Rabu, 20 Januari 2010

Kakerasn terhadap anak-anak jalanan:apa kata pemerintah?

secara normatif dijelaskan dalam UUD 1945 singkatnya anak terlantar dilindungi oleh negara. tetapi kalau kita tengok lebih jauh hal tersebut hanyalah sebuah slogan yang dapat melindungi pemerintah dalam hal pelanggaran HAM, karena dengan adanya pernyataan tersebut dalam UU, seakan-akan pemerintah telah melaksanakannya dan tidak ada beban sedikitpun.


sungguh ironis kalau kita perhatikan dijalanan anak-anak usia sekolah terpaksa harus melakukan kerja keras demi sesuap nasi. kondisi tersebut sangat bertolakbelakang dengan wakil rakyat kita yang setiap periode akan mendapatkan jaminan kehidupan, tunjangan, gaji pokok sudah pasti, yang jumlahnya tidak sedikit. Angota dewan yang terhormat, mati-matian memperjuangkan agar gaji dinaikkan, tunjangan ditambah....tapi kalau kebijakan yang mensejahterakan rakyat khususnya anak jalanan ini sangat sedikit yang mau melihat.

apapun kondisinya anak indonesia tetaplah anak bangsa yang suatu saat tetap kita banggakan sebagai generasi mas(penerus perjuangan), mereka butuh ketenangan, kemerdekaan, hak yang sama, ingin mendapatkan keadilan. ahhh sudah terlalu jauh..coba kita fokus satu hal saja yang harus diprjuangkan apa dan bagaimana caranya agar anak bangsa (jalanan) ini bisa mendapatkan hak-hak mereka sebagaimana anak-anak lain yang bebas dan berekspresi sesukanya..tentu tidaklah muda sebagaimana kita membalikkan telapak tangan, tapi komitmen harus diperjuangkan, janji politik harus direalisasikan. karena anak jalanan juga ikut memilih wakil rakyat yang bisa memeperjuangkan nasib mereka itu tadi.


Anak jalanan di Indonesia.
Jumlah Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Krisis ekonomi yang terjadi diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah ini. Pada tahun 1998, Mentri Sosial (pada periode rezim Abddurahman Wahid, Kementrian ini telah dihapus) pada waktu itu menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak jalanan sekitar 400% (Kompas, 4/12/98). Saat ini, diperkirakan jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 50,000 anak dan 10% diantaranya adalah perempuan (Anwar & Irwanto dalam Irwanto dkk, 1999).
Semarang, ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang merupakan kota terbesar ke-lima di Indonesia, tidak luput dari keberadaan anak jalanan. Pemetaan yang dilakukan oleh Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah (1999) mencatat ada sekitar 1500 anak. Sumber lain memperkirakan sekitar 2,000 anak jalanan (Tabloid Manunggal, edisi V/Thn XVII/April-Mei 1998). Sebelum krisis terjadi, PAJS (1997) memperkirakan ada 700 anak. Dengan demikian, terjadi peningkatan jumlah hampir 200% setelah adanya krisis.
Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk di mana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering terlanggar.
Sebelum membicarakan lebih lanjut, pengertian anak jalanan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah ?seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian waktunya atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya?.

