Kamis, 28 Januari 2010

Personifikasi Pancasila

Personifikasi Pancasila

Pada tahun 1966 hingga rezim Orde Baru tumbang pada 1998, Pancasila menjadi idiom paling sakti dan dipakai sebagai alat politik. Demi tegaknya Pancasila pula seluruh kekuatan PKI dilucuti, kader, anggota dan simpatisannya ditumpas tanpa ampun. Orde Baru pun muncul sebagai pengoreksi total Orde Lama. Pancasila dijadikan asas tunggal dalam berbagai kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Penataran Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) menjadi kegiatan wajib yang harus diikuti pelajar, mahasiswa, calon karyawan, swasta hingga pejabat atau aparatur negara.


Penulis sendiri setidaknya telah lima kali mengikuti Penataran P4 yang masing-masing berdurasi 100 jam. Yaitu ketika masuk SMP, SMA, PTN, ketika terplih menjadi Panitia Pemilu dan mewakili ormas kepemudaan di tingkat kota. Bahkan untuk sebagian kalangan ada yang mengikuti P4 sampai berpuluh-puluh kali. Mengikuti Penataran P4 bagi sebagian orang karena keterpaksaan. Ini terbukti ketika penataran berlangsung, kebanyakan peserta mengantuk dan tidur. Indoktrinasi Pancasila melalui Penataran P4 jelas gagal total.

Mengapa gagal? Karena sang penatar hanya memaparkan hal-hal yang "indah" dan ideal tentang negara ini yaitu negara yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentram karta rajasa, baldatun thayyibun yvaraffun ghafur, bak untaian zamrud di khatulistiwa, aman dan sejahtera di bawah eka prasetya pancakarsa yang ber-Bhinneka tunggal ika. Memang jargon-jargon yang digunakan pada waktu itu sunguh "dahsyat".

Padahal peserta mengetahui itu hanya kebohongan belaka, karena praktek KKN, ketidakadilan dan kesewenangan kerap menimpa rakyat. Sehingga peserta berkesimpulan, apapun yang dipaparkan penatar hanya omong kosong belaka.

Selain terjadi kultus individu, Pancasila kemudian mengalami personifikasi dalam sosok penguasa Orde Baru Presiden Soeharto yang menggunakan Pancasila sebagai alat politik untuk menekan para penentangnya. Puncaknya ketika Soeharto berpidato dalam pertemuan petinggi ABRI di Pekanbaru pada 27 Maret 1980 dan HUT Kopasandha (saat ini Kopassus) di Cijantung, Jakarta pada 16 April 1980, yang menyatakan "jika ada pihak yang menentang Soeharto maka pihak tersebut adalah penentang Pancasila." Ini persis seperti yang dikatakan oleh Kaisar Perancis Louis XIV menjelang kejatuhannya, "Negara adalah aku, yang menentang aku berarti menentang negara"

Dari sejarah kita pun tahu bagaimana kedua rezim tersebut jatuh. Louis XIV dihukum pancung pada masa Revolusi Perancis dan Soeharto jatuh dalam gerakan reformasi 1998. Pancasila ternyata tidak "sakti" seperti yang dibayangkan Soeharto sehingga ia terjerembab jatuh dari singsana kekuasaan secara menyakitkan.

Akibat personifikasi Pancasila tersebut, Pancasila kemudian menjadi ideologi yang "gamang" bagi bangsa Indonesia pada awal tumbangnya Orde Baru dan dimulainya era reformasi. Tapi daya tarik perbincangan tentang Pancasila bagi sebagian besar kalangan, terutama kaum intelektual, masih cukup besar. Walau pada dekade terakhir, Pancasila seakan kehilangan kesakralannya, namun ia masih melekat kuat sebagai sesuatu yang bernilai untuk ditinggalkan begitu saja

Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun temyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar Negara Indonesia. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Pemaknaan baru dan desakralisasi Pancasila selama Orde Reformasi, di satu sisi juga memperlemah memori publik tentang dasar negara ini.

Pandangan ini terasa wajar karena selama 32 tahun Pancasila mengalami personifikasi yang massif selama Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. Pancasila dalam memori masyarakat kita terkait erat dengan upacara bendera, penataran P4, litsus (penelitian khusus) untuk memperoleh surat keterangan "bersih lingkungan" tidak terlibat PKI dan sebagainya. Celakanya, rakyat sudah terbiasa pula mempersonifikasikan Soeharto sebagai "perwujudan" Pancasila lewat beberapa pernyataannya.

Jadi ketika Orde Baru tumbang bersamaan dengan lengsemya Soeharto, maka sebagian besar rakyat menganggap Pancasila sudah "tamat" hal ini ditandai dengan dihapuskannya Penataran P4 dan pelajaran PMP di sekolah-sekolah. Pancasila bahkan saat ini bisa dianggap sebagai ideologi yang sedang "dilucuti" oleh bangsanya sendiri. Saat ini kita mengalami semacam "deideologisasi" Pancasila Pancasila dianggap sebagai ideologi usang yang tidak bisa mengantar rakyat ini kepada keadilan dan kesejahteraan. Ketika jargon "melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen" dikumandangkan Orde Baru yang terjadi justru merajelelanya KKN, pembodohan dan pemiskinan rakyat (seolah-olah kita negara makmur dengan pembangunan yang pesat padahal rezim Orde Baru meninggalkan warisan hutang yang luar biasa banyaknya).

Empat Pilar

Bila kita renungkan secara mendalam, apa yang diprihatinkan segenap elemen bangsa tentang distorsi dan degradasi pemahaman dan pengamalan Pancasila dewasa ini. Datangnya pasti tidak sekonyong-konyong begitu saja, sebab musabab yang mempengaruhinya sudah jelas, yaitu personifikasi Pancasila pada diri seorang Soeharto yang berlindung dibalik label Pancasila untuk memuaskan hasrat kekuasaan belaka. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama dan dicarikan solusinya Sementara itu sekarang inilah saatnya bagi kalangan elit, politisi, birokrat, maupun aparat pemerintah untuk bisa menjadi teladan bagi rakyat bahwa Pancasila masih eksis dan tetap menjadi landasan moral dan falsafah bangsa.

Saat menyampaikan pidato kenegaraan pada Rapat Paripurna DPR tanggal 15 Agustus 2008 lalu misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono antara lain raengatakan, "Apapun yang terjadi, kita harus terus berpegang teguh pada keempat pilar sebagai landasan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara." Keempat pilar tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

"Kita tidak bisa tenggelam dalam budaya sinisme dan sifat gamang yang tak kunjung habis. Dan kita tidak boleh lengah membaca zaman yang telah berubah," kata Kepala Negara ketika itu. Pancasila selain menjadi ideologi dan dasar negara juga menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pancasila yang lahir dari akar sejarah budaya bangsa mengandung nilai-nilai luhur universal yang menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia yakni Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia harus tetap kita jaga dan pertahankan sebagai dasar negara

Tidak ada komentar: