Sabtu, 12 Desember 2009

DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, menyimpulkan bahawa pendidikan Indonesia berada pada urutan keduabelas setelah Vietnam. Sedangkan urutan pertama adalah korea selatan, dan Singapura berada pada urutan kedua. Hasil survei ini didasarkan pada kualitas tenaga kerja dengan argumentasi yang dikemukakan langkah bahwa langkah pertama untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas adalah pendidikan yang berkualitas.
Berdasarkan hasil survei tersebut ada beberapa hal yang menjadi Lesson learned, yaitu: pertama, peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu komitmen untuk melakukan investasi SDM untuk menumbuhkan dan menggembangkan daya kemampuan hidup mereka seoptimal mungkin. Kedua, pemerataan pendidikan perlu diikuti dengan mutu pendidikan. Ketiga, peningkatan mutu pendidikan perlu lebih meningkatkan bahasa Asing terutama bahasa Inggeris dan pengajaran tehnologi untuk meningkatkan kemampuan daya bersaingtenaga kerja Indonesia.
Peningkatan mutu pendidikan perlu dilakukan diversifikasi sesuai dengan kebutuhan riil peserta didik. Karena tidak semua peningkatan mutu pendidikan tidak semua beroreantasi akademik. Ada lapisan masyarakat yang tidak membutuhkan kompetensi akademik tetapi membutuhkan kompetensi untuk bekerja. Untuk itu diperlukan strategi peningkatan mutu pendidikan, yaitu peningkatan kualitas pendidikan yang beroreantasi keterampilan dan peningkatan kualitas pendidiakn yang berorentasi akademik.
Pendidikan berorentasi keterampilan bisa dilihat dari data Kohort dan jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi menunjukkan bahwa tidak lebih dari 20% peserta didik pada jenjang pendidikan dasar yang melanjutkan sampai pada jenjang perguruan tinggi. Pemberian pendidikan Life Skill ini harus beroreantasi kepada kebutuhan lokal, seperti pertanian, perikanan, dan kerajinan.
Sedangkan pendidikan beroreantasi akademis ini bisa dipahami dari hasil studi the Third Internasional Mathematics and Science Study-repeat 1999 yang dilaksanakan pada 38 Negara dari lima benua, bahwa siswa SMP Indonesia menempati urutan ke-32 dari 34 dari tes IPA dan MATEMATIKA, Singapura menduduki urutan pertama untuk skor tes MATEMATIKA dan kedua untuk IPA. Sedangkan siswa SMP Malaisya berada pada urutan ke-16 untuk skor tes MATEMATIKA dan 22 untuk skor tes IPA.
Rendahnya mutu pendidikan berorentasi akademik tidak terlepas dari rendahnya alokasi pendidikan. Sejak tahun 1995/1996 sampai dengan 1999/2000 proporsi anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional tidak pernah melebihi angka 8% dari APBN. Sehingga membawa dampak langsung terhadap ketersediaan sarana dan prasarana pendidkan di tingkat sekolah dan kesejahteraan tenaga kependidikan diberbagai jenis, jenjang dan jalur. Akibatnya proses belajar mengajar tidak dapat mendukung peningkatan prestasi akademik peserta didik.
Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan beroreantasi akademik bisa ditempuh melalui : (1) Quality Asurance, kepada semua lembaga pendidikan sehingga dapat mempersiapkan peserta didik untuk dapat tersaring pada saat dilakukan quliti control pada saat ujian nasional; (2) menjamin kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga mereka dapat hidup layak dan dapat memusatkan perhatiannya pada mengajar; dan (3) mendorong daerah dan lembaga untuk dapat memobilisasi berbagai sumber dana dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan.

Departemen pendidikan nasional, sebagai penanggung jawab sistim pendidkan secara nasional, mengimbau agar pendidikan mendapat perhatian yang serius. Kerjasama antara pemerintah daerah, DPRD, dan Depdiknas dapat diperkuat dengan saling membantu, saling berkonsultasi, dan saling mengoreksi agar kita dapat menghasilkan SDM yang berkualitas dan handal di era otomi daerah.

DESENTRALISASI PENDIDIKAN dan PENINGKATAN KUALITAS SDM

Terma desentaralisi mengemuka pertama kali pada tahun 1974 bersamaan dengan disusunya UU Nomor 5 Tahun 1974 dan menjadi wacana publik dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 (kini UU nomor 32 tahun 2004) mengenai pemerintah daerah. Bab I tentang ketentuan umum pasal I butir (c) menyebutkan, “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka NKRI”.
Beberapa aturan mengenai Otonomi Daerah ini diungkap dalam UU Nomor 22 tahun 1999 jo UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 25 tahun 1999 jo UU nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan PP nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangkan Provinsi sebagai daerah otonom.
Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pendidikan dan kebudayaan telah ditetapkan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/Kota, disamping kewenangan lain seperti pekerjaan umum, kesehatan, dan pertanian, perhubungan industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja. Tujuan dilimpahkannya pelaksanaan pendidikan kepada pemerintah daerah (Pemda) seperti yang tercantum dalam konsideran UU Nomor 22 tahun 1999, adalah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah tanpa mengabaikan persaingan dunia global (global village).
Melalui UU diatas, pendidikan diharapkan berorentasi kepada mutu, relevan dengan kndisi global dan kondisi daerah, dan merata pada masyarakat setempat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut kirannya perlu dideteksi berbagai potensi pendukung dan kendala yang dihadapi untuk kemudian dicari solusinnya dalam konteks pendidikan. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Treatment[Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Hambatan) adalah strategi awal bagi pemberdayaan dan pengembangan pendidikan di daerah.
Ada dua macam otoritas kewenangan dan tanggung jawab yang dibebankan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi. Pertama, desentralisasi politis. Desentaralisasi politis menyangkut segala kebijakan yang dibutuhkan untuk melaksanakan wewenang tersebut, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasinya. Kedua, Desentralisasi Administratif. Desentralisasi pendidikan menyangkut strategi pengolaan kewenangan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan.
Salah satu wujud desentralisasi daerah ini adalah desentralisasi dan otonomisasi penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan sebagai sarana yang paling efektif bagi aktualisasi masyarakat, milik dan untuk masyarakat, maka desentaralisasi dan otonomisasi adalah sesuatu yang urgen. Otonomi pendidikan yang mengacu kepada UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa jiwa dan semangat otonomi adalah kewenangan kesatuan masyarakat hukum di daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Memaknai konsep otonomi daerah dalam konteks otonomi pendidikan adalam memberikan kekuasaan dan tanggung jawab penuh kepada sekolah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Otonami pendidikan menyarankan sekolah untuk memanaj sistem pendidikannya secara mandiri yang lepas dari ketergantungan kepada pemerintah dan kewenangan pusat, menuju ke masyarakat lokal sekolah.
Reposisi otonomi pendidikan dioretasikan kepada peningkatan kualitas pendidikan, dengan melakukan lompatan dengan pembelajaran kelas ke tingkat organisasi sekolah dan mereformasi sistem struktur serta bentuk manajemen sekolah.
Corak reformasi-reposisi ini diseut dengan Manajemen Berbasis Sekolah/MBS (School Based Management). MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam melakukan program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai dengan otonomi yang luas ditingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan pendidikan nasionalnya.
MBS sebagai realisasi dari desentralisasi pendidikan, menurut D.A. Rondinelli dan G.S. Cheema (1983) sebagai mana dikutp Ibtisam Abu-Duhou (2002), sedikitnya ada empat bentuk yang perlu diidentifikasi. Pertama, dekonsentarasi yaitu pelimpahan sebagian kewenangan atau tanggung jawab administratif ketingkat yang lebih rendah dibawah departemen dan pemerintah pusat, dan pengalihan beban kerja dari pejabat pusat ke staf atau kantor diluar ibu kota atau pemerintah pusat. Kedua, delegasi, yaitu pelimpahan atau pemindahan tanggung jawab manajerial dan fungsional ke organisasi diluar struktur birokrasi, yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Kelemahan desentralisasi model ini adalah otoritas kedaulatan masih dikendali pusat, sementara daerah hanya pelaksana operasional.
Ketiga, devolusi penguasaan dan penciptaan unit pemerintah didaerah, baik secara legal maupun secara finansial, dimana aktifitasnya secara substansil berada diluar pengawasan langsung pemerintah pusat. Di sini unit pemerintah daerah berada terpisah dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya mempunyai kewenangan untuk memberikan pengawasan secara tidak langsung.
Keempat, prifatisasi atau swastanisasi, yaitu pemberian wewenang secara penuh kepada swasta untuk merencanakan, merencanakan dan mengevaluasi seluruh sistem yang dikonstruksi.
Tuntutan reformasi terhadap pembangunan nasional mendorong dilakukannya reformasi arah kebijakan di bidang pendidikan nasional yang lebih demokratis dan terbuka, sehingga perlu peningkatan dan pemberdayaaan peran serta masyarakat serta peningkatan profesionalisme. Paradigma baru yang memberi ciri pada reformasi pendidikan antaralain,: Pertama, sentralisasi berubah kearah desentralisasi pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang semula terpusat menjadi tidak terpusat, yaitu menyerahkan sebagian kewenangannya ke pemerintah daerah, bahkan sampai pada tingkat sekolah (school based Managemant ). Kedua, konsep scholing akan berubah ke konsep learning, sehingga proses pendidikan lebih interaktif. Ketiga, Classs Orentation berubah ke individual orentation, sehingga peserta didik lebih mendapat perhatian untuk mengembangkan potensinya (competence based curriculum).

Tidak ada komentar: