Senin, 30 November 2009

कजियन तेर्हड़प WACANA MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DITINJAU DARI PERSPEKTIF LEGAL BASIS

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebenarnya bukan lagi wacana baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Konsep ini telah disosialisasikan bersamaan dengan pewacanaan kurikulum 1994 pada tenaga pendidik dan kependidikan. Capaian untuk menjadi Sekolah Mandiri pada masa itu belum dapat terpenuhi karena pemerintah tidak memonitor pelaksanaan program tersebut di lapangan. Pengisian 186 butir Evaluasi Diri dari BAS (Badan Akreditasi Sekolah) yang disyaratkan dalam pemenuhan perolehan akreditasi sekolah menjadi kegiatan yang seremonial dan tak lebih dari pengumpulan dokumen foto copy yang siap diperiksa oleh asessor (Soetikno, 2007).
MBS kembali menjadi populer sejak tahun 1999, saat pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan UNESCO dan UNICEF, mengusung program MBS yang dalam proyek tersebut dikenal dengan nama CLCC (Creating Learning Communities for Children), yang diterjemahkan menjadi “Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak”. Proyek ini melibatkan sejumlah sekolah di berbagai propinsi sebagai objek kegiatannya.
Kembali populernya konsep MBS yang sangat kental dengan semangat desentralisasi ini tentunya cukup erat berkaitan dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah (kini UU nomor 32 tahun 2004). Terlebih lagi setelah disahkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, desentralisasi pendidikan tidak hanya dilimpahkan pada pemerintah daerah namun hingga ke tingkat satuan pendidikan.
Sejalan dengan semangat desentralisasi pendidikan, sudah sepantasnya jika segala kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pendidikan bertumpu pada sekolah dan masyarakat. Dalam konsep MBS, sekolah diposisikan sebagai suatu lembaga yang berada di tengah-tengah masyarakat yang memiliki ciri khas tersendiri, sehingga sekolah harus memiliki unit perencana, unit pembuat keputusan, dan basis manajemen. Tidaklah mengherankan bila keberadaan Komite Sekolah, yang mencerminkan peran serta masyarakat dalam memajukan pendidikan, menjadi instrumen kunci dalam pelaksanaan MBS.
Jauh sebelum disahkannya PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang disusul dengan keluarnya Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan, sebagian besar sekolah di Indonesia telah memiliki Komite Sekolah sejak tahun 2002. Hal ini tidak terjadi bukan tanpa dasar hukum, karena keberadaan Komite Sekolah pada waktu itu telah berlandaskan Kepmendiknas No. 044/U/2002 yang mengatur tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Komite Sekolah yang juga merupakan perwujudan dari Peran Serta Masyarakat (PSM) ini sebenarnya sangat sejalan dengan konsep tri pusat yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Melalui konsep ini, pendidikan peserta didik diharapkan agar tidak hanya diurus oleh sekolah saja, tetapi peran serta keluarga dan masyarakat juga sangat dibutuhkan sehingga apa yang disebut dengan pembelajaran sepanjang hayat dapat tercapai.

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, “manajemen berbasis sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004).
MBS atau school based management sendiri merupakan sebuah upaya adaptasi dari paradigma pendidikan baru yang berasaskan desentralisasi. MBS memberikan otoritas pada sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif untuk kepentingan sekolah.
Menurut Hasbullah, pada umumnya MBS dimaknai sebagai berikut:
1. dalam rangka MBS alokasi dana kepala sekolah menjadi lebih besar dan sumber dana tersebut dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan sekolah sendiri
2. sekolah lebih bertanggung jawab terhadap perawatan, kebersihan, dan penggunaan fasilitas sekolah, terrmasuk pengadaan buku dan bahan belajar
3. sekolah membuat perencanaan sendiri dan mengambil inisiatif sendiri untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan melibatkan masyarakat sekitar
4. MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi yang lebih terbuka.

2.2 Dasar Hukum
Implementasi MBS pada tingkat satuan pendidikan bukan sekedar luapan semangat desentralisasi yang berlebihan. MBS dilaksanakan semata karena berlandaskan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, tepatnya pasal 51 ayat 1 yang berbunyi ”Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”.

PEMBAHASAN

3.1 Tujuan Implementasi MBS
Tujuan implementasi program MBS adalah jelas untuk mencapai peningkatan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan, sejalan dengan apa yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan diselenggarakan dengan prinsip pemberdayaan seluruh komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Diharapkan dengan menerapkan manajemen dengan pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal sebagaimana berikut: (1) menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut, (2) mengetahui sumber daya yang dimiliki dan input pendidikan yang akan dikembangkan, (3) mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya, (4) bertanggung jawab terhadap orang tua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah, (5) dan persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. Secara ringkas, yang paling utama dari penerapan MBS adalah tercapainya peningkatan mutu pendidikan dengan cara memberdayakan seluruh potensi sekolah dan stakeholdernya sesuai dengan kebijakan pemerintah dengan mengaplikasikan kaidah-kaidah manajemen sekolah profesional (Satori, 2006).

3.2 Karakteristik Konsep MBS
Karakteristik konsep MBS berikut ini dikutip dari http://www.mbs-sd.org sebagaimana berikut:
1. Upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah;
2. Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja;
3. Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas);
4. Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan;
5. Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat;
6. Meningkatkan profesionalisme personil sekolah;
7. Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang;
8. Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat,dll);
9. Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah;
3.3 Mengkaji Wacana MBS dari Perspektif Legal Basis
Yang menjadi pokok bahasan utama dalam kajian terhadap diskursus MBS dari perspektif legal basis adalah pelanggaran hierarki perundang-undangan yang telah dilakukan oleh eksekutor-eksekutor kebijakan (Tilaar, 2004). UUD 1945 sebagai dasar hukum yang paling superior seharusnya tidak boleh dilangkahi atau dianulir oleh produk perundang-undangan yang jauh lebih inferior dibawahnya, dalam hal ini yang dimaksud adalah UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan turunan-turunannya.
Dalam pembukaan UUD 1945 dicantumkan bahwa amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia telah dilimpahkan pada Pemerintah Negara Indonesia. Sejalan dengan pembukaannya, dalam UUD 1945 hasil amandemen ke-4, pada pasal 31 ayat 1 dan 2 jelas-jelas tercantum bahwa mendapatkan pendidikan adalah menjadi hak setiap warganegara dan pemerintah berkewajiban untuk membiayai pendanaan pendidikan dasar yang sifatnya mutlak. Ditambah lagi dengan ayat 4 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Anehnya, UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang seharusnya dibuat dengan mengacu pada UUD 1945 malah menganulir kewajiban pemerintah dalam pembiayaan penyelenggaran pendidikan, sehingga kewajiban tersebut juga dibebankan pada masyarakat. Hal tersebut dimuat dalam hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah, yaitu pada pasal 6 ayat 2 bahwa ‘setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”, dan pasal 9 “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Bahkan pada Bab V mengenai peserta didik, pasal 12 ayat 2 huruf b dinyatakan bahwa “peserta didik berkewajiban untuk menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan”.
Melalui pasal-pasal tersebut, pemerintah telah mengalihkan tanggung jawabnya secara perlahan terhadap pendanaan pendidikan, dan hal tersebut jelas-jelas dimuat secara eksplisit pada pasal 46 ayat 1 bahwa, “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”, yang lalu dijabarkan pada bagian penjelasan bahwa, “sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah.
Pembahasan masalah pendanaan pendidikan dimasukkan dalam kajian ini karena hal pendanaan pendidikan sangatlah erat kaitannya dengan MBS. Konsep MBS dengan perspektif ekonomi-nya telah mengkuantitatifkan segala target capaian atau mutu dengan standar performance yang terukur. Satuan pendidikan yang berhasil mengimplementasikan konsep ini akan dicap sebagai sekolah unggulan yang memenuhi unsur-unsur akreditasi untuk mendapatkan dana hibah atas kompetisi yang telah dilakukakannya. Padahal seharusnya dana pendidikan diberikan pada sekolah manapun yang memang benar-benar membutuhkan.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 49 ayat 3 dan 4 dicantumkan bahwa dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila dana pendidikan dikompetisikan seperti termaktub dalam pasal tersebut, maka sekolah yang unggul makin unggul dan sekolah yang belum unggul akan semakin terpuruk. Secara tidak langsung, hal tersebut memaksa sekolah yang masih dalam taraf “belum memenuhi akreditasi” untuk mencari sumber pendanaan lain.
Pemerintah pun memberikan jalan dengan membuka kesempatan seluas-luasnya pada sekolah untuk mendapatkan dana dari masyarakat dengan pasal-pasal yang mengatur tentang pendanaan pendidikan dan peran serta masyarakat yang termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Siapalagi yang menjadi korban kalau bukan komite sekolah? Dalam hal ini, komite sekolah akhirnya hanya berfungsi sebagai “tukang pungut sumbangan” seperti asosiasi yang terbangun saat mendengar sebuah wadah yang bernama “BP3”. Akhirnya fungsi-fungsi strategis komite sekolah yang tercantum dalam Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan benar-benar tidak disentuh.
Berikut ini adalah rangkuman dari fungsi-fungsi strategis komite sekolah yang dimuat dalam lampiran Permendiknas No. 19 Tahun 2007:
1. Memberikan pertimbangan dan masukan mengenai visi, misi, dan tujuan sekolah;
2. Memberikan pertimbangan dalam penyusunan rencana kerja jangka menengah sekolah/madrasah yang meliputi tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu empat tahun yang berkaitan dengan mutu lulusan yang ingin dicapai dan perbaikan komponen yang mendukung peningkatan mutu lulusan, dan juga rencana kerja tahunan yang mencakup ketentuan-ketentuan mengenai: kesiswaan; kurikulum dan kegiatan pembelajaran; pendidik dan tenaga kependidikan serta pengembangannya; sarana dan prasarana; keuangan dan pembiayaan; budaya dan lingkungan sekolah; peranserta masyarakat dan kemitraan; rencana-rencana kerja lain yang mengarah kepada peningkatan dan pengembangan mutu;
3. Memberikan pertimbangan dalam penyusunan pedoman yang mengatur tentang struktur organisasi sekolah/madrasah yang berisi: kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP); kalender pendidikan/akademik; struktur organisasi sekolah/madrasah; pembagian tugas di antara guru; pembagian tugas di antara tenaga kependidikan; peraturan akademik; tata tertib sekolah/madrasah; kode etik sekolah/madrasah; dan biaya operasional sekolah/madrasah;
4. Memberikan persetujuan terhadap pelaksanaan kegiatan sekolah/madrasah yang tidak sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan;
5. Berhak menerima pelaporan pembukuan semua penerimaan dan pengeluaran serta penggunaan anggaran yang diatur dalam pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah;
6. Berhak memutuskan pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah untuk kemudian ditetapkan oleh kepala sekolah/ madrasah serta mendapatkan persetujuan dari institusi di atasnya;
7. Memberikan masukan untuk sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan tata tertib sekolah/madrasah;
8. Berhak melakukan pemantauan pengelolaan sekolah/madrasah dilakukan secara teratur dan berkelanjutan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan;
9. Berhak menerima laporan hasil evaluasi pengawasan sekurang-kurangnya setiap akhir semester dari kepala sekolah/madrasah;
10. Berhak dilibatkan dalam proses evaluasi dan pengembangan KTSP secara menyeluruh.
Terdapat kontradiksi dalam butir-butir tersebut dengan salah satu butir dalam Lampiran B tentang Pelaksanaan Rencana Kerja nomor 3 (c) yang menyatakan bahwa kepala sekolah/madrasah mempertanggungjawabkan pelaksanaan pengelolaan bidang akademik pada rapat dewan pendidik dan bidang “non akademik” pada rapat komite sekolah/madrasah dalam bentuk laporan pada akhir tahun ajaran yang disampaikan sebelum penyusunan rencana kerja tahunan berikutnya. Padahal dalam butir-butir lainnya banyak sekali yang menjabarkan peran-peran komite sekolah dalam bidang akademik, lalu mengapa tanggung jawab kepala sekolah pada komite sekolah dibatasi pada hal-hal non akademik saja, bukankah hal tersebut menunjukkan inkonsistensi dalam peraturan ini.
Terlebih lagi, fungsi-fungsi strategis yang sedemikian idealnya tersebut ternyata dimentahkan dengan Lampiran F tentang Penilaian Khusus yang menjadi penutup peraturan ini, “Keberadaan sekolah/madrasah yang pengelolaannya tidak mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan dapat memperoleh pengakuan Pemerintah atas dasar rekomendasi BSNP”. Jadi, sirnalah sudah fungsi-fungsi strategis Komite Sekolah karena hegemoni BSNP. Sebab itulah, selama penyelewengan terhadap hierarki perundang-undangan belum dibenahi, maka Komite Sekolah hanyalah akan menjadi simbol dari implementasi konsep MBS.

3.4 Unsur Pedagogik dalam Konsep MBS

Konsep MBS sangat erat kaitannya dengan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) sebagai metode pembelajaran dan tentunya PSM (Peran Serta Masyarakat) yang diwujudkan melalui keberadaan Komite Sekolah sebagai instrumen kunci implementasi MBS. Membahas masalah PAKEM harus dihubungkan dengan definisi yang menyeluruh dari setiap unsur PAKEM yang tidak bisa didefinisikan terpisah, seperti definisi berikut ini yang dikutip dari http://www.mbs-sd.org:
“Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (time on task) tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah perhatian terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa.”

Menurut definisi tersebut, “Pembelajaran Aktif, Kreatif, dan Menyenangkan” yang sebenarnya sudah sangat sejalan dengan prinsip humanisme dalam pendidikan yang memanusiakan manusia, telah diredusir dengan unsur “Efektif” yang menjadi penutup definisi PAKEM secara keseluruhan. Unsur “Efektif” yang merupakan bagian dari tuntutan mutu dalam perspektif ekonomi.
Efektifitas menjadi suatu bentuk dehumanisasi karena hanya berorientasi pada output yang didefinisikan sebagai target pencapaian profit semaksimal mungkin dari sejumlah masukan dengan standar tertentu (input). Dalam rangka pemenuhan target pencapaian mutu semaksimal mungkin, maka keberadaan unsur “proses” akan dipinggirkan demi mengejar efektifitas. Akibatnya, tenaga pendidik melakukan proses pembelajaran dengan target pencapaian performance tertentu karena pola MBS menekankan pada indikator-indikator performance siswa yang harus dapat dikuantitatifkan sebagai konsekuensi dari efektifitas dalam pembelajaran.
Contoh performance yang harus dicapai oleh tenaga pendidik dan peserta didik adalah sebagai berikut (http://www.mbs-sd.org):
a. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
b. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
c. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
d. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
e. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
Sejalan dengan pemikiran John Dewey, bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan, hendaknya tujuan pendidikan tidak perlu dicari-cari diluar proses pendidikan itu sendiri. Apalagi bila tujuan pendidikan digeser dengan persepektif ekonomi yang sangat jauh dari tujuan pendidikan yang harusnya murni sebagai alat penyadaran peserta didik akan realitas dehumanisasi yang terus terjadi disekitarnya, seperti apa yang diungkapkan oleh Paulo Freire.

PENUTUP
Desentralasasi di bidang pendidikan merupakan sebuah upaya peningkatan mutu pendiikan itu sendiri, hal ini dikarenakan pemerintah daerah lebih memahami perkembangan dan kemajuan pendidikan di daerahnya.
Secara umum MBS bertujuan untuk menjadikan agar sekolah lebih mandiri atau menberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi), fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam mengelola sumber daya, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
MBS juga memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar kepada sekolah, disertai seperangkat tanggungjawab, sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya dengan kata lain sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.
Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua siswa)

Tidak ada komentar: