Kamis, 10 Desember 2009

MBS ANTARA CITA DAN FAKTA

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebenarnya bukan lagi wacana baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Konsep ini telah disosialisasikan bersamaan dengan pewacanaan kurikulum 1994 pada tenaga pendidik dan kependidikan. Capaian untuk menjadi Sekolah Mandiri pada masa itu belum dapat terpenuhi karena pemerintah tidak memonitor pelaksanaan program tersebut di lapangan. Pengisian 186 butir Evaluasi Diri dari BAS (Badan Akreditasi Sekolah) yang disyaratkan dalam pemenuhan perolehan akreditasi sekolah menjadi kegiatan yang seremonial dan tak lebih dari pengumpulan dokumen foto copy yang siap diperiksa oleh asessor (Soetikno, 2007).
MBS kembali menjadi populer sejak tahun 1999, saat pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan UNESCO dan UNICEF, mengusung program MBS yang dalam proyek tersebut dikenal dengan nama CLCC (Creating Learning Communities for Children), yang diterjemahkan menjadi “Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak”. Proyek ini melibatkan sejumlah sekolah di berbagai propinsi sebagai objek kegiatannya.
Implementasi MBS pada tingkat satuan pendidikan bukan sekedar luapan semangat desentralisasi yang berlebihan. MBS seacar konsepsional lahir dari prinsip determination theory yakni prinsip dimana kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar yakni sekolah itu sendiri.
Sementara secara konstitusional, MBS dilaksanakan berlandaskan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah (kini UU nomor 32 tahun 2004) dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, tepatnya pasal 51 ayat 1 yang berbunyi ”Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”.
Sejalan dengan semangat desentralisasi pendidikan, sudah sepantasnya jika segala kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pendidikan bertumpu pada sekolah dan masyarakat. Dalam konsep MBS, sekolah diposisikan sebagai suatu lembaga yang berada di tengah-tengah masyarakat yang memiliki ciri khas tersendiri, sehingga sekolah harus memiliki unit perencana, unit pembuat keputusan, dan basis manajemen. Tidaklah mengherankan bila keberadaan Komite Sekolah, yang mencerminkan peran serta masyarakat dalam memajukan pendidikan, menjadi instrumen kunci dalam pelaksanaan MBS.
Jauh sebelum disahkannya PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang disusul dengan keluarnya Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan, sebagian besar sekolah di Indonesia telah memiliki Komite Sekolah sejak tahun 2002. Hal ini tidak terjadi bukan tanpa dasar hukum, karena keberadaan Komite Sekolah pada waktu itu telah berlandaskan Kepmendiknas No. 044/U/2002 yang mengatur tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Komite Sekolah yang juga merupakan perwujudan dari Peran Serta Masyarakat (PSM) ini sebenarnya sangat sejalan dengan konsep tri pusat yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Melalui konsep ini, pendidikan peserta didik diharapkan agar tidak hanya diurus oleh sekolah saja, tetapi peran serta keluarga dan masyarakat juga sangat dibutuhkan sehingga apa yang disebut dengan pembelajaran sepanjang hayat dapat tercapai.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, “Manajemen Berbasis Sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004).
MBS atau school-based management sendiri merupakan sebuah upaya adaptasi dari paradigma pendidikan baru yang berasaskan desentralisasi. MBS memberikan otoritas pada sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif untuk kepentingan sekolah.
Menurut Hasbullah, pada umumnya MBS dimaknai sebagai berikut:
1. dalam rangka MBS alokasi dana kepala sekolah menjadi lebih besar dan sumber dana tersebut dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan sekolah sendiri
2. sekolah lebih bertanggung jawab terhadap perawatan, kebersihan, dan penggunaan fasilitas sekolah, terrmasuk pengadaan buku dan bahan belajar
3. sekolah membuat perencanaan sendiri dan mengambil inisiatif sendiri untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan melibatkan masyarakat sekitar
4. MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi yang lebih terbuka.

2.2 Tujuan Implementasi MBS
Tujuan implementasi program MBS adalah jelas untuk mencapai peningkatan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan, sejalan dengan apa yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan diselenggarakan dengan prinsip pemberdayaan seluruh komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Diharapkan dengan menerapkan manajemen dengan pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal sebagaimana berikut: (1) menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut, (2) mengetahui sumber daya yang dimiliki dan input pendidikan yang akan dikembangkan, (3) mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya, (4) bertanggung jawab terhadap orang tua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah, (5) dan persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. Secara ringkas, yang paling utama dari penerapan MBS adalah tercapainya peningkatan mutu pendidikan dengan cara memberdayakan seluruh potensi sekolah dan stakeholdernya sesuai dengan kebijakan pemerintah dengan mengaplikasikan kaidah-kaidah manajemen sekolah profesional (Satori, 2006).

2.3 Karakteristik Konsep MBS
Karakteristik konsep MBS berikut ini dikutip dari http://www.mbs-sd.org sebagaimana berikut:
1. Upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah;
2. Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja;
3. Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas);
4. Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan;
5. Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat;
6. Meningkatkan profesionalisme personil sekolah;
7. Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang;
8. Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat,dll);
9. Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah;

2.4 Manajemen Komponen-Komponen Sekolah
Ada 7 komponen yang harus dikelola dengan baik dalam rangka mewujudkan MBS.
2.4.1 Manajemnen Kurikulum Dan Program Pengajaran
Manajemen kuriulum dan program pengajaran merupakan bagian dari MBS. Manajemen ini mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum pada dasarnya telah dilakukan pada tingkat departemen pendidikan nasional tingkat pusat. Karena itu level sekolah yang paling penting adalah bagaimana merealisasikan dan menyesuaikan kurikulum tersebut dengan kegiatan pembelajaran. Disamping itu sekolah juga bertugas dan berwenang untuk mengembangkan kurikulum muatan loka sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat.
Pengembangan kurikulum muatan lokal telah dilakukan sejak digunakannya kurikulum 1984, khususnya di sekolah dasar. Pada muatan tersebut disisipkan pada berbagai bidang studi yang sesuai. Muatan lokal tersebut diintensifkan lagi dalam kurikulum 1994. Muatan tersebut tidak lagi disisipkan dalam bidang studi, melainkan menggunakan pendekatan monolitik berupa bidang studi.
Manajer sekolah diharapkan mampu membimbing dan mengarahkan pengembangan kurikulum dan program pengajaran serta melakukan pengawasan dalam pelaksanaannya. Dalam proses pengembangan program sekolah, manajer hendaknya tidak membatasi pada pendidikan dalam arti sempit, ia harus menghubungkan program-program sekolah dengan seluruh kehidupan peserta didik dan kebutuhan lingkungan.

2.4.2 Manajemen Tenaga Kependidikan
Manajemen tenaga kependidikan atau manajemen personalia pendidikan bertujuan untuk mendayagunakan tenaga kependidikan secara efektif dan efesien untuk mencapai hasil yang optimal namun tetap dalam kondisi yang menyenangkan. Sehubungan dengan itu, fungsi yang harus dilakukan pimpinan adalah menarik, mengembangkan, menggaji, dan memotivasi personil guna mencapai tujuan sistem.
Manjemen tenaga kependidikan (guru dan personil) mencakup 1) perencanaan pegawai 2) pengadaan pegawai 3) pembinaan dan pengembangan pegawai 4) promosi dan mutasi 5) pemberhentian pegawai 6) kompensasi 7) penilaian pegawai.

2.4.3 Manajemen Kesiswaan
Manajemen kesiswaan adalah penataan dan pengaturan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan peserta didik, mulai masuk sampai dengan keluarnya peserta didik tersebut dari suatu sekolah. Manajemen ini bertujuan untuk mengatur berbagai kegiatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di sekolah dapat berjalan dengan lancar dan secara operasional dapat membantu upaya pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses pendidikan di sekolah.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, bidang manajemen kesiswaan memiliki tiga tugas utama yakni penerimaan murid baru, kegiatan kemajuan pembelajaran, serta bimbingan dan pembinaan disiplin. Sutisna (1985) menjabarkan tanggungjawab kepala sekolah dalam mengelola bidang kesiswaan berkaitan dengan hal-hal berikut:
- Kehadiran murid di sekolah dan masalah-masalah yang berhubungan dengan itu.
- Penerimaan, orientasi, klasifikasi dan penunjukan murid ke kelas dan program studi.
- Evaluasi dan pelaporan kemajuan belajar.
- Program supervisi bagi murid yang memiliki kelainan seperti pengajaran luar biasa.
- Pengendalian disiplin murid
- Program bimbingan dan penyuluhan
- Program kesehatan dan keamanan
- Penyesuaian pribadi sosial dan keamanan.

2.4.4 Manajemen Keuangan dan Pembiayaan
MBS memberikan kewenangan pada sekolah untuk mencari dan memanfaatkan berbagai sumber dana ssuai dengan keperluan masing-masing sekolah kerna pada umumnya duniapendidikan selalu dihadapkan pada masalah keterbatasan dana.
Sumber keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga sumber 10 pemerintah baik pusat maupun daerah 2) orang tua atau peserta didik 3) masyarakat baik mengikat maupun tidak mengikat.
Tugas manjemen keuangan dapat dibagi menjadi tiga fase yakni financial planning, implementation, dan evaluation. Jonnes menyatakan bahwa financial planning tau disebut juga busgeting merupakan kegiatan mengkoordinasi semua sumber daya yang tersedia untuk mencapai sasaran sasaran yang diinginkan secara sitematis tanpa menyebabkan efek samping yang merugikan. Sementara Implementation adalah kegiatan

2.4.5 Manajemen Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan adalah dan peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar seperti gedung, ruang kelas, meja kursi serta media pembelajaran lainnya. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran seperti halaman, kebun, taman sekolah jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara lamgsung untuk proses belajar mengajar seperti taman sekolah untuk pelajaran biologi, maka taman sekolah tersebut merupakan sarana pendidikan.
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Kegiatan pengelolaaan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan inventaris dan penghapusan serta penataan.
Manajemen sarana dan prasarana yang baik diharapkan dapat menciptakan sekolah yang bersih, rapi, indah sehingga menciptakan kondisi yang menyenangkan baik bagi guru maupun murid untuk berada di sekolah. Disamping itu juga diharapkan tersediannya alat-alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kualitatif, kuantitatif dan relevan dengan kebutuhan belajar.

2.4.6 Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dlam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Dalam hal ini sekolah sebagai sistem sosial merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat agar tercapai tujuan pendidikan secara efisien dan efektif. Sekolah harus menunjang pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya kebutuhan pendidikan, sementara untuk mencapai tujuannya, masyarakat harus berhubungan secara aktif melalui sekolah.
Hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan untuk 1) memajukan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan anak 2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat 3) menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah.

2.4.7 Manajemen Layanan Khusus
Manajemen layanan khussus meliputi manajemen perpustakaan, kesehatan dan keamanan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung begitu cepat pada masa sekarang menyebabkan guru tidak bisa lagi melayani kebbutuhan anak-anak akan informasi. Guru juga tidak bisa mengandalkan apa yang diperolehnya di bangku sekolah. Karena perpustakaan yang lengkap akan membantu guru dan peserta didik untuk mengembangkan dan mendalami pengetahuanyang diperolehnya di kelas melalui belajar mandiri. Pendidikan tidak hanya intelektual an sich tetapi juga bertugas menjaga kesehatan jasmani dan rohani peserta didik. Karena itu UKS juga perlu diberdayakan dengan baik.