Korban tak berkesudahan
Anak yang seharusnya masih berada dalam lingkungan bermain dan belajar, ketika ia pergi atau bahkan tinggal di jalan, maka terbayangkah kehidupan yang mereka jalani? Sepintas penglihatan kita ketika bertemu di jalanan, kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan di perempatan jalan misalnya, sudah mengandung beragam resiko seperti rawan akan kecelakaan atau resiko terkena penyakit akibat kerapkali menghirup racun-racun kendaraan bermotor. Menelusuri lebih jauh menyaksikan kehidupan malam mereka di taman kota, pasar, gedung-gedung kosong, emperan toko, atau gerbong-gerbong kereta di stasiun, mereka bisa terlelap tanpa alas. Bahaya apa yang membayang-bayangi? Terlebih bila anak perempuan juga dijumpai di sana? Beranjak lebih dalam berintegrasi dengan mereka, akan kita ketahui bagaimana pola hubungan antar mereka, dengan orang-orang jalanan, dengan masyarakat umum, aparat negara, dan pihak-pihak lainnya. Terbayangkah posisi mereka?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia jalanan adalah dunia yang penuh dengan kekerasan dan eksploitasi. Pertarungan demi pertarungan selalu berakhir dengan kekalahan tanpa ada kemenangan dari pihak manapun. Namun ini terus saja berlangsung. Seorang dewasa-pun belum tentu mampu mengarunginya dengan baik. Apalagi bagi anak-anak!
Berbagai penelitian, laporan program, hasil monitoring dan pemberitaan media massa telah banyak mengungkap situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan Semarang. Monitoring PAJS (1997) di kawasan Tugu Muda pada periode Juli-Desember 1996, mencatat dari 22 kasus kekerasan terhadap anak jalanan 19 kasus (86,3%) dilakukan oleh petugas keamanan (kepolisian, Satpol PP, dan TNI) yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka. Hal senada diungkap pula dalam laporan penelitian YDA (1997) yang menyatakan bahaya terbesar yang paling sering dialami anak jalanan adalah dikejar polisi di mana 91% anak yang pernah tertangkap mengaku mengalami penyiksaan (Permadi & Ardhianie ?peny.; 1997). Selain kasus kekerasan yang dialami secara personal, kekerasan terhadap komunitas juga kerap terjadi. Warga Semarang mungkin masih teringat kasus penyerangan dan pengrusakan rumah singgah di kawasan Lemah Gempal pada tahun 1997 oleh sekelompok orang tak dikenal yang disusul dengan teror-teror terhadap anak jalanan (Info Jalanan, edisi khusus, September 1997). Setelah mengalami nasib buruk, anak-anak jalanan yang terhimpun dalam PAJS kembali menjadi korban kekerasan oleh negara melalui pernyataan pejabat Pemerintah Daerah Kotamadya Semarang yang melarang PAJS untuk beraktivitas karena dianggap organisasi liar (Wawasan, 4 April 1998). Kasus yang baru saja terjadi adalah pengusiran anak-anak jalanan dari rumah singgah oleh ketua LSM pengelolanya sendiri dan penyerangan sekelompok orang terhadap anak jalanan di Manggala di mana dua anak perempuan menjadi korban perkosaan kelompok tersebut (Aliansi; 2000).
Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah perkosaan. Setara (1999) dalam laporannya menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan. Tak jarang perkosaan dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah pangris atau Jepang baris. Di kawasan Simpang Lima, kasus-kasus semacam ini sering terjadi yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu. Lalu belum lama ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media massa mengenai dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap puluhan anak jalanan yang justru dilakukan oleh pendampingnya sendiri (lihat misalnya; Radar Semarang & Wawasan, 2 September 2000; Kompas, 4 September 2000).
Anak jalanan perempuan juga diketahui rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial yang meliputi prostitusi, perdagangan untuk tujuan seksual dan pornografi. Pada tahun 1997, YDA mencatat ada 8% anak jalanan di Semarang yang dilacurkan. Tahun berikutnya meningkat menjadi 28% (PSW Undip; 1998) dan meningkat lagi menjadi 46,4% (Setara; 1999). Indikasi perdagangan anak untuk prostitusi dengan sasaran anak jalanan perempuan yang pernah dikemukakan oleh Setara (1999). Pada perkembangannya indikasi tersebut semakin kuat. Hasil monitoring Yayasan Setara dalam periode Januari-Juni 2000 mencatat ada 10 anak yang diperdagangkan ke daerah Batam dan Riau (Shalahuddin, -peny.; 2000). Kasus pornografi terhadap anak jalanan diduga juga terjadi. Namun sejauh ini belum ada data-data yang mengungkapkan hal tersebut.

Menghapus Stigmatisasi
Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh anak jalanan hingga terungkap ke publik diyakini hanyalah sebagian kecil saja dari kasus-kasus kekerasan yang sering terjadi di dalam kehidupan anak-anak jalanan. Oleh karena itu, tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa anak jalanan senantiasa berada dalam situasi yang mengancam perkembangan fisik, mental dan sosial bahkan nyawa mereka.
Di dalam situasi kekerasan yang dihadapi secara terus-menerus dalam perjalanan hidupnya, maka pelajaran itulah yang melekat dalam diri anak jalanan yang akan membentuk nilai-nilai baru dan membawa tindakan yang mengedepankan kekerasan sebagai jalan keluar untuk mempertahankan hidupnya. Ketika memasuki masa dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak jalanan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan serta menjadikan anak-anak sebagai korban tak berkesudahan.
Tentu saja ? bagi yang peduli terhadap nasib anak jalanan ? hal itu diharapkan tidak berkepanjangan. Harus ada upaya-upaya konkrit untuk melakukan perbaikan atas situasi anak jalanan atau bahkan ? yang bersifat utopis ? menghilangkan keberadaan anak jalanan. Upaya ini akan berdampak besar apabila ada keterlibatan dan jalinan kerjasama berbagai pihak seperti pemerintah, Organisasi Non-Pemerintah (Ornop/NGO), organisasi sosial dan kemasyarakatan, akademisi dan masyarakat umum.
Tantangan terberat dari upaya melibatkan berbagai pihak untuk perduli dengan anak jalanan adalah stigmatisasi. Pandangan dominan masih memvonis Anak jalanan sebagai ?anak liar?, ?kotor? ?biang keributan?, dan ?pelaku kriminal?. Adanya stigmatisasi ini tentu saja akan melahirkan tindakan-tindakan yang penuh prasangka dan cenderung akan mengesahkan jalan kekerasan di dalam menghadapi anak jalanan. Seandainya-pun terjadi berbagai bentuk kekerasan yang keji dan tidak manusiawi atau sampai menghilangkan nyawa, peristiwa tersebut belum tentu menjadi kegelisahan dan menggelitik hati nurani publik. Atau bisa jadi ada pihak yang justru mensyukuri dan menilai bahwa peristiwa tersebut memang layak diterima oleh anak-anak jalanan.
Menghapus stigmatisasi di atas menjadi sangat penting. Patut disadari bahwa anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan. Melalui kampanye ini didorong pula tumbuhnya empati terhadap anak jalanan agar ada keterlibatan konkrit berbagai pihak melalui berbagai kegiatan untuk perubahan.
Selanjutnya? Segeralah bergegas turun ke jalanan, belajar dan bekerja bersama anak-anak jalanan untuk melakukan perubahan.

*****
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Jefri dan Irwanto. 1998. Analisis Situasi Anak Jalanan Indonesia. dalam Irwanto dkk. Analisis Situasi Anak-anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus. PKPM-Depsos, UNICEF. Jakarta.
Info Jalanan, edisi khusus, September 1997
Kanwil Depsos Jateng. (1999). Laporan Pemetaan dan Survey Anak Jalanan di Kodya Semarang, PKPM Atmajaya-Departemen Sosial. Jakarta.
PAJS. 1997. Pernyataan anti Kekerasan terhadap Anak Jalanan. dalam Peringatan Hari Anak 1997. Semarang.
Permadi, Gunawan & Nila Ardhianie (Ed.). 1997. Anak Jalanan: Di Pengasingan harapan. Yayasan Duta Awam. Semarang.
Masa Depan Anak yang Terkoyak (Catatan kasus kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap Anak Jalanan Perempuan). 2000. Aliansi Anti Kekerasan dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak. Semarang.
Shalahuddin (peny.). 1999. Anak Jalanan Perempuan. Laporan penelitian Yayasan Setara yang dipresentasikan dalam seminar Anak Jalanan Perempuan dan Anak yang Dilacurkan, Semarang, 14 Agustus 1999. Yayasan Setara-LPA-UNICEF. Jakarta.
Shalahuddin (Ed.). 2000. Rekaman Dialog Yayasan Setara Yayasan dengan Pemda, Poltabes, dan DPRD kotamadya Semarang. Yayasan Setara. Semarang.
Sunarti, Dr, Ir, Dwi MSc. 1998. Laporan penelitian: Profil Anak Jalanan Di Kotamadya Semarang. Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian Undip Semarang.

sumber: http://mitrawacanawrc.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=43&artid=678
Media Massa
Kompas; Tabloid Manunggal; dan Wawasan.

Tidak ada komentar: