasional. Oleh karena itu pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Kamis, 28 Januari 2010

Personifikasi Pancasila

Personifikasi Pancasila

Pada tahun 1966 hingga rezim Orde Baru tumbang pada 1998, Pancasila menjadi idiom paling sakti dan dipakai sebagai alat politik. Demi tegaknya Pancasila pula seluruh kekuatan PKI dilucuti, kader, anggota dan simpatisannya ditumpas tanpa ampun. Orde Baru pun muncul sebagai pengoreksi total Orde Lama. Pancasila dijadikan asas tunggal dalam berbagai kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Penataran Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) menjadi kegiatan wajib yang harus diikuti pelajar, mahasiswa, calon karyawan, swasta hingga pejabat atau aparatur negara.

Jumat, 22 Januari 2010

Masyarakat Bima

Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Untuk itu, dalam pembahasan berikut akan kita lihat bagaimana keragaman masyarakat Bima tersebut, baik dilihat dari imigrasi secara etnis/budaya maupun secara agama/kepercayaan.

Dana Dompu

Kabupaten Dompu, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Dompu. Kabupaten ini berada di bagian tengah Pulau Sumbawa. Wilayahnya seluas 2.321,55 km² dan jumlah penduduknya sekitar 200.000 jiwa. Kabupaten Dompu berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa dan Teluk Saleh di barat, Kabupaten Bima di utara dan timur, serta Samudra Hindia di selatan.

Rabu, 20 Januari 2010

Kakerasn terhadap anak-anak jalanan:apa kata pemerintah?

secara normatif dijelaskan dalam UUD 1945 singkatnya anak terlantar dilindungi oleh negara. tetapi kalau kita tengok lebih jauh hal tersebut hanyalah sebuah slogan yang dapat melindungi pemerintah dalam hal pelanggaran HAM, karena dengan adanya pernyataan tersebut dalam UU, seakan-akan pemerintah telah melaksanakannya dan tidak ada beban sedikitpun.

Selasa, 19 Januari 2010

SEPINTAS SEJARAH PERDAGANGAN PEREMPUAN DI INDONESIA

Tradisi menjadikan perempuan sebagai komoditi bukanlah suatu hal yang asing dan baru, karena diberbagai kultur di dunia ini, termasuk Indonesia, praktek tersebut telah berlangsung. Hull dkk. (1997) menyebutkan bahwa di Jawa, ada tradisi menghadiahi perempuan kepada raja atau penguasa untuk dijadikan sebagai selir. Perempuan dijadikan hadiah untuk penguasa karena alas an untuk menaikkan derajat keluarga siperempuan, dan atau menjalin hubungan baik dengan penguasa.

KOMPETENSI GURU

1. Pengertian Kompetensi Guru
Peranan guru sangat menentukan dalam usaha peningkatan mutu pendidikan formal. Untuk itu guru sebagai agen pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya, dalam kerangka pembangunan pendidikan. Guru mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan bidang pendidikan, dan oleh karena itu perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 4 menegaskan bahwa guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, guru wajib untuk memiliki syarat tertentu, salah satu di antaranya adalah kompetensi
Dalam undang-undang guru dan dosen bab IV pasal 10 menyatakan bahwa: “Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesioanal”. Undang-undang telah memberikan pula sebuah penjelasan mengenai setiap kompetensi guru yang harus terpenuhi. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peseta didik. Sedangkan yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantab, berakhlaq mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.
Kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi yang terakhir yakni kompetensi sosial. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesame guru, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

2.2.2 Hakekat Kompetensi Sosial dan Pribadi bagi Guru
Kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku seseorang. Menurut Lefrancois dalam bukunya Theories of Human Learning, kompetensi merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu, yang dihasilkan dari proses belajar. Kompetensi sosial, yang meliputi etika, moral, pengabdian, kemampuan sosial, dan spiritual merupakan kristalisasi pengalaman dan pergaulan seorang guru, yang terbentuk dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah tempat melaksanakan tugas. Sebagaiman telah disebutkan sebelumnya bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir d).
Oleh karena seorang guru diharapkan dapat berkomunikasi secara lisan, tulisan, dan isyarat dengan baik; menggunakan teknologi komunikasi dan informasi; bergaul secara efektif (memberikan pengaruh positif) dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik; bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
Abraham (2009) menyatakan dalam karyanya bahwa terdapat sebuah keharusan bagi guru untuk memiliki pengetahuan yang luas, menguasai berbagai jenis bahan pembelajaran, menguasai teori dan praktek pendidikan, serta menguasai kurikulum dan metodologi pembelajaran. Akan tetapi seorang guru yang berperan pula sebagai anggota masyarakat, seyogyanya memilki sifat memasyarakat yang baik. Untuk itu, ia harus menguasai psikologi sosial, memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia, memiliki keterampilan membina kelompok, keterampilan bekerjasama dalam kelompok, dan menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok.
Sebagai individu dalam dunia pendidikan serta sebagai anggota masyarakat itu sendiri, seorang guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik yang disebut sebagai kompetensi pribadi. Guru harus bisa digugu, dalam artian bahwa semua perkataan guru bisa dipercaya dan benar adanya, dan ditiru, atau dicontoh setiap tindak tanduk, perilaku dan kebiasaannya sekaligus menjadi sebuah teladan. Guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal. Sebagai pribadi yang hidup di tengah-tengah masyarakat, guru perlu memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat misalnya melalui kegiatan olahraga, keagamaan, dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak, pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.

2.2.3 Beberapa kasus dalam penerapan kompetensi sosial dan pribadi guru
Pengembangan kompetensi sosial ini sulit dilakukan oleh lembaga resmi karena kualitas kompetensi ini ditempa serta dipengaruhi oleh kondisi dan situasi masyarakat luas, lingkungan dan pergaulan hidup termasuk pengalaman dalam tugas, lebih utama lagi dalam kompetensi sosial akan sangat bergantung pada kompetensi pribadi dalam individu seorang guru. Pada kenyataanya, berbagai lingkungan tersebut seringkali merupakan sumber utama munculnya berbagai jenis permasalahan mulai sederhana hingga kompleksitas yang tinggi, selain permasalahan juga tempat penularan penyakit-penyakit masyarakat., seperti hedonis, KKN, materialistis, pragmatis, jalan pintas, kecurangan, dan persaingan yang tidak sehat.
Dalam lingkungan yang rawan tersebut, nilai-nilai kepribadian sebagai seorang guru yang telah melekat akan mudah luntur. Hal ini telah nyata-nyata terlihat tiada hentinya pemberitaan tentang tindak asusila seorang guru terhadap muridnya. Dari tahun ke tahun berita ini tetap muncul, hingga menjadi suatu hal yang tidak anel lagi jika kita menemukan seorang guru “cabul”. Apa yang salah dalam pendidikan keguruan hingga orang-orang seperti ini lolos atau layak untuk menjadi seorang guru?.
Masih sering kita temui pula dalam kehidupan sehari-hari seorang guru yang berubah “bentuk” sesaat setelah mereka keluar dari lingkungan sekolah. Dalam lingkungan kerja sang guru sangat santun dan disiplin. Akan tetapi di luar lingkungan guru terkadang lepas kendali baik dalam bersikap ataupun bertutur. Kemanakah kemampuan sosial dan kepribadian mereka?, hal ini masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak gampang bagi para ahli pendidikan dan kita semua pada umumnya. Seperti banyak kasus yang terjadi, guru dalam lingkungan sosial masyarakatnya melakukan tindakan asusila, pemaksaan, dipidana, terlibat dalam perpolitikan dll.

2.2.4 Beberapa Strategi dalam meningkatkan kompetensi sosial dan pribadi guru.
Sebelum kita menfokuskan pembahasan selanjutnya, akan terlebih dahulu kita membahas empat pilar pendidikan yang akan membuat manusia semakin maju:
1. Learning to know (belajar untuk mengetahui). Artinya belajar itu harus dapat memahami apa yang dipelajari bukan hanya dihafalkan tetapi harus ada pengertian yang dalam. Sebagai guru hal ini perlu dikarenakan guru harus mengetahui dan memahami apa yang disampaikan kepada siswanya, dapat memberikan contoh-contoh yang up to date dengan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya berkaitan dengan materi yang diajarkan.
2. Learning to do (belajar, berbuat/melakukan), setelah kita memahami dan mengerti dengan benar apa yang kita pelajari lalu kita melakukannya. Melakukan dalam artian memberikan suatu teladan sikap terhadap siswa, sehingga harapannya siswa bisa mengikuti dan mengaplikasikan sikap-sikap positif yang diteladinya dari sang guru.
3. Learning to be (belajar menjadi seseorang). Kita harus mengetahui diri kita sendiri, siapa kita sebenarnya? Untuk apa kita hidup? Dengan demikian kita akan bisa mengendalikan diri dan memiliki kepribadian untuk mau dibentuk lebih baik lagi dan maju dalam bidang pengetahuan.
4. Learning to live together (belajar hidup bersama). Sejak Allah menciptakan manusia, harus disadari bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi saling membutuhkan seorang dengan yang lainnya, harus ada penolong. Karena itu manusia harus hidup bersama, saling membantu, saling menguatkan, saling menasehati dan saling mengasihi, tentunya saling menghargai dan saling menghormati satu dengan yang lain.
Jika kita benar-benar menyimak point 3 dan 4, disana nampak jelas bahwa guru harus memiliki kompetensi kepribadian dan sosial, disamping kedua kompetensi lainnya. Lalu bagaimanakah agar kompetensi ini terus melekat pada diri sang guru. Beberapa cara dapat ditempuh untuk mangatasi masalah ini. Dalam peningkatan kompetensi sosial guru dapat melakukan beberapa hal dibawah ini:
(1) Guru tidak hanya membatasi hubungan dirinya dengan para murid hanya didalam kelas saja. Guru tetap menjadi seorang guru bagi murid tidak hanya di lingkungan sekolah saja, hal ini dapat menjadikan guru panutan yang baik tidak hanya bagi peserta didik akan tetapi masyarakat umum.
(2) Guru sebaiknya ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat. Hal ini memberikan kesan pada masyarakat bahwa guru tidak menspesialisasikan diri dalam lingkungan atau menutup diri rapat-rapat. Ikut serta dalam kegiatan pengajian, arisan atau senam pagi di tengah-tengah lingkungan masyarakat adalah cara paling ampuh untuk meningkatkan kompetensi sosial guru.
Dalam peningkatan kompetensi pribadi, guru seharusnya:
(1) Pengamalan perintah-perintah agama sesuai dengan keyakinan.
(2) Berpegang teguh pada nilai-nilai dan norma-norma masyarakat
(3) Memberikan penghargaan setinggi-tingginya pada diri sendiri, hingga menimbulkan rasa cinta pada diri sendiri. Dengan hal ini guru tidak akan mudah untuk menghancurkan kehidupannya hanya dengan satu tindakan yang tidak pantas dilakukan yang dapat mengancam kehidupannya, keluarga juga nama besar dunia pendidikan.
Solusi-solusi diatas masih dalam bentuk ide dan harapan, akan tetapi sudah menjadi suatu yang wajib bagi bangsa ini untuk memberikan perhatian enuh dalam menyelesaikan permasalahn-permasalahan berkaitan dengan peningkatan kompetensi guru baik kepribadian dan sosial. Hal yang sangat mendesak berkaitan dengan pelatihan, pembelajaran, dan sertifikasi guru dan dosen (khususnya yang berkaitan dengan kompetensi sosial dan kepribadian karena ini hal baru) adalah pengembangan pemahaman kompetensi ini yang komprehensif, yang dapat diterima oleh banyak pihak. Sampai saat ini sudah banyak seminar tentang UU Guru dan Dosen diadakan, tetapi kita belum sampai atau memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap kedua kompetensi ini. Apabila dunia pendidikan bisa menjawab tantangan pengembangan kompetensi sosial ini secara cepat dan tepat, mudah- mudahan 10 tahun mendatang kita ebih banyak memiliki insan yang lebih demokratis, lebih toleran, dan memiliki tanggung jawab sosial yang lebih besar.