2.5 MBS antara Cita dan Fakta
2.5.1 Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran
Dalam bidang manajemen kurikulum dan pengajaran, peran yang paling menonjol ada di tenaga pendidik sebagai eksekutor yang harus mampu mengembangkan kurikulum. Sebagus apapun kurikulum yang dirancang oleh diknas jika tidak mampu dipahami dan diaplikasikan oleh guru, maka akan isa-sia. Ketika KBK muncul sampai akhirnya digantikan dengn KTSP, banyak guru yang belum paham seperti apa wajah kurikulum tersebut. Karena itu kualitas guru dan kepala sekolah perlu ditingkatkan agar mampu menerjemahkan dalam bentuk kegiatan belajar sehingga tercapai tujuan pendidikan nasional.
Fenomena ganti penguasa ganti kurikulum ini perlu diwaspadai. Hancurnya mutu pendidikan di beberapa negara ini banyak disebabkan oleh gagalnya implementasi kebijakan yang disebabkan faktor politis sebagaimana yang ditulis oleh Bruce C. Vladeck dalam bukunya “The Causes of policy failure, at root, political”.
2.5.2 Manajemen Tenaga Kependidikan
Dalam manajemen tenga kependidikan, hal yang menjadi masalah paling menonjol adalah pengadaan tenaga kependidikan. Sebagai contoh, pengadaan CPNS yang terjadi selama ini jauh dari prinsip-prinsip egaliter dan transparan. Memilih calon guru seperti memiilih kucing dalam karung, karena kebanyakan yang diterima adalah mereka yang mempunyai ”gizi” lebih. Disisi lain, materi test yang tidak sesuai dengan standar tes. Di banyak daerah, untuk menjadi guru bahasa inggris tidak pernah ada tes khusus bahasa Inggris dan kemampuan pedagogik. Kalaupun memang yang dipakai adalah ijasah serta transkrip nilai maka sesungguhnya jika kita mau jujur, transkrip dan ijasah yang dimiliki masih belum menggambarkan seutuhnya tetntang kompetensi yang dimiliki mengingat selalu ada perguruan tinggi yang begitu mudah mengeluarkan ijasah dan transkrip tanpa menlalui pembelajaran yang memadai.
2.5.3 Manajemen Kesiswaan
Contoh kasus dalam manajemen kesiswaan adalah ketika penerimaan siswa baru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penerimaan siswa baru selalu diwarnai dengan praktik uang. Apalagi di sekolah bertaraf internasional, mereka yang menyertakan sumbangan yang paling banyak akan punya kesempatan yang besar untuk bisa diterima di sekolah tersebut. Kualitas dan input menjadi nomor dua, yang penting ada uang.
2.5.4 Manajemen Keuangan dan Pembiayaan
Yang menjadi pokok bahasan utama dalam kajian terhadap diskursus MBS dari perspektif legal basis adalah pelanggaran hierarki perundang-undangan yang telah dilakukan oleh eksekutor-eksekutor kebijakan (Tilaar, 2004). UUD 1945 sebagai dasar hukum yang paling superior seharusnya tidak boleh dilangkahi atau dianulir oleh produk perundang-undangan yang jauh lebih inferior dibawahnya, dalam hal ini yang dimaksud adalah UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan turunan-turunannya.
Dalam pembukaan UUD 1945 dicantumkan bahwa amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia telah dilimpahkan pada Pemerintah Negara Indonesia. Sejalan dengan pembukaannya, dalam UUD 1945 hasil amandemen ke-4, pada pasal 31 ayat 1 dan 2 jelas-jelas tercantum bahwa mendapatkan pendidikan adalah menjadi hak setiap warganegara dan pemerintah berkewajiban untuk membiayai pendanaan pendidikan dasar yang sifatnya mutlak. Ditambah lagi dengan ayat 4 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Anehnya, UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang seharusnya dibuat dengan mengacu pada UUD 1945 malah menganulir kewajiban pemerintah dalam pembiayaan penyelenggaran pendidikan, sehingga kewajiban tersebut juga dibebankan pada masyarakat. Hal tersebut dimuat dalam hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah, yaitu pada pasal 6 ayat 2 bahwa ‘setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”, dan pasal 9 “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Bahkan pada Bab V mengenai peserta didik, pasal 12 ayat 2 huruf b dinyatakan bahwa “peserta didik berkewajiban untuk menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan”.
Melalui pasal-pasal tersebut, pemerintah telah mengalihkan tanggung jawabnya secara perlahan terhadap pendanaan pendidikan, dan hal tersebut jelas-jelas dimuat secara eksplisit pada pasal 46 ayat 1 bahwa, “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”, yang lalu dijabarkan pada bagian penjelasan bahwa, “sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah.
Pembahasan masalah pendanaan pendidikan dimasukkan dalam kajian ini karena hal pendanaan pendidikan sangatlah erat kaitannya dengan MBS. Konsep MBS dengan perspektif ekonomi-nya telah mengkuantitatifkan segala target capaian atau mutu dengan standar performance yang terukur. Satuan pendidikan yang berhasil mengimplementasikan konsep ini akan dicap sebagai sekolah unggulan yang memenuhi unsur-unsur akreditasi untuk mendapatkan dana hibah atas kompetisi yang telah dilakukakannya. Padahal seharusnya dana pendidikan diberikan pada sekolah manapun yang memang benar-benar membutuhkan.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 49 ayat 3 dan 4 dicantumkan bahwa dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila dana pendidikan dikompetisikan seperti termaktub dalam pasal tersebut, maka sekolah yang unggul makin unggul dan sekolah yang belum unggul akan semakin terpuruk. Secara tidak langsung, hal tersebut memaksa sekolah yang masih dalam taraf “belum memenuhi akreditasi” untuk mencari sumber pendanaan lain.
Pemerintah pun memberikan jalan dengan membuka kesempatan seluas-luasnya pada sekolah untuk mendapatkan dana dari masyarakat dengan pasal-pasal yang mengatur tentang pendanaan pendidikan dan peran serta masyarakat yang termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Siapalagi yang menjadi korban kalau bukan komite sekolah? Dalam hal ini, komite sekolah akhirnya hanya berfungsi sebagai “tukang pungut sumbangan” seperti asosiasi yang terbangun saat mendengar sebuah wadah yang bernama “BP3”. Akhirnya fungsi-fungsi strategis komite sekolah yang tercantum dalam Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan benar-benar tidak disentuh.
2.5.5 Manajemen Sarana dan Prasarana
Tidak banyak sekolah yang mampu menerapkan manajemen sarana dan prasarana ini dengan efektif dan efisien mengingat ini terkait dengan pendanaan. Mereka yang mampu menerapkan ini rata-rata sekolah yang mahal. Bagi sekolah-sekolah ”pinggiran” yang tidak progressif dan inovatif, mereka lebih pasrah terhadap keadaan. Namun bagi mereka yang inovatif, akan mendayagunakan semua potensi di sekitar mereka.
2.5.6 Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Pada tataran hubungan sekolah dengan masyarakat masih kurang maksimal dan perlu diintensifkan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya lulusan sekolah yang menganggur. Namun di daerah-daerah tertentu seperti Bali, sekolah benar-benar bisa menjadi mitra masyarakat dalam menjembatani kebutuhan dan melestarikan kebutuhan masyarakat. Sekolah yang relatif mampu membangun hubungan yang baik dengan masyarakat atau dunia luar adalah vocational school yang memang sejak awal lulusannya dituntut langsung bisa terjun di dunia kerja.
2.5.7 Manajemen Layanan Khusus
Bisa dipastikan banyak sekolah yang belum mampu menjalankan manajemen layanan khusus. Bagaimana mungkin menjalankan manajemen khusus dengan baik, sementara kebutuhan primer pendidikan seperti sarana pembelajaran di kelas saja masih banyak yang kutrang. 1 sekolah hanya tiga guru. Bahkan banyak sekolah yang tidak memiliki tenaga administrasi dan perpustakaan.

BAB III
PENUTUP

Desentralasasi di bidang pendidikan merupakan sebuah upaya peningkatan mutu pendiikan itu sendiri, hal ini dikarenakan pemerintah daerah lebih memahami perkembangan dan kemajuan pendidikan di daerahnya.
Secara umum MBS bertujuan untuk menjadikan agar sekolah lebih mandiri atau menberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi), fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam mengelola sumber daya, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
MBS juga memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar kepada sekolah, disertai seperangkat tanggungjawab, sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya dengan kata lain sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.
Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua siswa)
Sayangnya, sampai saat ini banyak sekolah yang mengabaikan model ini. Mereka, pihak sekolah masih menikmati indahnya status quo dan tetap ingin menjadi “raja-raja kecil” yang menentukan arah pendidikan di sekolah. Sementara di sebagian yang lain, kewenangan baru yang diberikan pada sekolah melalui kepala sekolah tidak ubahnya seperti memindahkan dan menularkan penyakit KKN dari pemerintah (depdiknas) ke sekolah.


DAFTAR PUSTAKA

Fattah, Nanang. 2004.Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Hasbullah. 2007. Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggraan pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

http://www.mbs-sd.org/ diakses pada tanggal 26 Nopember 2009.

http://sukainternet.wordpress.com/2007/10/18/manajemen-kurikulum-atau-manajemen-sekolah/ pada tanggal 5 Januari 2008.

Mulyasa, E. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Rosda Karya.

Mulyono. 2008. Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Sumarsono, Puji. 3 Mei 2009. Reformasi Pendidikan Serba Ragu: Catatan Singkat Perjalanan Reformasi Pendidikan. Jawa Pos Radar Bojonegoro.

Tilaar, HAR. 2004. Standarisasi Nasional Pendidikan: Suatu Tinjauan Kritis. Bandung: Rineka Cipta.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.

Tidak ada komentar: